33 | Cokelat

130 14 2
                                    

Bagian 33

Cokelat

"Terlambat kusesali semua yang terjadi, di saat kutahu kau tak mungkin kembali."
Perih-Senja

_____

MOTOR trail hijau berhenti tepat di depan plang dengan tulisan Nusa Bangsa. Setelah melepas helm, Ara merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Tanpa membuka helm dan hanya menurunkan kacanya saja Damar mengacak-acak rambut sebahu adik manisnya itu.

"Belajarnya yang rajin, jangan pikirin Ken mulu, oke? Good luck, Ra! Semoga Ken maafin Ara," ucap Damar kembali menutup kaca helmnya. Ibu jarinya teracung bermaksud menyemangati dan Ara membalas dengan lambaian tangan ketika sosok abangnya itu semakin menjauh dari pandangan.

Kisah rumit yang dijalaninya sedikit menemui titik terang atas usulan serta nasihat Damar.

Ada beberapa keadaan seseorang yang nggak pantas orang lain tahu, mungkin Ken lagi ada di posisi itu.

Berbekal kalimat itu sudah sangat cukup untuk hari pertama memperjuangkan Ken. Berbalik 180 derajat, kini giliran Ara yang memperjuangkan, bukan diperjuangkan.

Seutas senyum terbit ketika ia kembali melihat bekal yang ada di genggaman. Serta post-it berwarna biru sudah tertempel manis di kotak bekal.

Untuk Kenzie Athala.

Bekalnya dimakan ya! Happy nice day!

Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti mendadak. Seorang gadis dengan cokelat yang sudah dihias dengan pita berwarna merah sedang berdiri tepat di depan loker Ken. Ia hendak membuka pintu loker, tapi kehadiran Ara membuat gadis itu mengernyit bingung sekaligus menghunus Ara dengan sorot tajam.

"Lo Ara ya? Cewek yang gencar deketin Ken?"

Hei, pertanyaan Luvi barusan perlu dikoreksi! Ken yang mengejar Ara lebih dulu, dan sekarang situasinya berubah, giliran Ara yang mengejar Ken. Itu yang benar.

"Sok jual mahal, nggak punya hati! Cowok sesempurna Ken lo sia-siain!" ketus Luvi seraya memasukan cokelat yang dibawanya ke dalam loker nomor 08, milik Ken dengan stiker bangunan Frauenkirche kecil yang tertempel di sana.

Ingatkan Luvi bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna.

Ucapan Luvi langsung menohok Ara. Tapi, ada yang penting dari itu. Secepat mungkin Ara mengambil cokelat itu, namun lebih cepat Luvi mengambilnya balik.

Kesal dengan perlakuan Ara, semakin tinggi Luvi berjinjit meninggikan cokelat di genggaman. "Lo kenapa sih? Ini cokelat buat Ken!"

"Kenapa nggak langsung kasih ke Ken aja?" tanya Ara setengah sewot sambil berusaha mendapatkan cokelat itu.

"Lo juga kenapa nggak langsung kasih ke Ken aja bekalnya?" Luvi bertanya balik.

"Terserah aku, ish! Kak, siniin cokelatnya!"

Suara desisan terdengar nyaring sepanjang koridor loker. Saking terlalu tinggi Luvi berjinjit hingga tak sadar merenggut keseimbangan tubuh, punggung gadis berlesung pipi itu menubruk dinding di belakangnya. Sontak tanpa membuang waktu Ara merampas cokelat itu dari Luvi yang masih meringis kesakitan.

Hingga terdengar suara cowok dari ujung koridor. Cowok dengan dasi yang sudah terikat di kepala menampilkan wajah khawatir sembari melangkah ke arah ... Luvi?

Kok Luvi?

Sabar, Ra.

Ken menjulurkan tangan, membantu Luvi bangkit. Tatapan tajam nan dingin melayang ditujukan untuk Ara yang kini memegang kotak bekal dan cokelat sekaligus.

"Lo kok main fisik, sih?"

Astaga. Ini salah paham.

"Ken, aku nggak gitu," ucap Ara lirih.

Bola mata Ken berotasi jengah, cokelat di genggaman Ara memicu sesuatu yang hendak Ken sampaikan. Namun, sesuatu itu lenyap seketika.

Tanpa basa-basi Ken merampas cokelat yang diduga sebagai sumber masalah. Ekspresi wajah Luvi merah padam karena mungkin Ken akan berterima kasih atas cokelat itu pada Ara. Tapi Ara, gadis itu memandang Ken sangat khawatir, melebihi rasa khawatir Ken pada Luvi tadi.

"Ken! Jangan dimak--"

Ken melahap cokelat itu dengan mudah, tidak memikirkan apa yang terjadi selanjutnya. Tubuh Ken menimbulkan reaksi atipikal dari sistem kekebalan tubuh atas zat yang terkandung dalam biji cokelat atau kakao.

"Luv anterin gue pulang," kata Ken dengan suara pelan. Rupanya tubuh Ken mensinyalir zat tersebut sebagai suatu ancaman. Otomatis antibodinya terbentuk, lalu menghasilkan reaksi alergi. Luvi yang berada di sampingnya tak ambil pusing, ia mengekori Ken dari belakang.

Setelah kepergian dua orang tersebut mata Ara menghangat, ia benar-benar cemas dengan keadaan Ken. Dengan lirih Ara berujar, "Aku tahu kalau kamu alergi cokelat dari Bagas."

Semuanya sudah terjadi. Mau bagaimana lagi? Pagi ini ingin sekali Ara angkat tangan dalam realita, bersenang ria dalam fantasi. Tapi mana mungkin terjadi. Semua sudah digarisi, punya alur sendiri.

Salah satunya saat ini, ia kecewa atas alurnya sendiri. Intuisinya mendorong agar mengejar Ken, tapi mana mungkin ia bolos sekolah hari ini. Alasan apa yang akan Ara sampaikan pada satpam sekolah? Daripada misah-misuh seperti ini, lebih baik ia berjalan memasuki kelas. Sepulang sekolah nanti Ara baru bisa menjenguk Ken, semoga cowok itu tidak apa-apa.

Di tempat lain, tepatnya di rumah Ken. Kenyamanan hadir di antara dua anak Adam, Ken yang masih terbaring di kasur king size menghela napas lelah, menggaruk beberapa bagian tubuh yang masih terasa gatal-gatal. Obat alergi cokelat---sama seperti alergi lainnya---yang umum diberikan oleh dokter yaitu antihistamin, itu pun sudah ia minum dan rasa gatalnya lumayan hilang.

"Berarti feeling gue bener, tadi gue pengin rebut cokelat itu dari Ara karena perasaan gue nggak enak. Eh, ternyata lo alergi cokelat," alibi Luvi dengan senyum sok manis.

"Thanks Luv," balas Ken hendak berkomentar kalau ia tidak butuh basa-basi Luvi, ia hanya butuh istirahat. Namun Luvi tiba-tiba menggenggam tangannya erat.

Lagi-lagi Ken menghela napas lelah. "Lepas, Luv."

Sama sekali Luvi tak menggubrisnya, jadi Ken biarkan saja. Justru hal tersebut membuat Bagas yang berada di balik pintu kamar Ken mengerang kesal, kesan pertama ia bertemu Luvi hanya bisa dijelaskan dengan satu kata; licik. Karena Bagas hafal sekali kalau ia pernah memberitahu Ara kalau Ken alergi cokelat, secara logika untuk apa Ara memberi Ken cokelat, toh ia sudah tahu kalau itu sumber alergi Ken.

Jangan lupakan kalau Bagas adalah sahabat terbaik Ken, tentu saja kalau terjadi apa-apa pada Ken, Bagas langsung mengetahuinya. Bagas mengalihkan pandangan dari dua orang yang menjadi objek pandang, ponselnya berdering ada panggilan masuk.

Dari Ara, apa yang akan dijelaskan nanti?

"Hai Ra?"

"Bagas tadi Ken makan cokelat di sekolah, alerginya kambuh." Terdengar jelas suara di seberang sana sangat khawatir.

"Iya, gue tahu, ini gue lagi di rumah Ken. Dia nggak apa-apa kok."

"Syukur deh kalau nggak apa-apa. Nanti pulang sekolah aku ke rumah Ken."

Bagas memutar otak. Kira-kira akan seharian penuh Luvi menemani Ken, lihat saja nanti. Gadis seperti dia tak habis cara untuk mencari perhatian Ken.

"Eh, nggak usah, Ra. Dia butuh istirahat."

"Oh, ya udah deh, makasih Bagas. Guru pelajaran udah masuk, nih."

"Iya sama-sama."

Sambungan terputus sepihak. Bagas menarik napas gusar, ia berbohong pada Ara. Semua ini ia lakukan agar hati Ara tetap baik-baik saja.

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa yang masih sibuk begadang :)


Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang