bagian satu

31.5K 1.4K 135
                                    

Abrega memanaskan motornya dengan pakaian yang sudah rapi, lalu kembali ke dalam rumah untuk sarapan bersama Papa dan Mamanya.

Abrega Henza Dipetra adalah satu-satunya anak dari Abry dan Petra yang umur pernikahannya sudah mencapai 20 tahun lebih.

Mempunyai tiga sahabat sejati yang selalu menemani kemanapun dia pergi yaitu Gilang, Ivar dan Janu. Teman sejak sekolah dasar yang sudah dekat bagaikan saudara kembar.

Abrega duduk di salah satu bangku berwarna coklat, di depannya ada hidangan nasi goreng lengkap dengan segelas susu hangat untuk memulai aktivitas sekolah setelah libur sekian lama.

"Hari ini mos pertama ya Ga?" tanya Mama seraya menuangkan nasi ke piring yang ada di depan Papa.

"Iyaa Ma, duh udah nggak sabar mau ngerjain anak baru," sahut Abrega seraya meraih sendok lalu mulai melahap nasi goreng itu.

Papa menyentil telinga Abrega. "Awas kamu ngerjain yang aneh-aneh, Papa suruh kamu di drop out mau?" ancamnya.

Abrega menoleh. "Pis men." Sahutnya lalu kembali mengunyah.

Setelah selesai sarapan, Abrega berpamitan, lalu menjalankan motornya menuju sekolah tercinta. SMA Merdeka Indonesia.

Abrega berhenti tepat di depan pos satpam penjaga sekolah. "Pak apa kabar yaampun makin muda ajaa!" ucapnya, menyapa Pak Kadi selaku satpam favorit Abrega.

Pak Kadi tersenyum lebar seraya membenarkan posisi topinya. "Tentu saja dong, saya semakin muda, wong ndak ketemu kamu, jadi ndak ada yang bikin saya lari-lari gara-gara ngejar kamu yang mau bolos lewat pintu belakang." Sahutnya.

Abrega tertawa dia jadi ingat, hari itu dia yang masih kelas sepuluh dengan berani-beraninya berniat bolos bersama ketiga sahabatnya pada jam pelajaran terakhir sekolah karena merasa bosan di tinggal rapat oleh guru yang seharusnya mengajar. "Mantap dah, yaudah masuk dulu saya jangan kangen!"

Pak Kadi menggelengkan kepala lalu masuk kembali ke dalam pos, sedangkan Abrega memarkirkan motornya ditempat biasa.

Beberapa mata siswa baru mulai memandang ke arahnya, sedikit berbisik-bisik menyebutkan namanya.

Abrega tersenyum kecil lalu membuka helm, dia kemudian menaruhnya dikaca spion, mencabut kunci lalu berjalan menuju kelas.

Matanya memperhatikan satu-persatu siswa siswi baru yang masih memakai seragam putih biru. Lalu kemudian masuk ke dalam kelas yang isinya para anggota osis.

Jadi Abrega ini adalah salah satu anggota osis, dia adalah wakil ketua osis. Pasti kalian bertanya-tanya bagaimana bisa kan? jawabannya adalah karena saat Abrega main-main untuk mencalonkan diri dengan di bantu ponsel untuk mencari misi dan visi yang bagus, sebagian besar wanita-wanita di sekolah ini memilih dirinya, dan oleh karena itu dia berhasil menjadi wakil ketua osis dengan suara yang hanya beda satu dengan Gilang, sahabatnya yang paling benar.

"Punya lo," ucap Gilang seraya melemparkan jas almamater osis berwarna maroon ciri khas sekolah ini.

Abrega dengan peka menangkapnya, dia menaruh tasnya asal lalu memakai jas itu.

"Kapan nih mulainya?" tanya Abrega seraya melipat bagian tangan jasnya.

"Nih mau mulai," sahut Gilang, lalu berjalan keluar kelas.

"Mantep dah lu Lang," sahut Abrega lalu mengikuti para anggota osis yang sudah keluar dari kelas ini menuju lapangan.

Gilang membenarkan posisi mic, beberapa guru sudah diminta berbaris oleh Numia, sekertaris osis.

"Selamat pagi, dimohon untuk siswa-siswi baru untuk segera berbaris di lapangan, tolong tertib dan segera dilaksanakan, terimakasih." ucap Gilang dengan tegas, bahkan Abrega selalu di buat heran bagaimana bisa Gilang setegas itu padahal kalau hanya sedang dengannya, Janu dan Ivar, Gilang itu bersikap seperti empat huruf depan dari namanya. Iya, Gila.

AbregaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang