44 | Jebakan?

81.8K 4.1K 305
                                    

Sampai banyak hal yang terjadi, maka anggap saja hidup ini sebuah permainan.

***

Yang bisa Titan lakukan hanya menggerakkan kakinya dengan sekuat tenaga, menelusuri lorong berdinding putih dengan perasaaan gelisah setelah mendapat telepon dari Rigel kalau Rasi hampir celaka lagi gara-gara seseorang.

Baru ditinggal beberapa jam untuk mengurus Samuel, dan hal yang tidak sama sekali Titan bayangkan langsung terjadi kepada gadisnya. Kalau sudah begini, mana bisa Titan tenang bahkan hanya untuk sekadar bernapas.

"Tan, santai. Rasi bilang dia nggak papa!" Neus menyahut di belakang Titan. Mengimbangi langkah Titan yang terbilang cepat atau bisa dibilang lelaki iu berlari kecil.

"Sambil nangis, huh?!" Titan hanya melirik Neus sinis. Rasi tadi meneleponnya dan mengatakan ada orang yang hampir mencelakakan dirinya, meskipun gadis itu bilang ia baik-baik saja, namun tentu Titan tidak bisa berpura-pura tuli kalau saat itu Rasi tengah menahan isakan.

Titan benar-benar mengutuk segala sesuatu yang ada di depannya sekarang, baik dirinya sendiri yang merasa tidak becus menjaga apa yang ia miliki.

Tangannya digerakkan membuka pintu kaca itu kasar, pertama saat pandangan mata Titan sama sekali tak lepas dari sosok wanita yang sedang terduduk di atas ranjang sembari terus menjatuhkan bulir bening dari matanya.

Langkahnya bagai sirine pertanda buruk. Diraihnya tubuh itu sampai pada rangkulan Titan, mengelus puncak kepalanya pelan seraya menepuk-nepuk punggung Rasi sebagai bentuk perlindungan.

"Sstt! Jangan nangis!" Sontak volume tangisan Rasi bertambah tinggi. Titan benar-benar tidaak berbakat menenangkan wanit yang menangis.

Titan sedikit mendengkus, melihat Rasi semakin tersedu membuat cowok iu menggertakan giginya hingga mata hitamnya menangkap sosok Rigel di sana.

Rigel? Untuk apa cowok itu di kamar Rasi?

Rigel yang mendapat tatapan dingin dari Titan sontak menghembuskan napas berat. "Gue di sini nganter nyokap berobat sekalian jenguk Rasi," jelas Rigel namun kerutan di dahi Titan belum juga hilang.

"Begitu gue masuk ... gue ngeliat udah ada orang pake topeng yang ngacungin piso ke arah cewek lo," lanjut lelaki itu dibarengi dengan Neus yang tiba-tiba masuk tanpa salam.

Rigel yang melihatnya hanya memberikan tatapan dingin dan menusuk, mengalihkan pandangannya kembali ke arah Titan. "Lo bisa tanya sendiri ke Rasi."

Titan tak mempedulikan itu. Ia kemudian menatap wanita yang sekarang berada di pelukannya itu, bagaimana bahu Rasi bergetar dengan isakan yang semakin membuat deru napas Titan kian memburu.

Rasi mulai melerai tubuhnya dari Titan, namun tak menampik kalau kini di matanya masih ada beberapa tetes air yang tujun. "Ma---makasih Kak Rigel," ujar Rasi tersendat-sendat.

"Sstt! Udah jangan nagis lagi, ya." Kali ini nada suaranya mulai melembut, berbicara dengan Rasi saat kondisi seperti ini memang tidak boleh ngegas.

Rasi menoleh ke arah Titan. Melihat wajah cowok itu malah membuat Rasi ingin menangis sekencang-kencangnya untuk kemudian bersandar di bahu kokoh itu. Terbukti keinginannya tersebut memang terealisasikan sekarang.

TITAN: What's The Beginning ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang