Bagian 18
Rubik
"Sesaat dia datang pesona bagai pangeran, dan beri kau harapan bualan cinta di masa depan."
Sewindu-Tulus_____
"INI namanya center. Terus yang di bagian atas, bawah, kanan, dan kiri center namanya edge. Yang bagian sudut-sudut rubik, yang sebelahan sama edge namanya corner." Al menjelaskannya dengan sangat fasih, mencoba menunjuk satu-satu bagian rubik 3x3 yang ada di genggamannya.
"Bingung."
Jawaban Ara membuat Al mengangkat salah satu alisnya. Pasalnya ini sudah lima kali Al menjelaskan kembali. Menurut Al ini masih dalam tahap terendah untuk bisa memainkan rubik, awal pengenalan bagian-bagiannya.
"Masih bingung?"
Ara mengangguk, ia mengambil alih rubik dari tangan Al dan mengacak-acaknya.
"Bagian mana yang bingung?"
"Kak Al yang bikin bingung."
"Bingungnya kenapa?"
"Suka tarik ulur." Ara membekap mulutnya sendiri, ia keceplosan. Ingin sekali menarik kata-katanya tadi. Al pasti akan berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya.
Cowok itu terlihat seolah tidak terjadi apa-apa, padahal mati-matian Ara berusaha menyibukkan diri sambil mengutak-atik rubik agar Al berpikiran bahwa itu hanya omong kosong Ara saja.
Al mengambil rubiknya yang masih Ara mainkan. Sejenak ia mengutak-atik rubik dengan lihai. Hanya membutuhkan beberapa detik, rubiknya sudah ia rampungkan.
Al menyimpan rubik itu di sebelah tangannya, mendekatkan wajah pada Ara yang duduk di hadapannya. Ara gugup mendapatkan perlakuan Al yang wajahnya bisa ia lihat dari jarak sedekat ini. Deru hangat napas Al menyapu wajah ia rasakan, saking gugupnya Ara meremas rok. Tangan Al menaikan kacamata minus yang digunakan, lalu berbisik pelan.
"Mau tahu filosofi rubik?"
Astaga! Jika ini kejadian akhirnya, untuk apa Al mendekatkan wajahnya pada Ara. Membuat Ara gugup bukan main, dan bahkan memacu jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Jangan buat gugup Kak!"
Kalimat bodoh itu meluncur begitu saja dari mulut Ara. Ia merasa bingung, gugup, aneh bercampur jadi satu.
"Memangnya kamu gugup? Gugup kenapa?"
"Eum, eum--"
"Nggak usah dijawab. Kamu gugup, saya juga gugup."
What? Al sama sekali tidak mengerti atau mengerti tapi pura-pura tak tahu? Tidak peka atau bagaimana?
"Dalam langkah-langkah yang mau diambil untuk menyusun sisi demi sisi atau baris demi baris rubik bukanlah suatu hal yang mutlak. Banyak kondisi yang dapat ditemui. Kondisi yang berbeda dengan menggunakan rumus yang berbeda pula, tapi tujuannya tetap sama," ucap Al mulai menjelaskan.
Ara menegakkan duduknya. Alisnya merengut meresapi penjelasan Al dengan seksama. "Masih belum paham, bahasanya ketinggian, yang sederhana aja Kak."
Tawa kecil Al muncul, kedua tangannya ia silangkan di depan dada. "Oke, oke. Sederhananya gini, ada banyak pilihan untuk bahagia apapun kondisinya."
"Nah 'kan kali ini lebih sederhana."
"Mempelajari rumus-rumus menurut saya lebih berkesan dibanding sudah menguasai rumus-rumus sehingga mudah memainkannya. Karena memainkan rubik bukan semata-mata buat diselesaikan, tapi juga untuk dipelajari."
"Kan udah bilang, bahasanya yang sederhana aja."
"Sepertinya saya butuh seseorang untuk menyederhanakan bahasa, khusus untuk bicara tentang filosofi sama kamu."
Ara tertawa dengan volume yang sedikit tinggi, membuat Al refleks meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. "Keep silent! Ini di perpus. Oke? Saya mau lanjutin."
