Bagian 19
Petunjuk
"Kau pergi jauh karena salahku.
Yang tak pernah menganggap kamu ada."
Kehilangan-Firman_____
SAMPAI di depan rumah, Ara melepas helm dan memberikannya pada Al. Hari ini, Ara benar-benar diantar pulang oleh Al. Walau hatinya merasakan ada sesuatu yang berbeda pada diri Al, tapi ia segera menepis hal itu. Yang penting baginya, ini adalah kali pertama ia dan Al pulang bersama.
Jemari Ara menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga, ia tersenyum kikuk. "Makasih Kak Al. Mau mampir?"
"Mungkin lain kali. Saya duluan ya," ucap Al melambaikan tangan lalu melajukan motor matic-nya.
Sepanjang kakinya melangkah memasuki rumah, senyum Ara masih belum hilang. Saking senangnya, Damar yang kebetulan sedang berdiri bersandar di pintu ia abaikan begitu saja.
Sambil menyugar rambut kecokelatannya, Damar mengikuti Ara. "Ara berhenti dulu, Abang mau ngomong," kata Damar sebelum Ara memasuki kamarnya.
Mata Ara membulat, tangannya terhenti di udara yang ingin membuka kenop pintu. Pasalnya, tumben sekali Damar pulang kerja secepat ini. Wajah lelah yang biasa Damar tunjukkan setelah pulang kerja, tidak tampak ada.
Ara meneguk ludah, atmosfer ruangan seketika berubah. Dari tatapan Damar seolah mengisyaratkan ingin membicarakan hal serius.
"Kenapa Bang?" tanya Ara setelah berdiri di depan Damar.
Sebenarnya susah sekali untuk membicarakan hal ini pada Ara. Tapi, mungkin ini bisa dijadikan petunjuk bagi mereka. Damar menggiring Ara untuk duduk di sofa ruang tamu, mengembuskan napas sebelum membuka obrolan.
"Ayah sama Bunda meninggal bukan karena kecelakaan, ada orang lain yang ikut terlibat."
Ucapan Damar sukses membuat hati Ara nyeri, tubuhnya bergerak mendekati Damar lalu bersandar di lengan kekar Damar. Matanya berkaca-kaca melihat wajah Damar yang memerah, mungkin tersulut emosi atas berita ini.
"Kasusnya udah lama, Bang. Tapi kenapa diungkit lagi? Lagipula udah berapa tahun lalu kasusnya ditutup. Itu 'kan murni kecelakaan, Abang," timpal Ara seraya mendongak melihat wajah abangnya.
Damar menunduk, ia tersenyum kaku dan mengelus puncak rambut Ara. "Masalahnya, Abang percaya kalau ada orang yang sabotase mobil Ayah."
"Memangnya Ayah punya musuh? Ayah 'kan orangnya baik, Bang. Nggak mungkin Ayah punya musuh yang sejahat itu sampai buat Ayah sama Bunda meninggal."
"Abang lagi cari tahu siapa pelakunya, Ra. Tolong, hati Abang yakin kalau ada orang yang terlibat atas kecelakaan Ayah. Ara harus percaya sama Abang," ucap Damar meyakinkan Ara yang terlihat ragu.
Rasanya, masih belum percaya. Kecelakaan tragis itu terjadi belasan tahun yang lalu, dan Damar masih menyimpan rasa dendam terbalut penasarannya hingga kini. Kakak satu-satunya itu masih keras kepala mengenai hal ini, padahal Ara sendiri berusaha melupakan persoalan terbesar dalam hidupnya. Lagipula yang penting menurutnya, Damar selalu ada untuknya, cukup hanya itu saja membuatnya bahagia.
"Abang, mending jangan gegabah dulu," ujar Ara menenangkan Damar yang masih terlihat kesal sendiri.
"Ara tahu? Abang memang anak yang paling beruntung karena seenggaknya Abang udah bisa main sama Ayah dan Bunda. Sedangkan Ara, udah dari kecil belum pernah main sama Ayah dan Bunda."
Ara mengubah posisi duduknya menghadap Damar, menahan air mata yang sudah penuh di pelupuk matanya. "Ara nggak apa-apa kok Bang. Kan masih ada fotonya yang bisa Ara lihat tiap hari."
Emosi Damar mereda, ia memijit pangkal hidungnya. Di kepalanya banyak sekali sesuatu yang membuatnya penasaran. Ia juga merasa kasihan dengan Ara yang sejak umurnya belum genap setahun sudah ditinggal kedua orangtua. Damar bangkit menuju kamarnya, Ara yang masih bingung hanya bisa diam di tempat. Tak lama Damar datang membawa kotak yang lumayan besar berwarna biru langit.
Tangannya perlahan membuka kotak itu, kotak yang penuh mainan masa kecilnya. "Dulu, setiap bulan, Ayah selalu ngasih Abang mainan. Khususnya lego, dulu Abang suka main lego. Ayah selalu nemenin Abang main, Bunda selalu nyiapin kue saat Abang main sama Ayah."
"Kalau Ara udah ada, Ara pasti ikutan main sama Abang, bisa lihat Ayah sama Bunda ketawa. Main kejar-kejaran sama Abang, terus Ayah sama Bunda senyum. Seru ya, Bang?"
"Pasti seru, Ra," jeda Damar lalu ia menyodorkan kotak itu. "Ini simpan di Ara aja ya, walau mainan cowok nggak apa-apa ya. Harapan Abang semoga dengan mainan ini, Ara bisa ngerasain Ayah sama Bunda selalu di samping Ara."
"Oke, tapi Abang yang bawa ke kamar Ara. Berat gini, masa suruh adik manisnya bawa sendiri," kata Ara mengubah suasananya menjadi lebih rileks.
Tas yang tadi diletakkan di sofa, Ara ambil kembali. Tubuhnya letih sekali, ia ingin segera istirahat. Melupakan sejenak beban yang berseliweran di kepala, mengubah persepsi buruk menjadi suatu hal yang tak harus dipikirkan. Untuk apa bermuluk-muluk memiliki keluarga yang selalu ada, hadirnya Damar juga membuat ia menjadi orang yang paling bahagia.
Tidak langsung menjatuhkan tubuh di kasur, Ara justru mendekati kalender yang berdiri di meja belajarnya. Tangannya mengambil pulpen dan memberi tanda silang pada hari ini. Sudah dua puluh lima hari ia tidak melihat kehadiran cowok aneh yang mulai mengusik hidupnya. Kenzie Athala, cowok aneh itu tidak menampakkan batang hidungnya hampir sebulan ini di depan Ara. Rasanya, setiap hari ada yang hilang dari hidupnya. Entah apa itu, mungkin karena tanpa hadirnya Ken.
Apalagi senyum tipisnya.
Kehadiran Al hanya membuat Ara semakin bingung. Dan untuk Ken, tak tahu apa jika setiap hari Ara selalu memberi tanda silang sebagai penanda tanpa hadir Ken.
Lebih tepatnya penanda bahwa setiap hari diam-diam Ara merindukan Ken-nya.
_____
Makasih yang udah baca <3
Salam,
Illa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken & Ara [SELESAI]
Teen FictionKetika logika menjelaskan bahwa semuanya diawali dari pertemuan yang tak terduga, saling jatuh cinta, hingga merajut kisah bersama. Itu bukan alur sebenarnya. Sayangnya ada sebuah hati yang sempurna, selalu menunggu balasan atas apa yang diperbuatny...