Empat hari setelah Mama Abrega dinyatakan siuman, mereka diperbolehkan untuk pulang ke rumah.
Hari ini Abrega ditemani ketiga sahabatnya. Dia mendorong Mama yang masih harus menggunakan kursi roda menuju mobil. Di depan sana Janu membantu menggandeng Papa, disamping mereka ada Gilang dan Ivar yang membantu membawakan barang bawaan berupa tas dan juga beberapa bunga, bawaan dari rekan Papa dan Mama yang kemarin sempat berkunjung.
Mama mengelus tangan Abrega, membuat Abrega yang sedang memikirkan Aneera itu menoleh. "Mama seneng banget." Ucapnya.
Abrega tersenyum lalu kembali menatap jalanan dengan pikiran yang terus berputar tentang Aneera.
Sudah tiga hari dia bersikap menjauhi Aneera, sudah tiga hari dia berusaha menghindari Aneera, sudah tiga hari dia melawan hatinya yang masih sangat ingin berada di dekat Aneera.
Tapi percayalah, walaupun baru tiga hari, rasanya sudah sangat berat bagi Abrega. Dia sendiri tidak tahu kenapa Aneera bisa membuatnya merasakan ini. Abrega pikir, dia akan lupa, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Abrega semakin mengingat Aneera walaupun dia selalu berusaha untuk melupakannya.
Abrega menelan saliva, lalu membantu Mama untuk masuk ke dalam taksi, sedangkan Pak supir membantu Abrega untuk menaruh kursi roda tersebut kedalam bagasi.
Abrega menepuk bahu Gilang. "Thank you bro udah bantuin." Ucapnya.
Gilang, Janu dan juga Ivar menganggukkan kepala.
"Terimakasih ya anak-anak." ucap Mama lalu melemparkan senyuman hangat.
"Sama-sama Tante, Om, semoga cepet beraktivitas kembali," ucap Gilang.
Papa yang sudah duduk didepan sana menganggukan kepala seraya tersenyum berterimakasih.
"Yaudah duluan ya, makasih nih sekali lagi." ucap Abrega lalu masuk ke dalam taksi setelah Ivar menepuk-nepuk bahunya.
Setelah itu Pak supir mulai menjalankan taksi ini menuju rumah.
Abrega menatap ke jendela, dia rindu bercengkrama dengan Aneera, dia rindu melihat senyum Aneera, dia rindu suara Aneera, dia rindu berdua di atas motor bersama Aneera.
Abrega sangat rindu dengan Aneera.
"Ga?" panggil Mama.
Abrega tersadar dari lamunannya lalu menoleh.
Mama tersenyum. "Mama seneng kamu berubah pikiran dan mau terima perjodohan itu." Ucapnya seraya meraih tangan Abrega untuk di genggam.
Papa melirik dari kaca.
Abrega berusaha untuk tersenyum lalu mengusap tangan Mama. "Abrega juga seneng, kok."
Mama tersenyum lalu menatap ke depan.
Andai saja Abrega bisa jujur dan andai saja kejujurannya nanti tidak akan membuat Mama kecewa. Andai saja.
"Lo pada ngerasa Abrega beda nggak sih?" tanya Gilang.
Mereka sekarang sedang ada di kantin rumah sakit. Memesan mie ayam karena tadi pagi belum sempat sarapan.
"Beda gimana? jadi power ranger?" sahut Ivar.
Gilang memutar bola mata, Janu menjitak kepalanya.
"Ck apaan sih?" protes Ivar.
"Maksud gue tuh beda, dia keliatan nggak sebahagia waktu masih deketin Aneera." sahut Gilang.
Janu meneguk es teh seraya mengangguk setuju. "Gue juga ngerasa gitu, dia jadi nggak receh lagi sekarang, beda dah beda."
"Ya gimana dia nggak mau beda? kan dia lagi ngejauhin orang yang dia sayang." sahut Ivar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abrega
Novela Juvenil"Aneera," panggil Abrega. "Hmm?" sahut Aneera seraya menatap Abrega. "Tujuan hidup lo apa?" Aneera memicingkan matanya. "Kenapa emang tanya tanya tujuan hidup gue?" "Karena sayang." "Apasih?" "Ya lagian, ya karena mau tau dong, pake nanya" Aneer...