bagian tiga puluh sembilan

4.3K 607 243
                                    

Abrega menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku setelah mengabari ketiga sahabatnya tentang kedua orangtuanya, mulai dari kabar kecelakaan sampai tentang kedua orangtuanya yang sudah dipindahkan ke ruang rawat.

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di sana.

Gilang, Janu dan Ivar bergantian memeluk Abrega setelah menyapa Aneera.

"Lo kuat ya Ga, gue yakin mereka juga kuat." ucap Gilang.

Abrega menganggukan kepala.

Janu dan Ivar mengusap lengan Abrega. Berusaha menguatkan.

Mereka bertiga benar-benar khawatir dengan orangtua Abrega begitupun dengan Abreganya sendiri.

Karena sebagaimanapun Abrega, dia tetap hanya seorang anak laki-laki biasa yang menyayangi kedua orangtuanya.

Mereka yakin ini adalah hal pertama yang berhasil membuat Abrega sedih seperti ini.

Pintu ruang rawat terbuka, salah satu suster keluar melangkah pergi dari sana lalu kembali bersama Pak dokter yang tadi menangani orangtua Abrega.

Mereka berlima kembali khawatir.

Namun tak beberapa lama Pak Dokter dan satu suster tadi keluar dari ruang rawat.

"Dokter ada apa? orangtua saya kenapa lagi?" tanya Abrega.

"Syukurlah, Mama anda telah melewati masa kritis, walaupun belum sadarkan diri, dan untuk Papa anda, beliau sudah sadarkan diri dan barusan Papa anda meminta anda untuk masuk, jadi silahkan Nak, temui Papa kamu."

Abrega tersenyum tipis. "Terimakasih Dok, terimakasih banyak."

Setelah itu, Abrega masuk ke dalam. Melihat kedua orangtuanya begini, kembali membuat matanya meneteskan airmata, Abrega ingin sekali menggantikan posisi mereka kalau bisa.

Abrega berjalan menuju tempat tidur Papa.

"Pa?" panggil Abrega dengan lembut seraya melihat beberapa luka yang ada di wajah Papa.

Papa kemudian membuka matanya dengan perlahan, Abrega tersenyum haru.

"Ga."

"Iyaa Pa? Papa kalo belum bisa ngomong jangan dulu Pa."

"Papa bisa, jangan nangis kamu, cemen banget?" ucap Papa dengan suara lemas.

Abrega menghapus airmatanya. "Gimana Abrega nggak nangis? kalian berdua sekarang ada disini, dalam kondisi kaya gini Pa."

"Maaf Ga, ini karena Papa yang lalai dalam berkendara, semua karena Papa."

Abrega menutup mata. "Enggak, Papa nggak bisa nyalahin diri Papa. Yang harus Papa lakuin sekarang adalah sembuh, Papa harus sembuh."

Papa menghembuskan nafas.  "Bagaimana keadaan Mama?"

Abrega menelan saliva. "Mama belum sadarkan diri Pa."

Papa meneteskan air mata begitu saja. Harusnya tadi dia lebih fokus menyetir agar bisa mengindar dari mobil lawan arah yang tiba-tiba melintas dengan cepat ke arah mereka. Andai saja itu tidak terjadi, mungkin sekarang semua masih baik-baik saja. Dia dan Mama tidak akan ada disini dan membuat Abrega jadi sedih begini.

AbregaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang