29 | Sisi Gelap

134 16 0
                                    

Bagian 29

Sisi Gelap

"Tenangkan hati, semua ini bukan salahmu, jangan berhenti, yang kau takutkan takkan terjadi."
Rehat-Kunto Aji

_____

ADA banyak hal yang terjadi dalam hidup Ken. Ada yang ia inginkan dan ada juga yang tidak ia inginkan. Tentunya yang sekarang ini bukanlah keinginan Ken. Sama sekali bukan.

Ken terbangun dengan kepala yang sangat pusing, rasanya seperti ingin pecah. Penglihatannya seolah kabur, namun Ken yakin seratus persen bahwa kini ia berada di rumahnya yang ada di Bandung. Pelan-pelan Ken menggerakkan tubuhnya untuk bangun, rasanya semua otot di tubuhnya hilang. Lemas tak berdaya. Hanya jemarinya saja yang mulai bergerak walau harus disertai bunyi gesekan antar tulang.

Setelah dirasa tubuhnya sudah cukup baik, ia bangkit berjalan ke kamar mandi. Menatap terkejut pantulan wajahnya sendiri melalui kaca wastafel.

Apa yang dilakukan semalam?

Sudut bibir tercetak jelas dengan beberapa jejak darah yang mengering, pelipis kiri berwarna biru, dan mata kanan bengkak menciptakan matanya menyipit. Saat hendak menghapus jejak darah di sudut bibirnya, Ken kembali terkejut dengan kehadiran darah di tangannya. Biasanya orang kalau baru bangun tidur akan meninggalkan jejak iler di wajah, Ken malah memelihara luka di wajah.

Ya ampun!

Akhirnya cowok itu baru ingat. Tadi malam beberapa orang suruhan papanya datang ke sini, memperingati Ken agar tidak mendatangi rumah gaya Eropa kuno di Bandung ini.

Ken terlalu naif.

Ia hanya membiarkannya saja, tanpa membalas. Alhasil, luka lebam menjadi hiasan wajahnya untuk hari ini. Tapi, ketika beberapa orang suruhan itu pergi meninggalkannya, Ken yang saat itu kacau malah melancarkan aksi atas tindakan impulsif; dinding ruang tamu menjadi sasaran utama amukannya, tangannya menyalurkan emosi ke dinding dengan bebas.

Ken mengaliri air pada tangan, lalu membersihkan wajah walau terasa amat perih. Kemudian menyugar rambut perlahan, menghela napas gusar. Matanya fokus memperhatikan beberapa luka di wajah melalui kaca dengan tangan yang bertopang pada wastafel.

"Ken harus janji ya sama Mama, Ken harus nurut sama Papa. Kalau ada masalah, selesaikan baik-baik. Jagoan Mama 'kan kuat, Ken jangan sedih lagi ya. Ken juga harus ingat, Papa sayang sama Ken."

Ingatan beberapa tahun lalu kembali berputar di kepalanya. Seolah kalimat itu membisikinya diam-diam.

"Papa nggak sayang sama kita, Ma. Maaf, Ken nggak bisa nepatin janji Mama. Ken sayang Mama," lirihnya diakhiri embusan napas gusar, lagi.

Suara decitan ban mobil terdengar nyaring di sepanjang jalan depan rumah. Seperti manusia pada umumnya jika penasaran, ia mendekat ke sumber suara. Baru saja ia membuka pintu, langsung disuguhi oleh kehadiran cowok berkacamata yang hendak mengetuk pintu rumahnya. Tangan cowok itu berhenti di udara, tatapan nyalang terpatri jelas di wajah.

"Gue minta maaf, sumpah gue baru tahu!"

Amarah Ken memuncak, buku-buku tangannya memutih menahan emosi. Ditariknya kemeja marun yang dipakai cowok itu dengan kasar, membawa cowok itu untuk dihempaskan ke mobil miliknya sendiri.

"Gue minta maaf, gue minta maaf, gue minta maaf," ucap cowok itu berulang kali sembari menyatukan telapak tangannya tanda maaf.

Lengan Ken merangkul cowok itu. Menyambutnya dengan senyum terpaksa. "Ngapain lo ke sini?" tanya Ken berbasa-basi, ia semakin kuat merangkul cowok itu.

"Gue mau jelasin."

"Apa yang perlu dijelasin?"

Rangkulannya meregang, tangan Ken semakin mendekat dengan leher cowok yang wajahnya terlihat kebingungan. Perlahan jemarinya mencengkram leher cowok itu. Sedikit demi sedikit cengkeramannya semakin kuat. Membuat cowok itu kelabakan, napasnya tersengal. Wajah pucat cowok itu tak Ken hiraukan. Ia tetap melakukan aksi di luar kehendaknya.

"Ken, le-pas," ucap cowok itu terpotong-potong.

"Kenapa lo? Katanya mau jelasin?"

Sebelum cowok itu menjawab, cengkraman Ken di lehernya bergerak seakan menarik cowok itu untuk mengikuti ke mana Ken akan membawanya. Kanopi gelap tercetak di bawah pohon mangga rumah yang ada di sampingnya, pohonnya tumbuh dengan kerimbunan yang mengagumkan. Ke petak gelap di bawahnya Ken membawa cowok itu.

"Gue ng-gak bi-sa na-pas."

Seperti banyak dentuman di hati tatkala melihat wajah cowok itu, bom waktu seketika meledak. Bingung, kecewa, sedih, rindu, semua itu telah menguasai jiwa Ken.

"Please, le-pas Ken. Gu-e mo-hon."

Ken memejamkan mata sejenak, mungkin jika tangannya bergerak lebih jauh dengan satu kedipan mata saja cowok itu akan tergeletak tak berdaya.

Namun, sepertinya keberuntungan sedang memihak cowok itu. Terbukti dengan suara lantang mendekati arah mereka. Bagas datang membawa sekantung plastik berisi surabi, makanan khas Bandung yang sangat ia gemari.

Padahal hanya beberapa menit Bagas meninggalkannya, sekarang kalap lagi. Iya, Bagas dengan sangat terpaksa datang ke sini pagi-pagi sekali, duduk di teras menunggu si empu rumah bangun dari tidur. Sahabat macam apa jika ia tidak menemani Ken ketika cowok itu sedang terpuruk berlarut dengan masalah.

Dari zaman Pithechantropus sampai era revolusi industri 4.0 kini, Bagas tetap sahabat Ken. Yang mau tidak mau, yakin tidak yakin, percaya tidak percaya ia harus ada bersama Ken. Baik dalam duka maupun suka, walau dalam hidup Ken banyak duka Bagas selalu bersamanya.

"WOY KEN LEPASIN!" Suara lantang Bagas berhasil menghentikan aksi Ken. Ia menarik mundur Ken, membiarkan cowok yang hampir mati di tangan Ken menghirup oksigen dengan sangat rakus.

"Gue, Bagaskara sebagai sahabat lo apa gunanya? Lo kalau ada masalah bilang-bilang! Bebannya kasih ke gue, cerita apa yang pengin lo ceritain, jangan kayak gini bego! Lo hampir bunuh orang, sinting!"

Ken mengacak-acak rambut frustrasi. Mulutnya terkunci rapat, padahal ingin sekali ia mengumpat. Napas Ken memburu, ini di luar kendalinya. Sejenak ia memijat pelipis, meredakan emosi yang dengan mudah menguasai dirinya. Ken maju selangkah lalu berjongkok menghadap cowok yang masih berusaha menetralkan napasnya.

Dengan kasar Ken menarik kerah kemeja yang digunakan cowok itu. "Gue benci lo! Sampai kapan pun gue nggak akan ngakuin kalau lo adalah abang tiri gue. Alfarez Yezkanda."

Cowok itu Al, diam dilahap aura dingin ucapan misantrop di hadapannya. Kenzie Athala, memiliki sisi gelap untuk ditunjukkan pada Alfarez Yezkanda. Karena pada dasarnya lebih buruk kejujuran yang terungkap di akhiran daripada kebohongan yang tampak pada awalan.

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang