Sebuah Tindakan Sang Semesta

22 3 0
                                    

Bentuk utuh rembulan tergantung manis di atas sana, begitu pun gemerlap bintang layaknya lampu kota yang menghiasi sang langit. Suara jangkrik terdengar nyaring di telinga, beradu dengan semilir angin dingin yang sedikit kencang.

Jam kota menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi suasananya sudah terlanjur sepi layaknya tengah malam. Pedagang-pedagang pinggir jalan sudah mulai menutup kiosnya, berharap esok menjadi lebih baik.

Kirana, seorang gadis remaja yang kini sedang berkutat dengan tugas yang diberi melalui media daring tampak kelelahan. Ia tak habis pikir akan pulang semalam ini, padahal esok masih sekolah. Jangan salahkan dia, gurunya saja yang memberi tugas tidak manusiawi.

“Hah, aku sudah lelah. Kita lanjutkan besok saja, Ran. Ini sudah malam.” Oke, ternyata temannya yang terlebih dahulu berkata demikian. Ia mulai mengguling-gulingkan badan di kasur queen size-nya. Apa boleh buat, Kirana hanya menumpang di sini dan kalimat tersebut sudah seperti usiran halus.

“Oke, aku pulang dulu. Jangan lupa ada kelas, lho.” Kirana bangkit dari meja belajar lalu keluar. Sebelum itu, temannya sudah menganggukkan kepala dan bersiap untuk tidur.

Kirana pun tersenyum lalu menutup pintu yang terbuat dari mahoni dan semprot cat kayu berwarna hitam dengan gagang emas. Sungguh idaman sekali rumah ini, berbeda jauh dengan rumahnya yang sederhana.

Ia turun dari lantai dua, berpamitan dengan ibu temannya, lalu beranjak pulang. Jalanan sudah sangat sepi, membuat Kirana bergidik ngeri. Namun, tidak ada pilihan selain mengayuh sepedanya lumayan cepat. Buku pelajarannya sudah aman di keranjang sepeda.

Namun, Kirana dicegat oleh seseorang yang tidak dikenalinya. Orang itu menyuruhnya untuk menepikan sepeda dan turun. Karena tidak merasa memiliki masalah, Kirana pun menuruti apa yang orang itu instruksikan.

“Ada apa, Pak? Saya kan memakai sepeda pancal. Kenapa saya ditilang?” tanya Kirana saat orang itu keluar dari mobil polisi. Orang itu kebingungan dengan pertanyaan Kirana, seperti tidak mengetahui sesuatu yang berlubang.

“Kamu tidak menggunakan masker. Apa kamu tidak tahu hal itu?”

“Bukannya masker hanya untuk orang yang sakit, ya? Penyakit ini kan tidak bisa lama-lama di udara. Bapak tidak tahu?” Sanggahan itu membuat pak polisi kaget. Ia tak habis pikir akan di sanggah oleh gadis remaja.

“Rumahmu di mana? Bapak akan mengantarmu.” Kirana mengangguk lemah dan masuk ke dalam mobil patroli. Sepeda kayuhnya ditaruh dalam jok belakang mobil tersebut. Mereka pun melanjutkan perjalanan.

Selama perjalanan, Kirana hanya diam dan selalu melihat ke luar jendela mobil. Ia bergulat dengan imajinasi yang ada di otak. Tanpa ia sadari, mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya.

“Semua arahanmu sudah Bapak laksanakan. Namun, kenapa rumahmu ….” Bapak tersebut tidak melanjutkan kalimatnya, karena ia melihat raut muka Kirana mengilustrasikan hal yang abstrak. Sedetik kemudian, Kirana pingsan di dalam mobil patroli.

*****

“Ayahh!! Ibuuu!! Abangg!! Kalian di mana?” Jeritan Kirana menggema di ruangan yang serba hitam. Tidak ada sahutan, Kira memanggil mereka sekali lagi hingga sebuah cahaya datang dari atas. Cahaya itu terlalu terang dan membuat ia menutupi kedua matanya dengan tangan.

Sesaat kemudian, ia bangun di sebuah ruangan yang asing. “Ini bukan kamarku,” pikirnya. Kirana pun bangkit dan melihat ruangan yang ia kenal, ruangan rumah sakit. Di sebelah Kirana sudah ada pak polisi yang mengantarnya pulang tadi.

“Sudah siuman? Tadi kamu pingsan di mobil saya dan langsung saya bawa ke sini. Bapak sudah mengetahui apa yang terjadi oleh keluargamu. Untuk itu …,” jelas orang itu terputus, “kamu tinggal di sini selama seminggu.”

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang