32 | Salah Kirim

127 16 0
                                    

Bagian 32

Salah Kirim

"Lupakan indah, hilangkan semua, semesta pun rela menerima."
Bekas Luka-Dialog Senja

_____

"MENURUT Abang gimana?" tanya Ara setelah obrolan bersama Damar selesai.

Selepas Damar pulang kerja, Ara memohon agar Damar bisa menjadi tempat berbagi cerita, menuangkan keluh kesah yang menghinggapi hatinya seharian ini. Sebenarnya tanpa memohon pun Damar langsung mengabulkan detik itu juga. Diawali dengan masalah perubahan sikap Ken, yang pasti menyeret tentang perasaan sesak ketika melihat Ken bersama Luvi di sekolah tadi, juga membahas tentang perkelahian Ken dengan Al.

Pokoknya semua Ara ceritakan tanpa ada yang tertinggal sedikit pun.

"Abang awalnya bisa kenal sama Ken, gimana sih?" tanya Ara penasaran.

Damar bangkit dari duduk lalu mendekati Ara yang sedang sibuk dengan lego pemberian Damar. Ia mengutak-atik menjadi berbagai bentuk apa saja.

Dengan keadaan yang masih berdiri, Damar mengambil beberapa komponen lego lalu mulai menyusun. "Awalnya Abang temenan sama Bagas, terus Ken sendiri sahabatnya Bagas. Jadi, lama-kelamaan sering main bareng bertiga."

Ara mengangguk, terbentuk bulatan di mulut tanda mengerti. "Jadi, Ara harus gimana?"

"Pilih sesuai apa yang hati Ara yakini. Oh, ya, Ra. Awal yang paling awal banget Abang kenal Ken, saat Ara masih kelas 1 SMP. Dulu, ia nanya ke Abang, siapa nama Ara terus Abang kasih tahu, deh. Sekalian ngasih tahu juga kalau Ara itu adik Abang," jelas Damar.

Ara tertegun, ternyata benar Ken menyukainya sejak ia SMP. Berarti sudah tiga tahun, sesuai apa yang Ken katakan dulu.

Pikirkan juga waktu tiga tahun itu.

Ara mengulang kalimat itu dalam hati. Selama itu Ken berusaha mengejarnya. Namun Ara? Terlalu fokus pada Al yang sama sekali tidak mempedulikannya.

"Kalau cowok yang malah itu antar Ara pulang siapa? Yang pakai kacamata, tuh?"

"Itu namanya kak Al. Dulu Ara memang kagum sama kak Al, orangnya pinter, baik, pokoknya semua aura positif nempel ke dia," sahut Ara malas mengingat sikap Al yang akhir-akhir ini seperti pelupa. Apalagi mengingat tentang ajakan dinner yang berakhir gagal, untung ada Ken kala itu.

Ah, iya, kenapa Ara gelisah tentang perasaannya sendiri untuk Ken? Jangan-jangan, Ara mulai pesimis dengan tekadnya?

"So?"

"Hah?"

"Pilih apa kata hati Ara, Abang yakin kalau Ara pasti milih Ken. Jadi, coba aja Ara perjuangin Ken. Ingat lagi berapa lama Ken perjuangin Ara, bertahun-tahun 'kan?"

"Tapi Bang, sikap Ken berubah, dia malah ngejauhin Ara," cicit Ara.

Damar melepas kepingan lego dari tangan Ara, menyimpan ke atas meja belajar. Ia mengambil kedua tangan Ara, menuntun supaya Ara berdiri dan menghadapnya. Damar memegang bahu Ara, menyalurkan keyakinan disertai senyum optimis yang dilontarkan. "Ada beberapa keadaan seseorang yang nggak pantas orang lain tahu, mungkin Ken lagi ada di posisi itu."

"Iya, Bang. Ara sayang Abang."

"Abang juga," balas Damar membalas dekapan Ara. Mata Ara menghangat, menatap lego yang tergeletak di meja belajar. Tiba-tiba ia merindukan Ayah dan Bunda. Dua orang paling berharga dalam hidup, walau dadanya kembali sesak karena ia belum merasakan kasih sayang orangtua di saat ia sangat membutuhkan sosoknya.

Hanya ada Damar juga Mbok Ida yang kini menjadi rumah keluh kesahnya. Terpenting Damar, Abang satu-satunya itu berhasil menutup luka yang kembali menganga.

"Ara rindu Ayah sama Bunda," lirih Ara menumpahkan air matanya ke kaus biru dongker yang dipakai Damar.

Damar melepas dekapan, kembali memegang kedua bahu Ara yang sedang terguncang. "Masih ada Abang yang selalu ada untuk Ara."

Ibu jari Damar terulur menghapus jejak air mata di pipi Ara. Ia juga sama, merasakan seperti apa yang Ara rasakan. Namun, Damar tidak ingin menampilkan kesedihan maupun rasa rindu itu di depan Ara. Karena Damar kali ini berperan sebagai pembawa kebahagiaan, maka dari itu ia akan menutupi semua kesedihan demi Ara.

"Ya udah, Ara sana gih tidur," ucap Damar mengusap surai Ara halus lalu keluar dari kamar nuansa cokelat muda tersebut.

Setelah kepergian Damar, sejenak Ara duduk di bibir kasur. Sekedar menghela napas panjang lalu mengembuskannya pelan, mengurangi sesak di dada. Hingga kelopak mata semakin turun, mulai kantuk ternyata.

Ara tersentak pelan begitu merasakan getaran ponsel yang berada di samping Popo. Tanpa minat ia meraih lalu membuka lockscreen dengan malas. Menekan sebuah pesan yang masuk. Tiba-tiba matanya yang semula kantuk menjadi terbuka sempurna dengan desiran hebat yang menjalari dada ketika mengetahui nama pengirim pesan tersebut.

Ken:
Gue otw ke rmh lo Luv

Sempat kesal, Ara menduga kalau Ken salah kirim. Kehadiran kata terakhir di pesan itu tentu saja membuat hati Ara melengos kecewa.

Luv? Kak Luvi?

Ara hanya membaca, ia menunggu sampai layar ponselnya mati sendiri. Sampai beberapa detik kemudian layarnya kembali menyala, menampilkan pesan dari pengirim yang sama.

Ken:
Sori, salkir

Betul saja, memang salah kirim. Ia mendengus kesal, menyimpan kasar ponsel ke nakas. Mengerucutkan bibir sambil membanting tubuh ke kasur, membentuk bintang besar.

Hari melelahkan ini sudah ia lewati. Sesak demi sesak yang beruntun menghampiri bersambung di sini, besok baru mulai lagi.

Di tempat lain, Ken baru saja menghempaskan tubuh ke kasur setelah menerima telepon dari Luvi perihal ia ingin mengajak Luvi jalan malam ini. Namun, setelah momen ia salah mengirim pesan, tanpa merasa bersalah ia membatalkan rencana jalan malam ini bersama Luvi lalu mematikan ponselnya secara sepihak.

Sungguh, saking terlalu memikirkan gadis manis yang bernama Ara membuatnya salah fokus. Pesannya ditujukan untuk Luvi, tapi gerak impulsif malah terdorong untuk mengirimkan pesan itu ke nomor Ara.

Sial. Malam ini lagi-lagi Ken menghela napas sesak menatap langit-langit kamar.

Untuk malam, selamat bekerja, melelapkan dua insan yang diam-diam saling memikirkan.

_____

Makasih yang udah baca <3 selamat ngabuburead bareng cerita ini, wakakak ^^

Salam,

Illa :)


Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang