30 | Perasaan Luvi

131 16 4
                                    

Bagian 30

Perasaan Luvi

"There's a room, ini my heart with the memories we made, took 'em down but they're still on their frames."
Never Not-Lauv

_____

"THANKS ya Ken!"

Ken berdeham sebagai balasan lalu kembali sibuk dengan buku yang sedang dibacanya. Tangannya memutar-mutar pulpen sembari berpikir keras mengenai beberapa soal lagi ia akan selesaikan secepatnya.

Gadis yang duduk di depan mejanya kembali menoleh ke belakang, mendekatkan topi sekolah yang tadi pagi ia pinjam pada Ken. Tadi pagi, sosok Ken seperti pahlawan yang melaksanakan tugasnya dengan heroik. Hanya sekedar meminjamkan topi sekolah pada gadis sekelasnya yang bisa dikonspirasikan baru dua kali ini ia berbicara dengannya.

Padahal sudah tiga tahun mereka sekelas, tempat duduknya pun sangat dekat, namun kenapa gadis itu seakan menjauhi Ken? Menilai Ken seperti monster yang akan menikamnya hidup-hidup? Seperti kutub magnet di antara mereka sama, alhasil akan saling tolak-menolak. Sampai-sampai bertegur sapa pun, mereka sama sekali tidak tertarik.

"Sekali lagi gue ucapin makasih buat lo, kalau nggak gue bakal malu baris di samping podium pembina upacara," ungkap gadis itu lalu tersenyum simpul.

Ken menghentikan aksi memutar-mutar pulpen, meneliti wajah gadis yang terlihat gagu akibat ulah Ken. "Luvi, santai aja, lagipula gue emang bawa topi dua. Nggak ada salahnya juga gue pinjemin ke lo."

Tangan Luvi terbuka, menekuk satu persatu jemari tangannya. Menghitung jumlah kata yang keluar dari cowok yang jarang sekali berbicara padanya.

"Luvi. Santai. Aja. Lagipula. Gue. Emang. Bawa. Topi. Dua. Nggak. Ada. Salahnya. Juga. Gue. Pinjemin. Ke. Lo," ulang Luvi mengikuti gaya bicara Ken. "Wih, baru pertama kalinya lo ngomong panjang ke gue. Tujuh belas kata, Ken!" seru Luvi berbinar.

Lagi-lagi Ken membalas dengan dehaman, tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ia kembali pada dunia yang sempat ia ajak main-main, soal-soal ujian tahun lalu. Namun, suara Luvi kembali mengganggunya.

Merepotkan.

Tahu begini, tadi pagi Ken tidak akan meminjamkan topi sekolah ke Luvi. Hanya karena sedikit pertolongan yang diberikan, Luvi akan memberikan banyak kebaikan si penolong. Dan kali ini ia memulainya dengan sedikit basa-basi yang sama sekali tak Ken sukai.

"By the way, muka lo kenapa?"

"Bukan urusan lo juga," ujar Ken ketus, dan tentunya membuat si penanya diam.

Dalam hati Ken mengerang kesal, konsentrasi yang sangat sulit ia kumpulkan seketika menguar tatkala gadis dengan lesung pipi itu kembali bertanya.

Alis Luvi mengernyit heran, baru menyadari bahwa hanya ada ia dan Ken di kelas karena mungkin yang lain sudah ke kantin duluan. "Lo nggak ke kantin? Atau mau gue pesenin sesuatu gitu?"

"Nggak."

Jawaban pendek Ken membuat Luvi mendengus kesal. Oke, ia menatap Ken sembari bergidik ngeri, seakan cowok itu seorang kanibal yang hendak melahapnya bulat-bulat.

Ken berdecak, Luvi masih di berdiri di depan sembari menggerakkan manik mata ke arah kanan bawah. "Kenapa lo?" tanya Ken was-was, takut gadis itu kesambet atau apalah itu jenisnya.

"Ada yang mau gue omongin ke lo."

Alis Ken terangkat sebelah, topik kali ini lumayan menarik. Tapi tetap saja lebih menarik soal-soal yang sedang ia kerjakan.

"Ngomong aja," ucap Ken acuh.

Luvi menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan kasar. "Kenapa lo nggak pernah tanya kalau gue jarang ngomong ke lo?"

"Buat apa gue tanya? Nggak penting juga, bukannya lo sendiri yang tahu jawabannya?"

Ingatkan Luvi bahwa Ken adalah sosok yang ia jauhi karena ada alasan yang memang pantas. Namun, saat ini, keadaan terpaksa mendorong Luvi mengatakan sesuatu yang ditahannya kuat-kuat.

"Karenaguesukasamalo," kata Luvi tanpa jeda, secepat mata berkedip. Sedetik kemudian ia membekap mulutnya sendiri, malu karena keceplosan.

Mata Ken seolah mengisyaratkan agar gadis itu kembali berbicara, setidaknya memberikan alasan mengenai ucapannya barusan.

"Gue suka sama lo dari hari kedua MOS. Saat itu lo gantiin hukuman push-up gue karena gue datang terlambat. Kebetulan juga gue datang terlambat karena jatuh dari sepeda, kaki gue luka. Dan lo satu-satunya orang yang angkat tangan mau gantiin hukuman gue."

Apa-apaan ini!

Hanya karena ... hal seperti itu Luvi menyukai Ken?

"Luv, lo pasti inget posisi gue waktu itu. Gue, Kenzie Athala sebagai pemimpin barisan kelompok, dan lo termasuk anggota kelompok gue. Mana ada seorang pemimpin yang tega lihat salah satu anggota dihukum di saat keadaannya lagi nggak baik-baik."

Ken benar, Luvi terlalu berharap.

"Jadi ... gue ditolak, nih?" tanya Luvi dengan nada menimang, tapi nyatanya ia yakin, bahkan sangat yakin bahwa Ken memang tidak memiliki perasaan yang sama.

Sepertinya, kesadaran Luvi baru pulih. Ia menggelengkan kepala, mana ada orang langsung jatuh cinta hanya karena alasan klise seperti itu. Rasanya lucu, melebihi lelucon 'Kalau sendirian Sylvester Stallone, tapi kalau berdua jadinya Sylvester Stogether.'

Tidak apa-apa, hanya itu yang dapat Luvi rapalkan, kalimat sejuta umat cewek ketika ada apa-apa. Luvi membalik badan, berniat pergi ke kantin. Atau lebih tepatnya, enyah dari hadapan Ken.

"Luv?"

Pulpen yang ada di tangan Ken terlepas dan menutup buku tergesa-gesa. Kemudian bangkit mencegah gadis dengan lesung pipi itu dengan cara mencengkram lengan Luvi.

Luvi berjengit, lidahnya terasa kelu."I-ya, maaf gue sal--"

"Mulai sekarang gue selalu ada buat lo."

Tanpa mereka sadari ada hati yang terluka di balik jendela kelas. Darah seperti berhenti mengalir, ucapan Ken memberikan efek yang luar biasa. Kotak bekal yang dibawa sebagai tanda maaf meluruh dengan mudah, terpelanting hingga isinya berceceran. Isakan tertahan dengan susah payah, Ara memegangi dadanya yang terasa sesak melebihi apa pun.

Apa pun.

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang