14 | Cara Kerja Alam Semesta

181 39 4
                                    

Bagian 14

Cara Kerja Alam Semesta

"Jangan kau beri harapan padaku, seperti ingin tapi tak ingin."
Menghitung Hari-Anda

_____

TERKADANG kalau sedang sendiri, di kepala banyak hal-hal yang tidak perlu dipikirkan. Maksudnya memikirkan hal-hal yang terlalu jauh, tak pantas dipikirkan. Sama halnya dengan Ara sekarang, tiduran di sofa ruang tamu dengan mata yang terus menatap langit-langit ruangan.

Entah mengapa, setiap ia memikirkan Ken, di kepalanya seperti ada dua bagian. Bagian pertama, hadirnya Ken tak absen membuat lengkungan sabit di bibir Ara terlihat. Bagian dua, hadirnya saja tiba-tiba dan apa perginya juga akan tiba-tiba? Paling juga hadirnya untuk singgah, apa besok-besok juga Ken akan menjauhinya? Tidak, ini terlalu jauh untuk Ara pikirkan.

"Mbak Ara? Kok melamun? Itu di depan sudah ada Mas Ken," ujar Mbok Ida sambil mengelus rambut Ara dengan lembut.

"Ngapain Mbok, tumben Ken ke sini?"

"Katanya rahasia, sana Mbak Ara siap-siap dulu."

Hanya membutuhkan beberapa menit Ara sudah bersiap-siap, wajahnya putih tanpa bedak dan bibirnya sudah ia bubuhkan lipbalm. Setelah itu ia pamit kepada Mbok Ida dan menyalaminya, Ken pun sama.

"Motornya mana?" tanya Ara, netranya tak menangkap hadirnya motor trail hitam Ken di halaman rumahnya.

"Siapa yang bilang aku bawa motor?"

"Biasanya."

Ada mobil sedan hitam yang terparkir, Ara mengikuti Ken mendekati mobil itu. "Mau ke mana?"

Tanpa menjawab apa-apa, Ken melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ketika di perjalanan, mereka saling diam. Entah bingung untuk memulai dari mana atau atmosfernya terasa berbeda.

"Mau setel musik?"

"Nggak usah. Ken, ini mau ke mana sih?"

"Aku tunda dulu jawabannya," kata Ken dengan tatapan masih terfokus ke jalanan.

Ingin sekali Ara berteriak kencang di telinga Ken, "Kamu siapa sih?! Nyebelin! Aneh!" dan ingin sekali Ara mengacak-acak rambut Ken sambil berkata, "Makhluk apa sih kamu?! Penuh rahasia! Alien ya? Dari klan mana?"

Ah, mana mungkin Ara bersikap seagresif itu.

Bukan Ara sekali.

"Kenapa lihatin aku terus?"

"Habisnya kesal, sih."

Ara cemberut, kesal sekali. Tubuhnya ia miringkan menghadap jendela, Ken justru tersenyum tipis melihat tingkahnya. Ara menguap dan perlahan matanya mulai menutup. Ken berharap Ara dapat tertidur dengan lelap, pasalnya perjalanan yang ingin ditempuh masih terbilang jauh.

Tangan Ken mengelus rambut Ara pelan. "Ara, ayo bangun."

"Udah sampai? Ini di mana Ken?" Ara mengucek matanya.

"Bandung."

"Bandung?!"

"Tenang aja, aku udah izin sama Mbok Ida."

"Tapi Mbok Ida nggak bilang ke aku kalau kamu mau ngajak ke Bandung."

"Itu aku yang nyuruh. Kalau dari awal aku bilang mau ngajak kamu ke Bandung, pasti kamu nolak," kata Ken sambil merapikan rambut hitam legamnya dengan jemari.

"Tap--"

"Sekarang turun, jalan lurus lalu belok ke arah kanan."

Akhirnya Ara turun dari mobil dan melakukan perintah dari Ken. Seusai belok ke arah kanan, hanya ada sebuah rumah dengan gaya Eropa kuno. Pagar dari kayu yang dicat warna putih setinggi pinggang serta halaman depan penuh dengan tanaman anggrek berbagai warna. Indah sekali.

Rumah siapa?

"Tadinya aku mau ngajak kamu ke Tebing Keraton Bandung. Mengingat rute untuk pergi ke situ cuma bisa dijangkau pakai motor atau sepeda. Jadi nggak jadi deh, kan aku bawa mobil," kata Ken sambil membuka pintu rumah itu.

"Tapi 'kan bisa naik ojek," sela Ara cepat.

Ken mengembuskan napas pelan, sejurus kemudian ia tersenyum tipis. "Aku nggak mau lihat mata kamu kemasukan debu, nanti tukang ojeknya nggak ngerti. Kalau sama aku debunya nggak berani masuk, kan takut sama Ken."

"Bisa pakai helm."

"Pokoknya nggak. Nanti lain kali aku pasti ajak kamu. Sekalian ke trotoar Braga juga, gimana?"

Ara mengangguk setuju, lalu mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji ya?"

Jari kelingkingnya masih di udara, Ken hanya menatapnya tanpa berniat mengaitkan jari kelingkingnya.

Namun, ia malah menawarkan telapak tangannya untuk tos. "Nggak berani janji. Ra, kita 'kan belum tahu gimana kedepannya. Tapi kalau sepakat boleh," kata Ken. Benar juga apa kata Ken. Ara mengangkat telapak tangannya juga.

"Tos!" kata mereka bersamaan.

Ara berdecak kagum, penataan interiornya terlihat sangat diperhatikan. Rumahnya kalau dari luar terlihat kecil, tapi jika sudah masuk ternyata tersisa banyak ruang kosong.

"Rumah siapa Ken?"

Ken masih diam, ia sibuk membereskan kotak yang berada di sudut ruangan.

"Ken?"

Ken tetap diam.

"Ken?"

"Eh? Iya kenapa, Ra?"

"Ini rumah siapa?"

"Punya saudara lagi di luar kota. Aku disuruh merawatnya dulu sementara," ucap Ken sedikit ... gugup?

Tiba-tiba Ken menyenggol sesuatu yang berada di meja belakangnya, gantungan snowball jatuh tapi untungnya tidak ada yang rusak.

Kok gantungan snowball-nya sama persis kayak punya Ara? Ara percaya kalau itu punya Ken, tapi kok ada di meja rumah saudaranya?

"Rumah ini benar punya saudara Ken?"

"Iya, serius ini punya saudara."

Setelah mengucap itu, Ken harap hidungnya tidak memanjang seperti Pinokio karena sudah berbohong pada Ara-nya.

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa :)


Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang