Bagian 26
Semakin Kalut
"Kau datang tatkala sinar senjaku telah redup dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya."
Kukira Kau Rumah-Amigdala_____
AKHIRNYA Ara mendapati figur cowok yang dari tadi dicarinya. Ken. Cowok itu berjalan santai dengan tangan kanan sudah tenggelam di saku celana abunya serta tangan kirinya menyangga ransel yang sudah tergantung di bahu kiri. Langkah kaki Ara otomatis mengarah mendekati Ken. Perasaannya ada yang berbeda, bahagia ketika melihat wajah Ken.
Walau sedikit bingung, untuk hari ini Ken sama sekali tidak mengunjunginya ke kelas. Bahkan batang hidungnya saja baru Ara temui sepulang sekolah ini. Sambil berlari mengejar Ken, tangan Ara melambai seiring suaranya memanggil nama Ken.
Ken, cowok itu tidak menggubrisnya. Walau terdengar samar-samar Ken sama sekali tidak mempedulikannya. Lebih baik ia pura-pura tidak mendengar.
Ara datang mengimbangi langkah lebar Ken, menoleh pada Ken yang tatapannya tertuju ke depan. "Ayo!"
Ayo?
Memangnya ia akan mengajak Ara ke mana? Sial. Setelah hanyut dalam pikirannya sendiri, Ken merutuki kebodohannya. Kemarin, setelah Ara mengiriminya pesan sampai sekarang ia belum membuka benda persegi panjang miliknya. Entah balasan apa yang diberikan Bagas. Untungnya, kemarin setelah pesan itu masuk sempat Ken lihat pop-up pesan yang dikirim Ara tentang ajakan ke panti asuhan.
"Bawa bunganya nggak?"
Bunga?
Ken harap apa yang keluar dari mulutnya kali ini tepat, walau hanya tebak-tebak. "Nggak. Nanti mampir ke toko bunga Pakde Jun aja dulu."
Ara mengangguk antusias. Setelah sampai di parkiran, Ken memakaikan helm pada Ara. Melajukan motornya ke tempat Pakde Jun lebih dulu untuk membeli bunga.
Selama perjalanan keduanya saling diam. Tidak ada yang memulai obrolan. Ara tenggelam dalam lamunannya. Di kepala Ken ada banyak lalu lintas masalah yang tak kunjung menemui solusi. Mereka menikmati semilir angin, udara mendung yang sedikit menyejukkan walau masih terdapat polusi dan debu berseliweran di udara.
Satu hal yang membuat Ara tak mengerti, hari ini Ken belum memberikan senyum tipis untuknya. Awalnya senyum tipis Ken tak memiliki arti bagi Ara, tapi sekarang entah mengapa ia mengharapkannya. Sangat berharap, detik ini ia benar-benar mengingkannya.
Keadaan seperti sengaja tidak ingin mereka bersama. Dalam perjalanan, hujan mengguyur deras tanpa pakai gerimis lebih dulu. Terpaksa Ken melipirkan motor ke salah satu jejeran ruko yang tutup. Tanpa mengatakan apapun Ken membantu Ara melepas helm. Masih diam. Hening kembali menyelimuti.
Tentang Ara yang gengsi untuk membuka suara dan tentang Ken yang entah kenapa hanya diam saja. Sosok yang ada di hadapan Ara seperti bukan Ken yang ia kenal. Ara memang di samping Ken, tapi ia rasa jauh dengan Ken.
Tiba-tiba Ken-nya lebih banyak diam. Seperti ada sesuatu yang sulit ia tembus untuk mengenali Ken. Sulit tersentuh. Ken acuh menatap lurus butiran hujan yang jatuh melalui asbes ruko yang kini menjadi tempat bernaung.
Tentu saja gerak-gerik Ken memenuhi pikiran Ara dengan beragam tanya. Tanpa Ara sadari, Ken menggumuli keputusan yang ia ambil kemarin.
Menjauhi sumber beban; Ara-nya.
Masih belum bisa membuka maksud 'beban' apa yang Ken sematkan untuk gadis yang sudah bertahun-tahun ia perjuangkan. Lagipula untuk apa memperjuangkan seseorang yang sama sekali tidak ingin diperjuangkan. Hanya sia-sia yang didapatkan.
Ada banyak masalah yang menggelayuti bahu, Ken merasa lelah. Termasuk kenekatan dalam memperjuangkan gadis yang sedang memandang kosong butiran air hujan yang mengenai sepatu di sampingnya.
Kenapa di saat semua mendekati sempurna karena Ara sudah membuka hatinya, Ken malah memilih keputusan untuk menjauh?
"Pakai, nanti masuk angin," ucap Ken singkat seraya memberikan hoodie hitam yang semula menyelimuti tubuhnya.
Ara tersenyum kikuk, akhirnya sosok di sampingnya mulai bersuara.
Ken mengamati Ara yang memakai hoodie miliknya. Tubuh Ara tenggelam dalam hoodie tersebut. Sampai Ara berkali-kali menggulung lengan hoodie-nya, namun usahanya tetap tidak berhasil.
Ken mengambil tangan Ara, membuat gadis itu berjengit. Ken berkata pelan, "Maaf, cuma mau bantu."
Ara menahan napas saat Ken menggulung lengan hoodie-nya. Perhatian Ken terasa asing, tapi familier, dan Ara tahu ungkapan itu seperti paradoks.
"Udah," kata Ken, menatap wajah Ara yang menunduk. "Sekarang kamu udah bisa napas."
Mata Ara membelalak, ia mendongak sembari menarik tangannya dari genggaman Ken. "Udah 'kan? Makasih."
Salah tingkah.
Euforia sesaat.
Hujan sedikit reda, namun seketika aura dingin Ken menjalari hati Ara. Setelah merangkai pertanyaan yang cocok, ia mulai bertanya dengan suara pelan hingga nyaris tak terdengar. "Ken, kenapa diam?"
Tidak ada topik obrolan.
Diam lagi.
"Mungkin lain kali aja ya ke panti asuhannya, hujannya makin deras. Kayaknya bakal awet sampai malem," ucap Ken menjulurkan tangan agar mengikuti perintahnya.
Suhu hangat dari telapak tangan Ken yang menyentuh tangannya membuat Ara bengong. Seketika semua organ di tubuhnya turun ke perut, mulas, menggelitik.
"Ara? Ayo pulang," ulang Ken masih dengan tatapan datar. Tangannya mengaitkan helm yang Ara pakai.
Ara mengangguk gagap. Selama perjalanan lagi-lagi diam. Perjalanan yang kira-kira bisa ditempuh sepuluh menit terasa sepuluh tahun. Di pemberhentian lampu merah, Ken mengamati pantulan makhluk manis yang kini diboncengnya. Gadis itu menabok pipinya sendiri, entah karena karena apa. Ken tersenyum tipis, senyum pertamanya hari ini untuk Ara, namun saking terlalu tipisnya mungkin tidak bisa dibilang itu bentuk senyum.
Tiba-tiba Ken menarik kedua tangan Ara. "Pegangan," ucap Ken masih fokus menatap jalanan yang masih terguyur hujan.
Pipi Ara bersemu merah. Perutnya seperti jatuh dari lantai dua belas. Apa perhatian Ken kali ini terlalu berlebihan? Atau memang Ara saja yang terlalu kegeeran.
Menyebalkan.
Tanpa Ara sadari, dalam hati Ken merutuki perlakuannya barusan. Perasaannya semakin kalut.
Saat itu juga, Ken tidak yakin lagi, apakah ia masih bisa tetap pada keputusannya atau ... goyah?
_____
Makasih yang udah baca <3
Salam,
Illa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken & Ara [SELESAI]
Teen FictionKetika logika menjelaskan bahwa semuanya diawali dari pertemuan yang tak terduga, saling jatuh cinta, hingga merajut kisah bersama. Itu bukan alur sebenarnya. Sayangnya ada sebuah hati yang sempurna, selalu menunggu balasan atas apa yang diperbuatny...