"Sederhananya, hidup bukan selalu tentang apa yang dimiliki, bukan selalu menginginkan banyak hal, bukan selalu tentang bahagia, dan bukan selalu jalan yang dilalui akan tetap lurus. Karena hidup tentang apa yang akan diraih, tentang menghargai apa yang ada, berusaha mengemas sedih agar lebih merasakan kebahagiaan, dan optimis menghadapi jalan yang lurus tapi nyatanya akan berkelok-kelok seiring ditempuh."
"Tapi hidup nggak seserius itu Kak," sahut Ara dengan tangan yang ia lipat di atas meja.
"Kalau nggak serius, terus apa? Rumit?"
"Asik. Hidup itu asik Kak!"
"Serius!" Al mengambil buku paket yang berada di sudut meja. Ia membuka tiap lembaran buku paket itu, telunjuk kanannya menunjuk halaman buku. "Misalnya di sini, posisi kamu ada di halaman 12, target yang kamu capai ada di halaman 24. Itu harus dilalui langkah demi langkah dengan serius, bukan main-main."
"Kalau serius, pasti banyak apa yang semestinya nggak usah dipikirin tapi malah dipikirin, apa yang semestinya nggak usah dijalanin tapi dijalanin. Tapi kalau hidup itu asik, pikiran hanya berisi yang penting udah dilalui."
Al mengambil ransel yang disampirkan di punggung kursi, lalu bangkit menatap Ara yang melongo, entah apa sebabnya. "Ayo pulang, maaf gara-gara filosofi rubik kamu malah pulang terlambat."
"Pulang bareng sama Kakak?"
"Kalau kamu mau."
Pasti mau. Ara membereskan buku paket yang sebenarnya menjadi bahasan referensi tugas ke rak sesuai bukunya. Boro-boro ia ingat apa yang ingin dilakukan setiba di perpustakaan, tugasnya saja mendadak ia lupa karena kehadiran Al yang mengajaknya berbicara tentang rubik serta filosofinya.
"Kak Al kenapa nggak pulang sama kak Esfa?"
"Esfa?" Dahi Al berkerut, otaknya seperti dirundungi kebingungan. "Memangnya siapa Esfa?"
Ara menghentikan langkah, membulatkan mulut tak percaya. Nampaknya, jalan impuls cowok ini sedang tidak ingin menghubungkan reseptor ke efektornya.
"Kak Esfa tuh cewek yang selalu ada sama Kak Al, yang cantik tuh Kak," ucap Ara mengingatkan pada Al, barangkali ada banyak nama Esfa yang Al kenal hingga ia bingung Esfa mana dimaksud Ara.
Tiba-tiba ada suara seseorang dari ujung koridor, membuat mereka menoleh bersamaan. "Woy Al! Lo gimana sih?! Nih, kunci motor sama ponsel lo, ketinggalan di meja. Untung lo belum pulang, ambil nih," cecar cowok itu sambil memberikan kunci motor dan ponsel pada Al yang masih terlihat kebingungan.
"Esfa mana?"
"Lo lupa apa gimana sih? Esfa, teman sebangku lo nggak masuk hari ini. Kan tadi pagi lo sendiri yang ngasih surat sakitnya. Ya udah gue duluan," kata cowok itu menepuk pundak kanan Al lalu berjalan terburu-buru.
Kepala Al terasa berat, ia memeganginya sebentar. Sedikit meringis, di balik mata teduhnya seperti hanya ada kekosongan yang dapat Ara simpulkan.
"Kak Al sakit?"
"Pusing sedikit."
Yang dapat Ara simpulkan, hari ini Al mendadak berbeda. Pelupa yang ceroboh juga, benda yang bisa dikatakan berharga ia tinggalkan begitu saja di mejanya. Bahkan, kehadiran cewek yang selalu ada di sampingnya juga dilupakan. Ada apa dengannya?
_____
Makasih yang udah baca <3
Salam,
Illa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken & Ara [SELESAI]
Teen FictionKetika logika menjelaskan bahwa semuanya diawali dari pertemuan yang tak terduga, saling jatuh cinta, hingga merajut kisah bersama. Itu bukan alur sebenarnya. Sayangnya ada sebuah hati yang sempurna, selalu menunggu balasan atas apa yang diperbuatny...