Bagian 17
Nostalgia (2)
"Perjalanan, takdir dan kenangan, berselimut do'a, hangatnya akan terjaga."
Saudade-Kunto Aji_____
GUDANG rumah menjadi tujuan Ken kembali mengingat hal-hal manis dulu. Udara sejuk Bandung menemani Ken seiring petualangannya di gudang yang penuh debu. Ken menekan saklar di dekat pintu, lampu bohlam yang berada di tengah atap menyala setelah beberapa detik berkedip-kedip dulu.
Beberapa tumpukan dus memenuhi sebagian ruangan, serta beberapa foto yang terlihat berceceran. Ken memunguti foto berdebu itu, foto masa kecil bersama mamanya. Tepi-tepi foto itu sedikit lecek. Setelah terkumpul, Ken menyimpannya di atas meja kecil yang ada di gudang.
Selanjutnya Ken bersiap membuka dus yang paling besar di antara yang lain, baru memegangnya saja membuat hati Ken ngilu.
Punya Mama.
Tulisan yang menandakan dus itu milik mamanya. Koleksi piring antik, buku resep masakan, serta novel Irving Stone yang berjudul Lust for Life kesukaan Mama. Oh, ya, novel itu sangat menyentuh berdasarkan kisah nyata maestro pelukis, Vincent Van Gogh, pelukis termahal di dunia yang meninggal sebagai orang terbuang.
Ken ingat betul bagian mamanya yang menjawab pertanyaan mengenai kenapa Mama suka sekali membaca novel itu ketika Ken menginjak bangku akhir masa SMP.
"Padahal 'kan udah Mama baca berulang kali. Tapi kenapa Mama nggak pernah bosan?"
"Karena Mama suka."
"Kenapa?"
Mama mengelus puncak rambut Ken, tangan Ken berhenti mengerjakan tugas sekolah. Ken mendongak, menatap mata mamanya yang berkaca-kaca.
"Karena Mama pikir nggak sedikit orang ngerasa dibuang dalam hidupnya. Contohnya Mama, almarhum Kakek sama Nenek kamu nggak ngerestuin Mama nikah sama Papa. Mama diusir, nggak boleh datang lagi ke rumah mereka. Sampai Mama juga nggak dianggap anak sama mereka, Mama sedih pastinya. Sejak saat itu, Mama ngerasa terbuang. Ditambah, Papa kamu sikapnya akhir-akhir ini berubah. Mama ngerasa, almarhum Kakek sama Nenek benar, sekarang kayaknya Mama salah ngambil keputusan."
Ken bangkit dari duduknya, ia tersenyum tulus lalu memeluk mamanya erat-erat. "Mama nggak boleh sedih, kan ada Ken."
Lamunan Ken menguap hilang ketika terdengar suara tumpukan piring kuno yang tak sengaja ia senggol dusnya. Ken mengeluarkan sekitar lima piring kuno berwarna biru yang berpadu dengan putih bermotif naga dari dus dengan berhati-hati.
Kalau tidak salah, dulu mamanya menyebut piring antik ini dengan sebutan piring antik anti basi. Piring antik koleksi keluarga hikayat pada masa dulu yang khusus dibuat untuk para raja Tiongkok pada era Dinasti Ming dan Han. Tujuannya agar makanan, buah, sayur, dan lain-lainnya tidak mudah basi. Sering digunakan juga untuk menjamu tamu para raja. Demikianlah cerita yang pernah mamanya sampaikan mengenai piring antik yang sedang ia bersihkan debunya dengan kemoceng.
Semuanya sudah beres. Entah mengapa tangan Ken bergerak dengan sendirinya membuka lembaran novel Lust for Life. Membolak-balik asal halamannya hingga ia menemukan kutipan Vincent Van Gogh.
"You cannot be the good all the time--sometimes it is necessary to get angry," gumam Ken membacanya.
Anda tidak bisa menjadi orang baik sepanjang waktu--terkadang perlu marah.
Perlu marah? Ken sependapat.
"KEN! KEN! KEN!" Suara berat Bagas memanggil dirinya dari luar rumah. Cowok dengan ciri khas celana jeans hitam yang sobek di bagian lututnya menggedor-gedor pintu rumah seperti orang kesetanan.
"Nggak usah digedor-gedor segala kali," ucap Ken malas. Kemudian melihat area sekitar halaman rumahnya. "Mana sini kuncinya!"
Bagas memberikan kunci motor Ken. Iya, semalam Ken meminta agar Bagas membawakan motornya ke Bandung. Ia perlu menjelajahi tempat di mana awal dari lukanya ada.
Napas Ken memburu, ia menstarter motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, menerjang jalanan yang licin setelah beberapa jam diguyur hujan.
"MARAH BOLEH, TAPI KESELAMATAN NOMOR SATU!" Mungkin teriakan Bagas tidak terdengar Ken setelah tubuh Ken lenyap di persimpangan jalan.
Detik demi detik perjalan menuju tempat yang ingin ia tuju, emosi Ken kacau. Marah, kesal, sedih, rindu, bercampur jadi satu dalam benaknya. Hingga matanya menangkap sebuah warung dengan baliho besar bertuliskan "Warung Bandrek" sebagai petunjuk bahwa tempatnya sebentar lagi akan sampai. Tanjakan dan jalan berbatu ia lalui dengan tergesa-gesa, tak mementingkan motornya yang barangkali nanti rusak atau dirinya akan terpeleset jatuh. Ken memarkirkan motornya asal lalu berlari secepatnya.
Tebing Keraton Bandung, tempat awal lukanya tumbuh.
Kaki Ken menapaki tebing dengan panorama keindahan alamnya yang indah. Ken menenangkan diri sejenak walau hatinya seakan sakit tercabik-cabik. Tempat dan suasananya masih sama, hanya saja waktunya yang berbeda.
"Sebentar lagi Ken bakal ngerasain masa putih abu-abu ya? Ada yang mau Mama omongin sama Ken," ucap mamanya sambil memegang bahu Ken dan menghadapkan ke arahnya.
"Mama mau ngomong apa?"
Tak bisa berkata-kata lagi, mamanya memeluk Ken sangat erat. Susah untuk dijelaskan, kalaupun bisa butuh waktu yang lama untuk menjelaskan. Dan di sini, di tempat seindah ini, waktunya sangat tepat.
"Nanti SMA kamu sama Papa ke Jakarta."
"Kan sama Mama juga."
Mama melepas pelukannya, ditatapnya manik hitam pekat Ken. "Kamu punya Kakak tiri, usianya hampir sama kayak kamu cuma beda beberapa hari."
Ken masih belum paham, sama sekali tidak mungkin. "Mama jangan bercanda, Ken anak satu-satunya Mama sama Papa. Terus Kakak tiri maksudnya gimana, Ma?"
Mamanya tidak menjawab, yang dilakukan hanya menangis sambil kembali memeluknya. Kenyataan yang sama sekali tidak dipikirkannya. Sosok hangat papanya yang setiap pagi pasti menghadiahkan senyum indah, yang selalu mengantarkannya ke sekolah, semuanya lenyap begitu saja saat beberapa hari yang lalu Papa selalu memarahi kesalahan kecil yang Ken perbuat, memperkuat dugaan bahwa ini ada sangkut-pautnya dengan masalah ini.
Ken menghirup oksigen dengan rakus, buku-buku tangannya memutih menahan amarah. Ia berteriak sekencang-kencangnya, menyalurkan emosi yang menguasainya.
"AAAAAAAAA!!!"
Berbicara tentang beberapa hari lalu bersama Ara di Bandung. Sebenarnya bisa saja menggunakan mobil saat mengunjungi Tebing Keraton Bandung. Ken bohong. Hanya saja ia tidak ingin apa yang ia tutupi sedalam-dalamnya, sekuat-kuatnya, selama-lamanya akan membangkitkan musuhnya; lukanya sendiri. Yang harus Ken lakukan saat ini, berusaha berdamai dengan lukanya, menutupnya hingga mengering dengan sempurna.
_____
Makasih yang udah baca <3
Salam,
Illa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken & Ara [SELESAI]
Teen FictionKetika logika menjelaskan bahwa semuanya diawali dari pertemuan yang tak terduga, saling jatuh cinta, hingga merajut kisah bersama. Itu bukan alur sebenarnya. Sayangnya ada sebuah hati yang sempurna, selalu menunggu balasan atas apa yang diperbuatny...