48 | Sebuah Fakta

89 10 0
                                    

Bagian 48

Sebuah Fakta

"Hanya wajahmu, yang terukir di dalam hatiku.
Abadi dan takkan pernah terganti, hanya kaulah cinta dalam hidupku."
Cinta Dalam Hidupku-Rossa


_____

MBOK Ida menggeleng lesu, ia telah menyerah membujuk Ara untuk makan. Gadis itu hanya berbaring, demam, dan tidak mau makan.

"Sini Mbok mangkuk buburnya, biar Damar aja yang bujuk Ara." Damar yang sedari tadi mengamati interaksi antara Ara dan Mbok Ida dari ambang pintu meraih mangkuk bubur dari tangan Mbok Ida.

Cowok dengan rambut kecokelatan itu tersenyum meyakinkan. "Kalau Mbok capek, Mbok bisa istirahat dulu. Biar nanti Damar yang bujuk Ara."

Mbok Ida mengangguk sekilas, ia sudah lelah membujuk Ara. Bicara setelah ia pulang dari rumah Ken sepertinya berat untuk Ara. Ia hanya diam, mengangguk, atau menggeleng setiap diajak berbicara.

"Ara makan dulu, ya? Terus minum obat," pinta Damar sembari duduk di bibir kasur, tepat sebelah Ara.

Kali ini Ara berguling ke kanan, memunggungi Damar. "Ara kenapa? Cerita aja sama Abang."

Ucapan itu menggantung di udara, termakan oleh waktu. Seolah ucapan itu tidak pernah terlontar sebelumnya. "Mbok bilang kalau Ara sakit gara-gara ke rumah Ken?"

Tetap tidak ada sahutan. Percuma. Ia perlu mengambil langkah tegas. Mana mungkin Damar membiarkan adik satu-satunya sakit. "Apa perlu Abang telepon Ken? Supaya dia bisa jelasin kenapa Ara jadi diam gini?"

Sok aja! Nomornya juga nggak aktif!

Sama sekali tidak mempan.

Damar perlu jurus yang lebih tinggi. "Apa Abang bawa Ken aja ke sini?"

Sok aja! Ara aja diusir, apalagi Abang?

Ara malah menaikkan selimut sampai ke kepala. Membiarkan suara helaan napas Damar mengisi kesunyian di antara mereka. Sekeras-kerasnya suatu benda maka lebih keras kepalanya Ara, pikir Damar.

"Ya udah, Abang simpan buburnya di meja belajar ya. Nanti dimakan ya, Ra," pungkas Damar sembari menyimpan mangkuk bubur di atas meja belajar. Cowok itu tersenyum kecil sebelum akhirnya keluar dari kamar Ara.

Di tempat lain, Bagas mondar-mandir menunggu kedatangan Ken di depan gerbang rumah mewah tersebut. Menoleh ke kanan-kiri berharap ada cahaya lampu motor Ken yang menelisik masuk ke indra penglihatan. Barulah ketika Bagas menoleh ke kanan, di sana cahaya lampu motor membuat Bagas memicing. Suara deru motor trail hitam yang semakin mendekat mendadak terendam bagi Bagas.

Bugh!

Baru saja Ken melepas helm, Bagas langsung menyerang. Bahkan Ken belum tahu di mana letak kesalahannya, cowok itu sudah lebih dulu menarik kerah kemeja biru tua yang digunakan Ken, memukul bertubi-tubi tanpa ampun.

Masih meninggalkan kerutan yang semakin dalam di dahi, akhirnya Ken mampu menghentikan Bagas.

Napas Ken sedikit tersendat, ia menatap Bagas tak percaya. "Lo kenapa sih, Gas?!"

Bagas tak menjawab, ia meninju rahang kokoh Ken sebelum bicara. "HARUSNYA GUE YANG NANYA! LO KENAPA KEN?!"

Ken terpekik kaget saat Bagas menendang perutnya, mengakibatkan tubuhnya mundur dan menghantam gerbang yang ada di belakang. "Gue Bagaskara, cuma sahabat yang nggak guna! Karena lo bisa ngatasin masalah lo sendiri, iya 'kan?" Bagas tersenyum remeh. "Gue denger dari Bi Ina katanya tadi sore lo ngusir Ara, bego!"

Bagas mengacak-acak rambut frustasi. "Kalau lo punya masalah lain, jangan jadiin Ara bahan luapan emosi lo!"

Mendadak obrolan Papa yang Ken dengar setelah pulang dari makam mamanya bersama Ara kembali muncul ke permukaan pikiran.

Hari ini, lekukan sabit di bibir Ken masih menggantung indah. Hatinya sudah lega setelah menceritakan semuanya pada Ara. Pundak yang selalu memikul beban rasanya sudah lenyap. Kali ini, setelah ia berdamai dengan dirinya sendiri, maka selanjutnya ia kan mulai berdamai dengan Papa.

Sambil melempar-lempar kecil kunci mobil di tangan, Ken menuju ruang tengah dimana kata Bi Ina sudah ada Papa di sana. Ken tahu kalau sebenarnya hari ini pemberangkatan Al ke Singapura untuk berobat, hanya Tante Lidya saja yang menemani Al karena Papa masih banyak urusan di sini. Langkah Ken terhenti, melihat gelagat aneh papanya. Dari balik dinding penghalang antara ruang tamu dengan ruang tengah, tanpa sengaja Ken mendengar suara Papa memerintah orang di seberang sana.

"Pokoknya kasus Pak Aditya Suseno dan Bu Larasati segera ditutup. Kalaupun masih ada yang curiga, buat kematiannya seperti benar kecelakaan."

Hati Ken seperti baru saja dijatuhkan beton. Rasanya remuk redam. Kepercayaan yang ia bangun untuk Ara langsung runtuh sekejap. Setelah mengetahui semua tentang Ara, termasuk nama Aditya Suseno dan Larasati yang mempunyai efek luar bisa pada kehidupan Ara.

"Jadi, selama ini, Papa adalah dalang kematian orangtua Ara?"

Berbalik situasi, kini giliran Ken yang membabi buta Bagas. Ia meninju hidung Bagas hingga mengeluarkan darah segar. "KARENA LO NGGAK NGERTI, GAS?!"

Bugh! Bugh! Bugh!

Bagas bungkam, ia menerima tinjuan demi tinjuan dengan pasrah, tanpa ada keinginan untuk melawan. Ini keinginan Bagas, membiarkan Ken meluapkan emosi pada dirinya. Hingga terdengar dering ponsel, dengan sisa tenaga yang ada Bagas merogoh saku celana, ternyata ada panggilan yang masuk.

Dari Ara.

Ken menghentikan aksi, alisnya terangkat sebelah. Mengambil paksa ponsel Bagas. Setelah tahu siapa yang menelpon, Ken membuang ponsel Bagas asal.

"KARENA BOKAP GUE ADALAH PENYEBAB KEMATIAN ORANGTUA ARA?!"

Pupil mata Bagas melebar sempurna. Tubuh Ken terkulai lemas, ia meluruh ke bawah lalu bersandar di gerbang dengan tangan yang memijit pangkal hidung. Sedangkan Bagas masih berdiri sembari mengatur napas.

"Lo lagi bercanda, ya? Nge-prank gue?"

Ken menggeleng lemah. Ia tidak sedang bercanda. Bagas menghela napas kasar, berusaha menenangkan sembari menepuk pundak cowok itu.

Suara isak tangis berdengung di saat keadaan yang mulai sunyi. Baik Ken maupun Bagas saling tatap sejenak.

"Hiks ... hiks ... Ba-gas."

Sialan.

Itu suara Ara.

Ken dengan gerak refleksnya alih-alih menolak panggilan dari Ara malah menerimanya. Dan lebih bodohnya, ponsel itu tidak mati walau terpelanting ke aspal.

Di rumahnya, Ara beringsut mundur, duduk berjongkok di sudut kamar. Bibirnya bergetar hebat, perlahan matanya menghangat, mengeluarkan cairan bening tanpa diduga. Dadanya sesak, tubuhnya seakan baru saja dijatuhkan dari gedung hingga hancur berkeping-keping di permukaan aspal. Ponselnya terdengar suara Bagas yang memanggil.

"Ra? Lo dengar obrolan gue sama Ken barusan? Gue bakal jel--"

Sontak Ara langsung mematikan panggilan yang masih terhubung.

Tentu saja Ara mendengarnya dengan jelas. Tubuhnya lemas, hingga ponsel yang tadi ada di genggaman tangannya meluruh dengan mudah jatuh ke lantai.

Bagas gila, Ken bodoh.

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa yang mau kasih tahu kalau bentar lagi ending :)




Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang