Kebenaran akan datang sepahit apapun. Walaupun kita dipaksa untuk menerima tanpa ampun.
***
"Apa yang harus kita lakuin ke cewek cacat ini selanjutnya?" Suara Neus menggema dalam ruangan berpencahayaaan remang itu. "Gue pikir lebih seru kalau kita main-main dulu sama dia." Sebuah pisau ia keluarkan dari jaketnya. Disaksikan pasang mata Samuel dan Aurora, lelaki itu menggoreskan benda tajam itu pada pipi mulus Rasi yang kini sudah mulai kotor.
"Gue rasa, Titan bakal seneng dengan luka ini." Kali ini berganti Samuel yang dengan kasarnya menampar pipi yang baru saja mengeluarkan darah itu.
Aurora melihatnya. Melihat mantan sahabatnya disiksa oleh kedua lelaki itu. Namun sama sekali gadis itu tak berbuat apapun. Dendam dan amarah yang ia pendam selama ini sudah menguasai seluruh tubuhnya. Bahkan ia sudah lupa kalau dulu Rasi selalu menemaninya di saat susah maupun senang.
"Kita bakalan bikin cewek cacat ini makin terlihat menarik di mata Titan." Samuel mengeluarkan benda yang sama seperti yang ada di tangan Neus sekarang. Melakukan yang sama namun berbeda tempat. Lelaki itu melakukannya pada betis Rasi.
Siapa pun yang melihatnya tahu, kalau sekarang tubuh Rasi sudah seperti mayat yang penuh luka. Sedikit lagi gadis itu mungkin akan merelakan nyawanya diambil oleh malaikat saat lagi-lagi sebuah tangan menarik rambutnya.
Sebuah sentakan tiba-tiba membuka penutup mata Rasi. Ia harus mengerjap beberapa saat untuk menyesuaikan pengelihatan sekaligus mengenyahkan rasa sakit yang menjalar hampir di sekujur tubuhya. Di depannya, ada Samuel, Neus, dan Aurora yang sama-sama menatapnya.
"Gimana rasanya? Apa masih kurang?" Samuel berujar pada Rasi sembari menatap tajam ke arahnya. "Cup! Cup! Jangan nangis, sayang." Samuel menyentuh pipi Rasi, mengelusnya perlahan ketika bulir air mata mulai turun dari sana.
Rasi menepis kasar tangan Samuel. Menatap lelaki itu tajam dengan mulut yang masih terikat. Ia hanya bisa melihat kalau ketiga orang tersebut sama jahatnya, bahkan sahabatnya sendiri.
Kini giliran Neus yang mendekat. Tak menyentuh, hanya tersenyum. Namun Rasi tahu kalau dibalik itu semua, ini akan menjadi lebih buruk untuk dirinya.
"Gue rasa, hidup lo harus berakhir sekarang, Rasi. Selama ini lo selalu menjadi pusat perhatian Titan. Lo ngerebut tempat yang seharusnya milik adik gue."
Neus menjambak rambut Rasi. Entah sudah keberapa kalinya surai indah gadis itu menjadi korban hingga sekarang pun Rasi tidak bisa membayangkan bagaimana bentuknya. Yang ia lakukan hanya berusaha melepaskan tubuhnya yang sepertinya terikat kuat di kursi.
"Gue yakin, Luna pasti sedih di atas sana." Neus memasang sorot terlukanya. "Tapi tenang aja, Lun. Sebentar lagi ... kamu bakalan dapet temen baru," ujar Neus melepaskan cekalan tangannya.
Neus berjalan mengintari Rasi sembari memberikan tatapan pedang psda gadis di hadapannya sekarang. "Ah iya! Lo pasti belum kenal sama Luna, kan?"
"Biar gue kasih tau, Luna itu adik gue satu-satunya. Orang yang paling gue sayang." Neus tertawa meskipun tidak ada yang lucu.
"Dulu, dia ngejar-ngejar Titan setengah mampus padahal Titan selalu nolak dia terang-terangan. Gue sebagai abangnya cuma bisa nasehati dia supaya dia berhenti. Tapi gue tau ... Luna nggak bakal berhenti ngejar Titan sampai kapan pun. Dia emang cewek yang kuat." Sorot Neus kini berubah, matanya terpejam sesaat mencoba menelan rasa sakit atas kehilangan yang ia alami.
"Dan Titan udah berani lenyapin sesuatu yang paling berharga buat gue!" sentak Neus kasar. "Lo tau, Rasi ... selama ini gue selalu nahan untuk nggak bales dendam. Tapi semenjak ada lo, Titan ngelupain keberadaan adik gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
TITAN: What's The Beginning ✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] Galaksi Titan Supernova. Si galak dan dingin dari Rajawali. Bertemu dengan Rasi Almathea, anggota eskul dance SMA Persada. Pertemuan yang tak disangka-sangka yang membawa mereka dalam sebuah kisah. Pertanyaannya adalah bagaimana kisah...