49 | Benci

86 10 0
                                    

Bagian 49

Benci

"But you only let me hold you when he can't."
Mean It-Lauv & Lany

_____

ARA kabur dari rmh

Tolong bntu cri ya

Udah ketemu blm?

Orang itu mematikan ponsel setelah membaca pesan baru. Jantungnya berdegup cepat mengendarai motor dengan penuh kekhawatiran.

Sejenak, orang itu mengembuskan napas berat. Instingnya mengatakan bahwa yang ia cari ada di sini. Langkahnya menarik ke suatu bangunan yang begitu familier. Menatap pintu berpelitur cokelat lalu mengetuknya beberapa kali.

Wanita paruh baya muncul, tersenyum ramah. Beliau tahu maksud kedatangan orang itu, langsung saja beliau berucap, "Mbak Ara ada di dalam, sedang istirahat, Mas."

Dan di sini, ia menemukan Ara.

Terima kasih Tuhan.

Ia berjongkok, menatap teduh mata Ara yang terpejam. Tangannya terulur mengambil handuk kecil di kepala Ara, mencelupkannya kembali ke baskom berisi air hangat lalu memerasnya halus. Jemarinya menyibak anak rambut yang menutupi dahi Ara. Perlahan handuk kecil itu ia letakan kembali di dahi Ara.

Melihat wajah teduh Ara seperti ada banyak belati yang menghujam hatinya tanpa ampun. Ia mengusap lembut puncak rambut Ara lalu mengulas senyum tipis.

"Ra ..., bangun." Orang itu menepuk pelan pipi Ara.

Sepasang mata Ara perlahan terbuka. Lalu mengerjap, berusaha beradaptasi dengan keadaan sekitar. Senyum terlukis di wajah saat mendapati Bagas di hadapannya. "Bagas?"

Orang itu tampak heran. "Bagas?"

"Gas, bawa aku pergi. Aku nggak mau pulang, rumah selalu ngingetin aku sama Ayah dan Ibu. Aku mau di sini aja, sama anak-anak panti lain," ucap Ara menarik lengan orang itu, setidaknya ia butuh seseorang untuk menemani. "Aku juga nggak mau ketemu Ken, papanya udah buat Ayah sama Ibu nggak di sini lagi bareng aku. A-aku benci Ken."

Orang itu, Ken, terdiam di sana dalam waktu yang sangat lama.

_____

Pagi ini, tidak seperti pagi-pagi yang dilalui sebelumnya. Ara termenung duduk di teras rumah seraya menatap kosong semangkuk sup jagung buatan Mbok Ida. Usapan halus mendarat di puncak rambut Ara, gadis itu mendongak tanpa ekspresi.

Damar mengulas senyum lebar dengan deretan gigi putih yang ia pamerkan. Kedua sudut bibir yang semula terangkat itu perlahan turun setelah meneliti wajah Ara yang pucat dan mata yang sedikit sembab.

"Jangan dilihatin terus dong, dimakan Ra," ujar Damar yang sama sekali tak direspons Ara.

Cowok itu kembali tersenyum ceria berusaha menghibur. "Abang pergi kerja dulu ya, kalau ada apa-apa minta bantuan mbok Ida."

Tanpa Ara cerita juga Damar sudah tahu mengenai semuanya melalui Bagas tadi malam. Sebenarnya, Damar juga ingin marah, bahkan ingin lebih marah dari Ara. Tapi bagaimanapun juga, marah bukan solusi yang tepat. Memangnya dengan marah bisa membangkitkan kembali orang yang sudah meninggal? Tentu saja tidak.

Ara hanya butuh waktu untuk menerima semuanya. Dan tentunya tidak secepat yang dipikirkan. Meluruskan kembali benang-benang yang kusut untuk disatukan dalam bentuk kain saja butuh waktu yang lumayan lama. Apalagi masalah hati yang seperti ini.

Ibaratnya, luka lama Ara karena kehilangan orangtuanya semakin menganga ketika Ken menaburkan garam.

"Dadah!" seru Damar melambaikan tangan.

Tepat setelah kepergian Damar, seseorang datang lalu duduk di sisi Ara. Orang itu mengamati sup jagung dan Ara segera bergantian.

Ia menoleh pada Ara sebelum akhirnya menatap lurus ke depan. "Lo tahu? Emangnya kalau lo nggak makan semuanya bakal berubah lebih baik?"

Bagas tertawa pelan. Ia melirik Ara penuh keseriusan. "Sebelumnya gue minta maaf. Tadi malem seharusnya gue nggak mukulin Ken, hal ini pasti nggak bakal terjadi."

"Gue udah anggep lo kayak adik gue sendiri, Ra. Dari awal Ken naksir lo, dari pertama lihat lo dateng ke kafe bareng Damar waktu itu juga gue langsung anggep lo adik gue sendiri. Lo itu pusat kebahagiaan kedua sahabat gue, Damar sama Ken."

Ara hanya memainkan sendok seolah berlagak mengaduk-aduk. Awan mendung mengumpul di hatinya, tak ada yang bisa mendeskripsikan bagaimana rasa sesak yang Ara rasakan.

"Urusan jodoh, rezeki, meninggal, lahir, semua itu kehendak Tuhan, Ra. Asal lo tahu, Ken juga ngerasain apa yang lagi lo rasain sekarang ini. Dia hancur, ngerasa bersalah banget padahal jelas bukan salah dia. Iya, kan?"

Suara helaan napas panjang, Bagas terima sebagai bentuk balasan. "Ken sama kayak lo, dia juga nggak percaya kalau bokapnya udah buat orangtua lo nggak ada."

"Ra, gue mohon sama lo maafin Ken."

Bagas sama sekali tidak suka pada situasi seperti ini, situasi dimana ia banyak berbicara tapi lawan bicaranya hanya diam. Bahkan, dari tatapan Ara yang penuh kekosongan itu bertanda jelas kalau Ara tidak ingin mendengar ucapannya.

"Ra, lo ngomong dong! Jangan diem mulu!" Ada raut kesal di wajah Bagas.

Tanpa diduga, kedua tangan Bagas mencengkram kedua pundak Ara lalu menghadapkan pada dirinya. Ara menunduk, sibuk dengan sup jagung yang hampir jatuh jika ia tidak memegangnya dengan erat.

"Lihat mata gue," kata Bagas. Butuh beberapa detik Ara mendongakkan kepala dan menatap sayu manik mata Bagas.

"Kali ini gue nggak nyuruh lo minta maaf ke Ken karena itu hak lo. Tapi, coba lo lihat dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang Ken, dia sama terpukulnya sama lo," jeda sejenak. "Dimakan supnya," lanjut Bagas yang langsung diangguki oleh Ara.

Perlahan Ara menyantap sup tersebut dengan hati yang lumayan membaik. Bagas tersenyum cemerlang ketika Ara sedikit meliriknya.

Mendadak senyum Bagas pudar. "Hari ini coba lo temui Ken."

"Kenapa?"

"Karena besok dia pergi ke Munchen."

Rasa sup jagung yang semula lezat, mendadak menjadi hambar.

____

Makasih yang udah baca <3

Stay tune! Pukul 20.00 WIB aku bakal up ending (+_+)

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang