35 | Janji

92.4K 4.6K 541
                                    

Kalau kebahagiaan berarti merelakan. Lalu bisa jelaskan dimana letak bahagianya?

***

Rasi celaka?

Apa saat ini Titan boleh tersenyum miring? Tidak ada yang bisa mencelakakan gadisnya semudah itu. Bahkan papanya sekalipun. Titan sendiri yang akan membuat itu menjadi tidak mungkin.

Di saat seperti ini, yang ada di bayangan cowok itu tentu saja adalah Rasi. Bagaimana gadis itu tersenyum dan bertingkah lugu di depannya. Ya Tuhan! Siapa yang rela melepas gadis sesempurna itu. Titan memang egois dan benar-benar harus bertingkah egois saat ini.

"Sejak kapan anda mengurusi kehidupan pribadi saya?" Titan menatap papanya tajam, merasa tidak perlu bersopan santun untuk orang seperti papanya. Bahkan saat ini aura dinginnya sudah mulai terlihat walaupun samar.

Adipati menghembuskan napasnya lelah. "Papa tau kamu ngerti. Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya," ujarnya lalu bersandar pada sandaran sofa. "Dan itu konsekuensi kamu karena kamu sudah menghajar adik kamu sendiri."

Apa yang Titan dengar membuatnya  sontak mengepalkan tangannya erat. Urat lehernya mulai terlihat seiring dengan tatapan mata yang semakin menghunus. "Itu karena dia telah mengganggu apa yang menjadi milik saya!"

"Papa tau, tapi dia itu adik kamu, Titan."

Titan membulatkan matanya penuh. Adik? Sama sekali Titan tidak menganggap dirinya mempunyai saudara, ia pun merasa tidak dianggap di keluarga ini. Jadi untuk apa dia mau mengalah. Entah itu pada Rafi atau papanya sekalipun. Dan lebih parahnya ini menyangkut Rasi.

"Sama sekali saya tidak peduli."

"Jadi kamu lebih memilih gadis itu daripada adik kamu sendiri? Kamu tau, kan, Rafi juga menyukai dia," ujar Adipati seraya menaikkan sebelah alisnya. Yang saat ini ia coba usahakan hanya kebahagiaan Rafi, sama sekali lelaki itu tidak memikirkan bagaimana perasaan anak sulungnya.

"Bukan urusan saya."

"Jauhi dia dan relakan dia sama adik kamu," ucap Adipati telak. Andai kesabaran Titan seperti sebuah wafer, maka ia bisa menahan tubuhnya untuk tidak menonjok wajah papanya sekarang juga, namun terlambat...

"Bangsat lo!" Titan sudah tidak tahan lagi untuk berdiri untuk kemudian kakinya bergerak menendang meja kayu yang ada di depannya hingga terbalik menimbulkan suara pecahan kaca dari meja tersebut.

Mungkin tak ada lagi kata 'sabar' jika ia berada di rumahnya. Emosinya mendadak naik. Tak cukup dengan meja sebagai korban, yang dilakukan Titan selanjutnya adalah berjalan ke arah Adipati yang sudah ikut berdiri sekarang.

Masih dengan tangan terkepal yang sudah gatal ingin menonjok sesuatu, Tiran masih ingat kalau orang yang sekarang berada di depannya ini adalah orang tuanya. "Nggak ada yang bisa ngambil Rasi dari gue!"

"Nggak akan! Dan nggak akan pernah ada!"

***

Berbekal informasi dari teman sekelas Rasi, sampailah Titan di sini. Tepat di depannya terdapat sebuah pintu dengan papan bertuliskan 'perpustakaan'. Sedikit ragu, Titan melangkahkan kakinya masuk. Lantai yang sama sekali belum pernah ia pijak kini terasa sejuk menyentuh telapak kakinya yang hanya dilapisi kaus kaki berwarna hitam.

TITAN: What's The Beginning ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang