31 | Tekad Ara

115 13 0
                                    

Bagian 31

Tekad Ara

"Dan ... perlahan kau pun, lupakan aku, mimpi burukmu."
Dan-Sheila on 7

_____

ARA melangkah gusar menuju kantin. Terlihat di sana sudah ada Caca dengan senyum cemerlang sambil melambaikan tangan ke arahnya. Namun, raut wajah Caca berubah seketika saat menyadari Ara yang menunduk lesu.

"Lho kenapa? Kak Ken udah makan bekalnya 'kan?"

Itu kalimat pertama yang Ara dapat setelah kedatangannya ke kantin, dan tentunya lagi-lagi kepala Ara mengulang kejadian antara Ken dan Luvi.

Ara menjulurkan tangan, mencomot dimsum yang beralaskan wadah styrofoam milik Caca. Rasa dimsum yang biasanya gurih dan lezat menjadi hambar mengingat perkara tadi.

"Bekalnya jatuh, gara-gara lihat Ken sama kak Luvi berduaan di kelas," adu Ara mengerucutkan bibir geram. Caca hendak berkomentar, tapi suara derap langkah semakin jelas mendekati mereka.

"Ara! Ara!"

Suara familier menelisik ke gendang telinga Ara. Esfa datang tergesa-gesa, mengatur napas sebelum berbicara. Ia merebut es teh manis Caca lalu meneguknya hingga habis tak tersisa. Untung mood Caca sedang baik, maka ia biarkan Esfa menghabiskan es teh manis yang sama sekali belum ia minum.

Ara penasaran, Caca juga, bahkan semua pasang mata di kantin menoleh pada Esfa dengan sorot super penasaran.

"Kenapa Kak?"

Tanpa ba-bi-bu Esfa menarik tangan Ara, membawanya entah ke mana. Caca yang semula hanya melongo atas tindakan Esfa, kini terpaksa mengikuti Ara demi menuntaskan rasa penasaran.

Sebuah momen dengan bising adu jotos serta orang-orang melingkar, menonton. Sahut-sahutan suara penonton yang berseru, "Hajar! Hajar! Hajar!"

Bugh! Bugh! Bugh!

Di sana bisa terlihat dengan jelas adegan saling pukul. Ara merutuki dirinya sendiri, harusnya tadi ia tidak mengikuti Esfa, harusnya tadi ia tidak ikut campur masalah yang akan semakin merumitkan. Rasanya Ara ingin hengkang kaki, tapi ia sudah tidak tahan lagi. Ara merapatkan telapak tangan, meluruskan seperti pose hendak berenang untuk membelah kerumunan.

"Gue nggak tahu apa-apa!"

Darah segar bercucuran dari hidung Al. Seragam yang dipakainya menjadi kusut berantakan, rambutnya acak-acakan berbaur keringat. Belum lagi sudut mata kanannya bengkak, menyebabkan matanya menyipit menahan rasa sakit.

Hatinya ikut merasa ngilu saat Ken menarik kerah seragam Al dan langsung menonjok rahang kokoh Al hingga menimbulkan bunyi keretakan. Manik cokelat Al yang selalu memberi keteduhan kini menjadi tatapan sendu kepasrahan.

"Bohong! Gue nggak akan percaya sama lo!"

Ken kembali melayangkan tinju ke perut Al. Tubuh Al mundur, bersandar lemas di dinding belakangnya.

"Gue bisa jelasin!" papar Al dengan tubuh sempoyongan mendekati Ken.

"Gue nggak butuh penjelasan lo!" Tinjuan Ken yang sekarang membuat Al terkapar di lantai. Ken mendekat dan meletakkan kaki kanannya ke dada Al, bersiap untuk menginjaknya.

"Cukup," kata Ara menyentak bahu kanan Ken lumayan keras. Sorot mata penuh amarah Ken melunak saat bertubrukan dengan manik mata Ara yang penuh ketenangan. Kemudian Ken menjauhkan kakinya dari dada Al. Mengubah posisi tubuh menjadi berhadapan dengan Ara.

Ara mendongak, guratan tegas di wajah Ken dengan manik mata hitam jelaga yang melunak itu membuat Ara menghela napas pelan. Entah kenapa di matanya, Ara bisa mengetahui ada luka terdalam, sedalam lubang tanpa dasar. Rasanya Ara ingin merengkuh Ken. Rasanya Ara ingin mengetahui Ken lebih dalam. Rasanya Ara ingin menjadi partner dalam mengemban masalah yang dihadapi Ken.

Namun ... atmosfer seketika berubah. Keadaannya seolah Ara sedang berada di ujung jurang, ia bingung untuk tetap diam di tempat sembari meneguk ludah takut atau menerima uluran tangan Ken disertai mata merah penuh amarah. Momen kali ini benar-benar membingungkan, sekilas Ara menengok Al yang sedang berusaha berdiri dibantu teman-temannya.

Oh, ya ampun! Teman macam apa ketika mereka saling adu jotos malah menyorakinya dengan gembira, namun ketika tak ada lagi penyerangan malah mulai membantunya.

"Ikut gue," ujar Ken yang masih berusaha menetralkan napas, mencengkram lengan Ara menjauh dari ingar bingar kejadian tadi.

"Kenapa?" tanya Ara setelah Ken melepas lengannya. Kini, mereka berada di depan gudang sekolah, dimana tempat tersebut nyaris tak ada sedikit pun suara yang mampir ke telinga.

Saking sunyinya mungkin jika ada pensil atau benda apa pun yang jatuh terpelanting ke lantai suaranya akan terdengar dua kali lipat lebih keras dibanding tempat lain yang ramai.

"Nggak apa-apa," jawab Ken sembari menyilangkan kedua lengan ke dada lalu membuang muka, mengedarkan pandangan ke arah lain walau kadang melirik Ara dengan rasa gengsi tinggi.

Aneh!

"Lo nggak marah?"

"Karena?"

"Karena gue udah mukulin Al."

Hei, untuk apa Ara marah tanpa alasan yang jelas? Dalam sudut pandang Ken, mungkin sudah sangat jelas---melanjutkan aksi tadi pagi saat Al mendatanginya di Bandung. Tapi bagi sudut pandang Ara? Ia sama sekali tak tahu masalahnya, jadi lebih baik diam. Ken yang selalu tertutup dengan masalahnya sendiri, dipadukan dengan ketidaktahuan Ara sama sekali.

"Aku lebih marah lihat kamu sama kak Luvi berduaan tadi," ucap Ara lugas, tak peduli tatapan tajam Ken langsung menghunus hatinya. Seolah tatapan itu mengisyaratkan agar Ara tak perlu ikut campur di dalamnya.

Ken maju satu langkah, mengikis jarak. Gugup adalah satu-satunya rasa yang Ara rasakan saat ini. Namun rasa gugup itu langsung lenyap saat Ken memundurkan tubuh dan mengulas senyum meremehkan.

"Nggak usah ikut campur!" tegas Ken meninggalkan Ara yang masih diam mematung.

"Semakin kamu jauh, semakin semangat aku kejar," cetus Ara tiba-tiba.

Tentu saja Ken menghentikan langkah, menoleh ke belakang. Ia kembali tersenyum dan berkata, "Coba aja kalau bisa!"

"Pasti bisa!"

Tekad Ara semakin kuat, ia tidak main-main dengan ucapannya barusan. Terkadang Ara bingung dengan dirinya sendiri, apa sanggup ia menjauhi Ken? Sosok yang sekarang ini menjadi tempat debaran jantungnya tak bisa terkendali, tempat sumber tawanya bisa kembali, tempat untuk sedihnya beringsut pergi, dan tempat terbaik yang terus dirindukannya sampai kini.

Mana mungkin ia bisa menjauhi Ken!

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang