3 | Mawar Jingga

367 86 18
                                    

Bagian 3

Mawar Jingga

"Di dekatnya aku lebih tenang. Bersamanya jalan lebih terang."
Teman Hidup-Tulus

_____

"LO mau mati apa?!" Ken tak henti-hentinya memarahi gadis yang kini sedang duduk menunduk di halte sekolah.

Tapi setelah tidak ada lagi perlawanan dari gadis itu, ia mengembuskan napas lelah, lalu duduk di sampingnya. "Lo kenapa diam?" tanyanya memecah keheningan.

"Aku udah bilang, aku nggak apa-apa. Udah sana kamu pergi! Makasih udah nolongin aku, lain kali nggak usah nolongin Ara lagi!"

Jangankan untuk membalas amarah Ken tadi, tubuh Ara masih terasa lemas saat kejadian buruk yang baru saja dia alami; hampir tertabrak motor saat hendak menyebrangi jalan. Karena melamun, itu masalahnya.

Hanya ada keheningan yang kembali hadir di antara mereka. Setelah merasa tubuhnya lebih baikan, Ara bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Langkahnya lunglai tak bersemangat, ia langsung menaiki angkot yang sudah berhenti di hadapannya.

Telinganya sudah tersumpal oleh earphone. Melalui jendela angkot yang terbuka setengah, ia menyaksikan ramainya jalanan sekitar. Kadang terbatuk karena asap kendaraan, membuat Ara mencapit hidungnya sendiri.

Ara kembali berjalan setelah turun dari angkot. Langkahnya berhenti mendadak ketika mengetahui ada seseorang yang menarik earphone dari telinganya, lalu dipakaikan ke telinga milik si penarik.

"Lagunya slow amat!" Ken menghubungkan earphone Ara ke ponselnya. Lalu earphone itu ia pasangkan ke telinga Ara kembali.

"Kamu ngikutin aku ya?"

"Dengerin yang benar lagunya!"

Seperti dihipnotis, Ara memejamkan mata menikmati alunan lagunya. Bergumam pelan mengikuti iramanya dengan syahdu. Ken menjeda lagunya, membuat Ara langsung membuka mata.

"Judulnya Mawar Jingga, dari Juicy Luicy," jawab Ken seperti tahu pertanyaan yang akan diluncurkan mulut Ara dari sorot matanya.

"Juicy Luicy?"

"Iya, kata gue tuh lagu bagus. Tapi nggak tahu juga kata lo. Selera musik orang 'kan beda-beda, maybe."

Hanya berbalas anggukan kepala tanda mengerti. Selepas itu ia mengamati punggung Ken yang telah berjalan mendahuluinya.

"Kamu ngikutin aku ya?"

"Nggak usah sok tahu lo. Bukannya lo yang ngikutin gue?"

Ara mengernyit bingung, memunculkan beberapa gelombang di dahinya. "Aku?" tanya Ara sambil menunjuk diri sendiri.

Ken mengangguk mantap. "Kan sekarang lo di belakang gue. Itu artinya lo yang ngikutin gue 'kan?"

"Nyebelin! Ken, padahal kamu kapten futsal, anak famous lagi. Tapi, kenapa ya penampilan kamu acak-acakan gitu, bikin sakit mata yang ngelihatnya. Apalagi sikap kamu, nyebelinnya akut," kata Ara sembari menyejajarkan langkahnya dengan Ken. Diam-diam Ara memperhatikan penampilan Ken dari ujung kepala sampai kaki ketika cowok itu fokus menatap lurus ke depan.

"Terserah gue, ini hidup gue!"

Di antara jejeran toko yang dilaluinya, mata Ara langsung berbinar mendapati toko bunga langganannya buka. Toko bunganya tidak terlalu besar dibanding toko-toko di sampingnya, hampir semua bunga di toko itu dijejer rapi menurut ukuran serta warnanya.

Ara menghampiri pemilik toko yang sedang sibuk mengatur tata letak bunga-bunganya.

"Pakde Jun!" seru Ara bersemangat sambil menyalami pemilik toko yang usianya berkisar empat puluhan.

"Dek Ara, tumben sama temannya. Eh atau pacarnya?"

Ish! Ken ngikutin atau memang mau beli bunga sih? Dasar cowok aneh, pakai pura-pura nggak dengar perkataan Pakde Jun lagi!

"Oh iya Pak, ada mawar jingga nggak ya? Saya mau beli tiga tangkai," ucap Ken mendekati Pakde Jun.

Dengan senyum ramahnya Pakde Jun membalas, "Oh, iya ada Mas. Biar saya ambilkan di dalam."

"Tuh 'kan benar, kamu memang ngikutin aku ya?" Ara memasang wajah cemberut saat Ken pura-pura memperhatikan tiap inci bagian bunga lily putih yang sudah ada di genggamannya. "Kamu nggak dengarin aku ngomong?" tanya Ara, sekali lagi.

Ken tetap diam hingga dua menit. Tak terasa, Pakde Jun sudah keluar dengan membawa tiga tangkai mawar jingga pesanan Ken. "Ini Mas, bunganya masih segar."

Setelah mengucap terima kasih dan memberikan beberapa lembar uang ke Pakde Jun, Ken meninggalkan Ara tanpa menoleh.

"Gue duluan!"

Aneh!

_____

"Ara, coba tebak apa yang Abang bawa?"

Damar duduk satu sofa bersama Ara. Tangannya yang kekar menutup mata Ara, mengacaukan kenyamanan Ara yang asik menonton televisi.

"Pasti macaroon!"

"Nggak asik deh, masa langsung tahu."

Sebenarnya bosan jika tiap hari setelah pulang kerja, Damar selalu memberikan Ara macaroon. Katanya hanya toko macaroon yang paling dekat dengan tempat kerjanya, kebetulan juga searah dengan rute pulang.

"Abang, Ara pengin cerita," pinta Ara dengan menyandarkan kepalanya di bahu Damar.

Sejenak Damar mengelus rambut sebahu Ara. "Cerita aja, telinga Abang siap nampung cerita Ara."

"Abang pernah nggak suka sama orang?"

Alih-alih menjawab, Damar malah tertawa terbahak-bahak. Pasalnya pertanyaan Ara mengenai rasa suka, pikiran Damar langsung mengartikan rasa suka yang dimaksud Ara seperti suka karena orang itu pintar, baik, penolong, dan lain sebagainya. Kalau begitu, di dunia ini pasti semua orang memiliki rasa suka.

"Oke, kayaknya pertanyaan Ara salah. Ralat, Abang pernah nggak jatuh cinta?"

Kini, tawa Damar semakin keras, mengejek sepertinya. "Ini ceritanya Ara lagi jatuh cinta?"

"Ish tinggal jawab aja!"

"Mau tahu banget atau mau tahu aja?"

"Mau tahu aja!"

"Gini, gini. Abang pernah jatuh cinta. Eh malah akhirnya jatuh karena cinta. Payah 'kan? Hmm ... Ara lagi jatuh cinta sama siapa?"

"Kepo! Udah sana mandi, tuh badan bau kopi semua!"

Sudah dua tahun ini Damar bekerja sebagai barista di salah satu kedai kopi di kotanya. Berusaha untuk menjadi pengganti tulang punggung keluarga. Apalagi untuk adiknya sendiri, dia berjanji tidak akan memaafkan dirinya sendiri saat keceriaan di wajah Ara memudar.

Karena salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidupnya yaitu membahagiakan Ara.

"Jadi, siapa orangnya?"

"Ara nggak jatuh cinta, Ara cuma kagum."

Damar mencubit pelan hidung Ara dan berujar, "Satu hal yang perlu Ara ingat. Puncak dari mencintai itu bukan mengikhlaskan, tapi mendapatkan!"

"Lho, kok gitu?"

"Sesuai sama prinsip Abang."

Lalu Damar mencubit kedua pipi Ara dengan gemas. Malam yang sangat bersahabat bagi Ara dan Damar untuk menghapus kekhawatiran terbesar di hidup mereka. Menutup segala sesuatu yang kalang kabut untuk menilik kenyataan.

Malam ini, sosok hangat yang dirindukan Ara kembali hadir.

_____

Makasih yang udah baca <33

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang