13 | Kesetimpangan Rasa

165 42 8
                                    

Bagian 13

Kesetimpangan Rasa

"Kau pernah menjadi pusat semestaku, segalanya kuberikan."
Garis Waktu-Fiersa Besari

_____

DASAR Ken!

Buru-buru Ken menarik tangan Ara, mereka mengikuti Al dan Esfa dari belakang menuju parkiran, Ara mengamati Al dan Esfa yang sedang mengobrol sambil memakai helm.

"Ken? Mau apa?"

"Udah, kamu diam dulu di sini. Jangan berisik ya," kata Ken seiring langkahnya mengendap-endap merembet di pinggiran dinding, matanya masih terus mengamati Al dan Esfa yang masih mendiskusikan ingin ke mana mereka akan mengambil spot foto.

Semakin dekat dari belakang, tubuh Ken berjongkok, pelan-pelan tangannya melepas tali sepatu Al dan Esfa secara bersamaan lalu mengikatkan tali sepatu kanan Esfa dengan tali sepatu kiri Al.

Ken menoleh pada Ara yang sedang menahan tawa karena tingkahnya. "Ayo Ra, buruan lari!"

Tangan Ara digandeng Ken menjauhi area parkir sekolah, tawa Ken menggema di sepanjang koridor. Disusul Ara yang masih sedikit bingung tapi ikut tertawa karena tingkah Ken. Sesekali mereka menoleh ke belakang, penasaran dengan apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Coba hitung ya Ra, satu ... dua ... tiga."

Bugh!

Tepat setelah Ken selesai menghitung, ada suara yang berasal dari area parkir. Suara teriakan Esfa yang menyumpahserapahi siapa yang telah membuat dirinya dan Al jatuh.

"Itu hukuman yang udah buat Ara-nya Ken sedih."

Hanya berbalik badan, sudah ada sepeda yang sudah Ken jadikan sebagai rencananya. Dia menaiki sepeda itu lalu mengajak Ara agar ikut dengannya.

Ara sedikit ragu, namun keraguannya sama sekali tidak dapat menepis ajakan Ken itu. Jadi, Ara mengangguk setuju.

"Mau ke mana?"

"Rahasia."

Ah menyebalkan, kalau tidak rahasia bukan Ken namanya. Sepertinya ada banyak rahasia pada dirinya, apapun itu yang berhubungan dengannya, pasti tentang rahasia. Dasar cowok misterius dan aneh.

"Nanti kalau jatuh?"

Tanpa menjawab apa-apa, Ken mengambil tangan Ara. "Kalau pegangan, kamu nggak perlu takut jatuh."

Ketika tangannya menyentuh tangan Ara, ada sesuatu terjadi. Ara tidak dapat mendeskripsikan seperti apa rasanya, ia hanya bisa tersenyum, rasanya berbeda.

Aneh sekali.

Setelah dua puluh menit tersingkat itu, Ken melambatkan laju sepedanya. Hingga akhirnya berhenti di salah satu jejeran pedagang kaki lima. Sepedanya sudah Ken simpan di samping gerobak warna hijau Pak Gun, penjual es cendol.

Ken mengajak Ara duduk di bangku kayu yang sudah sedikit lapuk. Setelahnya ia memesan dua mangkuk es cendol Pak Gun.

"Oke Mas Ken," sahut Pak Gun dengan senyum ramahnya.

Napas Ken memburu karena kelelahan mengayuh sepeda. Rambutnya lepek karena keringat, bagian belakang bajunya juga terlihat basah.

"Niki pacarnya Mas Ken? Oalah, cantik toh." Lelaki tua dengan rambut yang semuanya telah memutih memberikan dua mangkuk es cendol. Beliau tersenyum lebar melihat Ken dan Ara saling bertatapan sejenak.

Ken menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Belum Pak, masih usaha. Dianya susah buat diajak kerja sama."

Oh tidak, sindiran Ken membuat Ara menggelengkan kepala. Karena gemas dengan wajah Ken yang terlihat berbeda dengan headband hitam di kepalanya, Ara terus-terusan memandangi wajah tampannya.

"Kenapa lihatin aku?"

"Kenapa sih harus pakai headband?"

"Sedang ingin."

"Nggak kayak biasanya. Aku lepas, ya?"

Entah dorongan dari mana, Ara berusaha melepas headband dari kepala Ken. Ada-ada saja Ken, padahal tanpa headband pun ia tetap tampan. Tak bisa dipungkiri, Ara mengakui ketampanan Ken.

Terkejut bercampur khawatir menyatu dalam hatinya, ada luka lebam di kepala Ken, bahkan masih ada darahnya sedikit.

"Astaga Ken, harus cepat diobatin."

Es batu dari Pak Gun sudah Ara bungkus dengan sapu tangannya, lalu ditempelkan perlahan di luka Ken. Rintisan tertahan dari bibir Ken terkunci rapat.

"Nggak asyik, deh. Kejutannya jadi sedikit tertunda, udah nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa! Ini luka kamu harus diobatin dulu, masalah kejutan bisa nanti-nanti."

Lukanya sudah Ara tutup dengan plester yang selalu Damar berikan untuk berjaga-jaga.

"Ayo!"

Setelah membayar es cendol pada Pak Gun, Ken kembali mengajak Ara menaiki sepeda. Sedikit kesal atas keras kepala Ken, mulut Ara mengerucut sebal.

Di antara apa yang baru ia lalu, mata Ara berdecak kagum melihat seorang Kakek tua dengan balutan topi khas pelukis di trotoar. Keriput di wajahnya terlihat jelas saat terlalu fokus membubuhkan cat di kanvas. Jika ditaksir kira-kira umurnya sekitar 60-an, tubuhnya bungkuk sambil menjejerkan hasil lukisannya.

"Ken! Ken!" Ara mencubit pinggang Ken yang sedang menyetir. Alhasil keseimbangan sepeda goyah dan hampir jatuh jika kaki Ken tak kuat menahan berat keduanya.

"Kenapa, Ra?" Ken menoleh ke belakang, melihat Ara dengan cengiran kudanya.

"Putar balik ya? Please, mau ya? Ke Kakek tua itu."

Ken tersenyum simpul, ia yakin rencananya akan berhasil. Ken mengangguk mantap lalu memutar balik stang sepeda dan mengayuhnya lagi.

"Ayo Ken buruan turun," ucap Ara sambil menarik lengan Ken dengan tergesa-gesa.

"Kakek, apa kabar? Lagi lukis apa Kek? Ara boleh bantuin nggak?"

Ken menepuk dahinya sendiri melihat Ara yang semangat berbicara dengan Kakek tua itu. Kakek balas tersenyum dengan beberapa keriput dekat bibirnya.

"Sedang gambar gadis yang baru saja datang dengan senyum manisnya," kata Kakek.

"Hah? Siapa Kek?"

"Gadis yang kini ada di hadapan saya."

"Hah? Ara nih, Kek?"

Kakek memutar kanvas baru saja selesai ia gambar, lalu menunjukkannya pada Ara dengan wajah berharap akan mendapat respons yang baik.

"Wah, bagus Kek. Tapi--"

"Aku yang nyuruh Kakek ini gambar muka kamu, Clara Ayu Alexi."

Rasanya, Ara ingin lenyap dari bumi ini saja. Suara Ken yang mengucap nama lengkapnya terasa beda. Dan sepertinya, jantung Ara sedang tidak baik-baik saja karena ulah Ken.

Ara harap, ini hanya sementara. Besok-besok juga rasa campur aduk di hatinya akan hilang tak tersisa. Sangat berharap.

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang