41 | Bukan Luvi

71 11 0
                                    

Bagian 41

Bukan Luvi

"From the start,
I never thought,
I'd say this before,
but I don't wanna
love you anymore."
I Don't Wanna Love You Anymore-Lany

____

DEFENSIF Luvi menggamit lengan Ken memasuki rumah mewah yang sudah dihias begitu indah. Celana jeans dengan atasan baju putih oblong yang terbalut jas hitam---terlihat tak terlalu formal---menambah aura Ken. Aura yang menarik seluruh kaum hawa berdecak kagum atas penampilannya malam ini. Bahkan, Luvi, gadis yang di sebelahnya sampai-sampai memasang senyum hangat mencuri tatapan orang yang menatap Ken dengan kekaguman luar biasa.

Dress hitam polos yang digunakan gadis berlesung pipi itu bukan hanya indah, melainkan sangat serasi jika dipadupadankan dengan setelan yang Ken pakai.

"Ken, are you ok?"

"Lepas, Luv," ujar Ken dengan tampang ogah-ogahan, karena jas yang dipakainya sedikit kusut pada bagian lipatan lengan akibat terlalu erat Luvi menggenggam.

Luvi malah semakin mengikis jarak, lantas membalas, "Sebentar aja, Ken. Semua lagi lihatin kita."

Sedikit geli mendengar sisipan kata kita atas balasan Luvi, Ken hanya menurut sambil menyorotkan tatapan tak suka pada Luvi. Tak butuh waktu lama, Luvi menggiring Ken mendekati  Helena yang sedang tersenyum hangat membalas teman-temannya yang menanyakan ini-itu.

"Happy birthday, Na!" seru Luvi sembari memeluk Helena sekilas.

Dengan wajah datar Ken berkata, "Happy Birthday."

"Lo berdua cocok, deh," celetuk Helena membuat Luvi terkekeh.

Luvi tersenyum dengan raut wajah sumringah. "Thanks ya."

Seolah memang hanya Luvi yang pantas bersanding dengan Ken. Seolah ia telah berhasil memenangkan hati Ken. Seolah ia bangga karena akhirnya ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.

Lagu dansa tiba-tiba diputar, wajah Luvi yang semula bahagia kini menjadi berkali-kali lipat lebih bahagia. Itu artinya, ia bisa berdansa dengan Ken.

Ken bergerak kaku saat Luvi menggenggam tangannya. Sekilas, tanpa diduga, mata Ken menangkap figur gadis yang sedang duduk sendirian di antara ingar-bingar pasangan yang mulai berdansa. Gaun putih floral yang sedang dikenakannya terdapat noda es krim cokelat, tangan kirinya masih memegang satu cup es krim dan tangan satunya berusaha membersihkan noda tersebut dengan tisu.

Ke pesta ulang tahun cuma buat makan es krim?

"Ken ...," panggil Luvi sambil memegang pundak Ken.

Sekali lagi Ken melirik Ara, di sana sudah ada cowok yang membantu gadis manis itu membersihkan noda di gaunnya. Tawa tercetak jelas tatkala cowok itu malah memberi sapu tangan miliknya ke Ara.

Cowok itu, Al, malam ini datang dengan celana bahan dan jas hitam yang terlihat pas di tubuhnya. Jangan lupakan dasi kupu-kupu berwarna putih yang terlihat serasi dengan gaun floral putih milik Ara.

Entah apa yang terjadi, semua terlihat begitu cepat saat Luvi tiba-tiba saja melepas tangannya di pundak Ken. Membuat Ken menoleh pada Luvi dengan cemas.

"Luv, lo ke---"

"Ken," potong Luvi dengan senyum yang menenangkan. "Gue sayang sama lo, tapi dengan cara yang salah."

"Tapi, gue pernah bil---"

"Bilang kalau lo selalu ada buat gue?" Luvi terkekeh, "Gue tahu, lo bilang gitu karena lo iba sama gue."

"Luvi ...."

Luvi tersenyum, kedua tangannya memegang pipi Ken. "Memang bukan gue orangnya. Gue salah, gue yang terlalu berharap."

"Lo ngomong apa sih? Ngawur!"

Sempat Luvi menoleh pada Ara sebelum akhirnya ia menghela napas. Tak disangka Luvi malah berjinjit, lalu berbisik, "Terima kasih."

Terima kasih.

Sama sekali Ken tidak tahu makna terima kasih menurut Luvi. Ia hanya bisa menghela napas kemudian menunduk. Dengan berat hati, Luvi mengamati wajah Ken dengan saksama, matanya juga mulai berkaca-kaca.

"Samperin sana," celetuk Luvi, berusaha bercanda. Namun, tetap saja tenggorokannya terasa kering, sulit tertawa.

"Luvi, lo kenapa?"

"Nggak usah banyak tanya, sebelum gue berubah pikiran."

Kali ini, untuk pertama kalinya, Luvi melepas cowok yang dikaguminya hampir dari tiga tahun yang lalu. Malam ini, Luvi menyadari bahwa Ken sama sekali tidak mengingkannya. Karena semesta pun tahu, bukan Luvi orang yang selalu berkeliaran di pikiran Ken. Bukan Luvi pula alasan Ken merutuki keputusannya, hingga setiap malam-malam panjang cowok itu selalu menatap langit-langit kamar dengan helaan napas sesak.

Memang bukan Luvi orangnya, tapi Ara.

"Gue pulang duluan ya," ucap Luvi lugas.

"Gue anterin."

"Gue bakal berubah pikiran kalau lo ngomong kayak gitu," pungkas Luvi berjalan menjauh, ia benar pergi.

Ken diam. Perlu beberapa menit ia mencerna maksud obrolan Luvi. Apa iya ia harus menghampiri Ara? Untuk apa ia harus menghampiri? Kalau Ara malah menjauh, apa yang harus ia lakukan? Atau, nanti saja ia menghampiri Ara, kalau acaranya sudah selesai?

Ah, kelamaan lo Ken!

Intuisinya terdorong agar ia segera menemui Ara, entah apa yang akan terjadi selanjutnya, yang terpenting ia harus berada di depan Ara lalu mengajaknya pulang. Tubuh Ken meliuk, menghindari beberapa pasangan dansa yang bergerak ke sana-sini seiring suara musik mengalun. Tak lupa kata permisi yang ia lontarkan, terbalas dengan cacian karena ketidaknyamanan yang Ken timbulkan.

"Ara, ayo pulang!"

______

Di part ini nggak tahu kenapa, pokoknya kagum banget sama Luvi.

Yang namanya perasaan, mau dipaksakan atau memang keinginan, keduanya punya kapasitas yang sama untuk nuntut hak yang memang miliknya.

Iya, kan? :D

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang