Memento Mori (Hidupmu Pasti akan Mati)

49 3 0
                                    

     Langit hitam telah menyelimuti bumi sedari tadi. Semua orang pun telah tertidur nyenyak di kasurnya masing-masing. Namun, ada seorang remaja kecil yang masih melihat ke arah langit hitam itu. Ia tidak sendiri, karena ada seorang pemuda di sampingnya. Mereka sedang berbaring di taman belakang rumah.

     “Kak, aku ingin pergi ke Bulan lagi. Di sana sangat seru,” ujar remaja kecil itu.

     “Hm, tapi kemarin sudah, ‘kan? Apa kamu tidak bosan?” tanya sang kakak.

     “Kemarin Momo menyelesaikan misi, bukan untuk berlibur,” jawabnya.

     Pemuda itu tersenyum dan mengelus rambut adiknya. Dalam hati pemuda itu terdapat sesuatu yang terus ia khawatirkan. Ya, masa depan adiknya. Pemuda itu tak mau ada sesuatu yang menghambat adik semata wayangnya.

     “Kakak punya keinginan yang lain, nih.” Pemuda itu tersenyum. Di sisi lain, Momo menunjukkan wajah bingung dan ingin tahu.

     “Apa itu?”

     “Kakak ingin ke ....”

💐💐💐

     Ada banyak hal di dunia ini yang menarik. Meski begitu, semua orang masih saja menganggap hal tersebut tabu. Aku masih bingung dengan pemikiran yang benar-benar rendah, padahal kami ada di sini untuk menyelamatkan mereka. Hah, dasar manusia egois.

     “Kakak, sudah makan?” Momo, adikku yang paling manis untuk kalangan remaja laki-laki itu tiba-tiba muncul dari balik pintu. Ia selalu menemaniku menyelesaikan misi, karena dia masih belum memiliki kekuatan. Aku juga bingung, kenapa adikku ini belum memiliki kekuatan di usianya yang sudah remaja. Namun, hal itu sepertinya tidak dipikirkan olehnya.

     “Ada apa, Bayi Besar? Apa kau mengkhawatirkanku?” godaku.

     “Oke, Momo tidak akan menyiapkan apapun untuk Kakak.” Ia langsung keluar dari kamar, meninggalkanku begitu saja. Huft, dia pasti manyun di dapur. Aku pun bergegas menuju ke dapur dan melihat Momo sedang memasak sesuatu. Ada satu yang membuat mulutku menganga, Momo menggunakan tangan mungilnya untuk memasak.

     “Mo-momo?” tanyaku. Panci yang Momo bawa pun terjatuh dan menumpahkan sup yang ia masak. Sup itu pun terkena kakinya. Aku langsung berlari ke dapur untuk melihat kondisi Momo.

     “A-ah, maafkan Kakak yang sudah membuatmu kaget.” Kakinya benar-benar melepuh, tetapi luka bakar itu semakin membaik. Aku benar-benar terkejut dan menatap mata Momo. Ia hanya tersenyum dan memelukku.

     “Momo tidak apa-apa, Kak. Ah, ketahuan kalau Momo memiliki kekuatan,” ujarnya.

     “Sejak kapan?” tanyaku

     “Kemarin. Hm, Momo juga tidak tahu pasti, tapi kemarin sudah Momo coba dan berhasil.” Momo terkekeh dan kegirangan. Ia bukan hanya memberi kekuatan, tetapi juga menyembuhkan diri sendiri. Kekuatanku saja hanya melindungi, bukan untuk melawan.

     “Wah! Hebat sekali!” Sekarang giliranku memeluk tubuh Momo yang mungil. Adikku ini akhirnya memiliki kekuatan untuk menjaga dirinya sendiri. Namun, kenapa kekuatannya api? Kenapa bukan cahaya sepertiku?

     “Oke, jangan lupa misi kita di sini.” Ia mengacungkan jempolnya dan membuat sup lagi. Aku hanya menunggu di meja makan sembari memainkan sendok, lalu mengeluarkan cahaya dari jari telunjuk ke arah sendok. Cahaya itu terpantul ke arah dapur, lebih tepatnya terkena wajah adikku.

     “Hoy, Kakak. Jangan main-main dengan kekuatan, ya. Momo sudah punya semburan, nih.” Ia membuka tangan kirinya dan mengarahkan ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum dan memohon ampun.

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang