16 | Nostalgia

140 29 5
                                    

Bagian 16

Nostalgia

"Aku yang masih berjalan sendiri merespons bentuk bahagia. Aku yang kini fasih memikul rasa sedih dan kecewa."
Pilu Membiru-Kunto Aji

_____

"HARI ini?"

Bagas mengacak-acak rambutnya frustrasi. Tak peduli pengunjung kafe lain merasa terganggu atas perbuatannya. Sudah hampir dua jam, ia dan Ken berdebat pelik mengenai keputusan Ken yang katanya ingin bernostalgia di Bandung.

"Coba deh, lo pikirin lagi. Ini bukan main-main, Ken. Kalau dua sampai tiga hari ya nggak apa-apa. Tapi ini sebulan?! Sekolah lo gimana nanti?"

"Ya nggak gimana-gimana," ucap Ken acuh. Keputusannya sudah bulat, sudah ia rancang sematang mungkin dari dua hari yang lalu.

Omong-omong tentang Bagas, ia merupakan satu-satunya sahabat paling dekat Ken. Apapun masalah yang Ken punya, Bagas adalah orang pertama yang tahu. Dan apapun keputusan Ken, Bagas juga orang pertama menerima serta mempertimbangkannya.

"Lo enak tinggal duduk anteng di sekolah aja, nggak usah bolos sampai sebulan. Gue paham, masalah lo berat. Tapi bukan harus angkat tangan masalah sekolah sampai sebulan juga kali!"

Sebenarnya Bagas geram sekali dengan keputusan Ken. Bukannya apa-apa, Ken sudah berada di tahap akhir SMA, yang mana banyak ujian-ujian yang harus diikutinya. Apalagi mengingat Bagas belum pernah mencicipi bangku SMA karena keadaan ekonominya, tentu saja Bagas pikir keputusan Ken itu salah.

"Lo belum pernah ngerasain jadi gue, Gas. Gue harap, lo bisa bantu gue. Yang masalah sekolah, tenang aja gue nggak akan ketinggalan pelajaran. Tiap harinya nanti, gue minta teman gue kirim materi yang baru dipelajari. Lo ngeremehin kepintaran gue? Gini-gini juga gue masih tiga besar di kelas."

Bagas berdecak, ia tahu, bahkan ia sangat paham tentang itu. Senakalnya Ken, ia punya mimpi besar untuk masa depannya. Untuk itu, tidak perlu meragukan kepintarannya.

"Semuanya gue titipin ke lo, apapun itu," kata Ken menyodorkan ponsel, dompet, serta sebuah kunci dengan gantungan bangunan Frauenkirche.

"Astaga! Sampai segitunya lo," balas Bagas takjub. Alis Bagas terangkat sebelah, tangannya mengambil kunci yang tergeletak di samping cangkir kopi macchiato-nya. "Kunci apaan?"

"Kunci rumah."

Bagas melototkan matanya, pipinya menggembung menahan air kopi yang hendak turun ke tenggorokan. "Lo gila apa?! Sembarangan nitip rumah ke gue."

"Barangkali lo main ke rumah gue, Bi Ina juga pegang kunci cadangan. Lo jangan khawatir kalau lo kemasukan setan buat maling rumah gue, Pak Asep juga selalu ada 24 jam ngawasin rumah."

"Anjir. Oh, ya, pokoknya lo nggak boleh nitipin ponsel ke gue, barangkali banyak privasinya."

"Lo kayak nggak tahu gue, nggak ada privasinya."

Boro-boro privasi, tiap hari Ken jarang menyentuh benda pipih persegi panjang itu. Kalaupun ia mainkan, paling hanya beberapa menit. Itu pun tak sampai satu jam. Bahkan jika ada yang penting di ponselnya, Ken tetap mengabaikan. Dan ia lebih memilih untuk bertemu langsung tanpa berbasa-basi lewat ponsel.

"Room chat lo banyak nomor yang nggak dikenal, kebanyakan cewek. Males gue balas," ujar Bagas sambil merotasikan bola matanya jengah.

Ken bangkit dari kursinya, menepuk bahu Bagas beberapa kali. "Susah amat, nggak usah lo balas. Gue duluan, apapun itu gue titip ke lo. Sekalian gantiin posisi gue sebulan ini. Gue mau sendiri, nggak mau ada yang ganggu," ucap Ken membalikkan tubuh hendak keluar dari kafe.

"Kalau Ara?"

Refleks Ken membalikkan tubuhnya menghadap Bagas, menghela napas beberapa kali. "Kabarin gue tiap harinya."

"Cih, katanya nggak mau ada yang ganggu."

"Itu beda lagi."

Jari telunjuk Ken memainkan kunci mobil seiring langkah jenjangnya meninggalkan kafe. Banyak pasang mata yang menatapnya penuh kagum. Kemeja hitam yang lengannya sudah ia lipat sampai siku ternyata mampu menambah pesonanya. Rambut hitam legamnya terayun pelan akibat angin yang menerpa. Bibirnya bergumam membentuk nada yang indah seiring ia memasuki mobil sedan hitamnya.

"Untuk Bandung, lo teman gue bernostalgia," gumam Ken lirih.

Selama perjalanan, ia banyak memikirkan apa yang harusnya ia lakukan nanti. Seperti menegarkan hati, mencoba mengerti kembali, dan melupakan hal-hal yang tak perlu ia pikirkan lagi. Sulit memang, masalah besar sudah membebani pundaknya.

Decitan roda mobil berbunyi saat ia telah sampai di rumah dengan gaya Eropa kuno. Iya, rumah yang kemarin ia kunjungi bersama Ara. Itu adalah rumah masa kecilnya, bukan rumah saudaranya.

Ah, iya, untungnya Ken tidak benar jadi Pinokio setelah membohongi Ara perihal rumah ini kemarin.

"Eh, Mas Ken?" Seseorang dengan seragam sekuriti datang menghampiri Ken dan menawarkan tangannya untuk dijabat.

Tangan Ken menerima jabatan tangannya, matanya melirik seseorang itu dari ujung rambut sampai kaki. "Pak Dodi?"

"Oalah, ternyata Mas Ken masih ingat. Mas Ken lebih ganteng, makin tinggi, putih pula," kata Pak Dodi dengan senyum ramahnya.

Ken tersenyum kikuk. "Bisa aja si Bapak."

"Oh, ya Mas Ken, kemarin ada yang datang ke rumah ini setelah Mas Ken sama Mbaknya pergi."

"Siapa, Pak?"

"Ndak tahu, Mas. Pokoknya ada, pakaiannya warna hitam-hitam, kepalanya botak, terus juga lengannya berotot."

Sebenarnya tak perlu berpikir juga Ken sudah tahu siapa orangnya. Hanya saja dia perlu memastikan kembali. Ken berbalik badan dan menjauhi Pak Dodi, segera ia mengeluarkan ponsel barunya yang masih belum disentuh sama sekali. Tangannya lincah mengetikkan beberapa digit angka yang sudah hafal di luar kepala.

"Sekali lagi anak buah Anda masih mengawasi rumah saya di Bandung, tak segan-segan saya membenci Anda selama hidup saya."

Tanpa perlu mendengar jawaban dari seseorang di seberang sana, Ken mematikan sambungannya secara sepihak.

"Oh, ya, Mas. Maaf kalau saya lancang, bunga anggrek yang ada di halaman rumah Mas, istri saya yang menyiraminya tadi pagi. Dia suka banget sama bunga anggrek, Mas. Sekali lagi, maaf ya Mas." Pak Dodi menyatukan tangannya tanda maaf.

"Iya Pak nggak apa-apa kok."

Ken memijit pelipisnya beberapa kali. Padahal baru saja ia sampai di Bandung, sudah ada masalah yang datang. Tidak sampai situ, dengan tubuhnya yang lelah ia paksakan membereskan rumah ini kembali setelah kemarin ia baru setengah membereskannya. Menyusun semua perabotnya seolah persis seperti dulu lagi.

Dengan keadaan yang sama tapi dengan waktu yang berbeda.

______

Iya tahu, hari ini double up :D

Makasih yang udah baca <3 di part ini khusus Mas Ken ^^ setelah di part sebelumnya Mas Ken nggak nongol wkwk.

Salam,

Illa :)



Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang