10 | Suka Belum?

210 55 6
                                    

Bagian 10

Suka Belum?

"Mendengar cerita kau kini bahagia, ku hanya bisa tersenyum mendengarnya, sayangnya bukan ku yang membuat kau tertawa."
Tak Terbaca-Juicy Luicy

_____

MALAM yang indah bagi Ara.

Malam ini Damar mengajaknya ke pasar malam. Tentu saja Ara menerima ajakannya sebelum Damar berubah pikiran. Kini, dirinya mengantre untuk menaiki wahana bianglala bersama Damar.

Sialnya, Damar tak kunjung datang sejak sepuluh menit yang lalu izin ke toilet. Kalau bukan karena bintang-gemintang yang indah, Ara tak mau berada di sini. Tapi, kalau kejadiannya seperti ini, lebih baik sekarang Ara hengkang kaki.

Antrean menipis hingga akhirnya Ara masuk ke dalam kubikel sendirian, tentu saja petugas segera menghampiri.

"Kak, sendiri, ya?" tanya petugas itu dengan sopan.

Mau tak mau Ara mengangguk. Apa boleh buat? Sampai sekarang Damar tak kunjung datang. Hal yang tidak ia sukai dari bianglala, kemungkinan tidak boleh masuk ke dalam kubikel seorang diri, mengingat nanti keseimbangan di dalamnya tidak tercapai. Minimal dua orang dalam satu kubikel.

"Dia sama saya, Pak," sela cowok yang baru datang. Bukan Damar, melainkan Ken.

Mumpung Ara dalam kondisi mood yang baik, ia hanya mengangguk sekilas. Membiarkan Ken satu kubikel dengannya. Sedikit jengkel pada Damar, ingatkan Ara untuk membalas perbuatan Damar di rumah nanti.

"Sendiri?"

"Nggak, sama Abang. Tadi izin ke toilet, tapi nggak balik lagi," jawab Ara ketus.

Ara melirik Ken melalui ekor matanya. Cowok itu menunduk dengan sedikit meringis. Kubikel juga sudah mencapai puncak tertinggi. Ara menoleh ke bagian langit yang banyak bertaburan bintang. Ken berdeham, membuyarkan fokus Ara menyaksikan bintang-gemintang.

"Suka banget ya sama bintang?" tanya Ken basa-basi, padahal dirinya tahu jika Ara menyukai bintang.

Ara mengerjap, mengamati Ken. Ada yang lebih penting dari ucapan Ken barusan, dari sorot lampu di puncak bianglala ini, Ara melihat pelipis kanan Ken membiru dan sedikit bengkak.

"Itu pelipis kanan kenapa lagi? Berantem?"

Seperti anak yang baru dimarahi orangtua, Ken hanya mengangguk patuh.

"Diobatin belum?"

"Udah tadi."

Ken mengambil earphone dari saku kemejanya. Tersenyum tipis sebelum berbicara pada Ara. "Coba ambil earphone-nya. Kita dengarkan lagu sama-sama."

Daripada diam, lebih baik Ara mengikuti Ken, mengambil earphone. Membuka playlist-nya, mencari lagu yang ingin ia dengarkan.

"Tunggu dulu, lagunya yang sama. Juicy Luicy, judulnya Tak Terbaca."

"Aku nggak punya, yang lain aja."

"Aku nggak percaya kalau kamu nggak punya."

Ya ampun! Sebenarnya Ara punya semua lagu Juicy Luicy, itu pun ia mulai suka karena Ken mendengarkannya lagu Juicy Luicy yang judulnya Mawar Jingga waktu perjalanan ke toko bunga Pakde Jun. Awalnya penasaran, entah mengapa sekarang selera musiknya sama dengan Ken.

Aku tahu, Ra, kamu pasti punya. Aku pernah lihat layar ponsel kamu yang menampilkan playlist Juicy Luicy waktu di kantin saat aku temani kamu dihukum keluar dari kelas.

Ara mencebikan bibirnya. "Iya aku punya. Heran deh Ken, kenapa sih kamu bisa tahu semua tentang aku?"

"Karena aku Ken. Udah ayo pakai earphone-nya, dalam hitungan ketiga kita dengarkan lagunya sama-sama, satu ... dua ... tiga ...."

Memejamkan mata merupakan salah satu kebiasaan Ara ketika mendengar lagu yang menurutnya indah. Hening sesaat. Kubikel kini sampai di titik awal, petugas menghampiri.

Tanpa sepengetahuan Ara, Ken berbicara pada petugas yang hendak membuka pintu kubikel. "Pak. Satu putaran lagi, boleh?" tanya Ken pelan, tak ingin merusak kenyamanan Ara dalam mendengarkan musik. Petugas itu pun mengangguk sopan.

"Di dalam terluka, di luar tak terbaca, memandang kecewa kau senang di sana," gumam Ara pelan, membuat Ken tersenyum dengan sendirinya.

Ken yang melanjutkan, "Mendengar cerita kau kini bahagia, ku hanya bisa tersenyum mendengarnya, sayangnya bukan ku yang membuat kau tertawa."

Tiba-tiba Ara membuka mata, menatap Ken lekat-lekat. Cowok itu menutup matanya dengan damai sambil bersandar.

"Gimana Ra?"

"Apanya?"

"Udah suka belum?"

"Suka," jeda Ara, Ken spontan membuka matanya, mengerjap beberapa kali. "Suka sama lagunya," lanjut Ara tertawa saat melihat ekspresi Ken yang tak seperti biasa. Hidung yang mengendus-endus, mungkin kesal dengan jawaban Ara.

Tunggu, ini Ara tertawa untuk Ken? Fenomena yang langka bagi Ken. Kedua sudut bibir Ken tertarik membentuk senyuman.

"Ara suka belum sama Ken?"

Ara memilih diam. Ada yang salah dengan dirinya, pertanyaan Ken barusan memberi efek aneh, susah untuk dijelaskan. Ara tidak merasakan hal seperti ini ketika bersama Al, tapi Ara merasakannya saat bersama Ken. Menyebalkan, Ara benar-benar tidak suka.

"Ken salah ngomong ya? Kok Ara diam?"

Sebelum Ara menjawab, petugas membuka pintu kubikel. Secepat kilat pintu kubikel Ken halangi dengan tangannya. "Kok diam? Sini jatuhin senyumnya dulu, baru nanti bisa keluar."

Ken menengadahkan tangan, seolah menerima jatuhan senyuman Ara dan berlagak menangkap udara kosong yang dianggap jatuhan senyum Ara.

Ara tersenyum, tulus sekali. Tahu arti senyum tulus bagi Ara? Senyum yang datang dengan sendirinya.

Ken memasukkan udara kosong itu ke saku kemejanya. "Senyumnya disimpan, biar nggak hilang-hilang. Makasih, Ara-nya Ken."

Pipi Ara bersemu merah di bawah temaram lampu, walau tidak terlalu jelas, tapi Ken tahu karena Ara yang salting.

Bahkan, petugas kubikel juga tahu jika pipi Ara bersemu dan jahil berkata, "Masnya pintar buat Kakak ini tersenyum."

_____

Makasih yang udah baca <3 jangan lupa vote & komen, ya!

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang