40 | Jangan!

81 12 0
                                    

Bagian 40

Jangan!

"Biarkan aku melukiskan bayanganmu, karena semua mungkin akan sirna. Bagai rembulan sebelum fajar tiba, kau selalu ada walau tersimpan di relung hati terdalam."
Melukis Bayangmu-Adera

____

DENTUMAN pelan air hujan yang jatuh mengenai atap rumah menjadi suara menenangkan pagi ini. Ditemani suara beradu antara sendok dan piring terkesan menjadi rutinitas yang patut dijalani.

Pagi hari seseorang berjalan dengan seluruh badannya dan malam hari hanya dengan kakinya, dan, ya, demikian itu adalah kutipan dari Ralph Waldo Emerson. Kutipan pagi yang paling Ara hafal itu memang menjadi salah satu alasan tatkala senyum manisnya merekah.

Kepulan uap yang dihasilkan nasi goreng semakin menambah nafsu makan Ara. "Mbok Ida, serius ini nasi gorengnya enak banget!"

"Halah! Tiap hari juga nasi goreng Mbok Ida emang enak!" balas Damar tidak kalah dalam urusan memuji wanita paruh baya yang bisa disebut Ibu kedua.

"Bisa aja Mas sama Mbak," balas Mbok Ida dengan wajah malu-malu, khas orang dipuji.

Mbok Ida tersenyum memandangi Ara. "Mbak Ara, tadi malam ponselnya bunyi. Kebetulan tadi malam juga Mas Damar belum pulang juga, jadi Mbok khawatir. Dikira itu pesan dari Mas Damar, barangkali penting. Eh, tahunya dari Mas Ken. Terus nggak sengaja pesannya kehapus. Maaf ya Mbak, Mbok nggak sengaja," terang Mbok Ida membuat Ara berhenti mengunyah nasi goreng yang memenuhi mulutnya.

Ketika mulutnya kembali kosong, Ara membalas, "Oh, nggak apa-apa Mbok, nggak usah minta maaf." Mbok Ida tersenyum kikuk, bagaimanapun juga ia merasa tak enak hati.

Hujan sedikit reda ditandai dengan suara dentumannya yang mulai memelan. Ara meneguk susu cokelat hangat lalu menyambar jaket rajut berwarna biru muda yang tersampir di kursi yang sedang ia duduki.

"Bang, buruan berangkat yuk. Mumpung hujannya udah reda," sahut Ara sembari memakai jaketnya, disusul tas ransel yang kini sudah berada di punggungnya.

"Iya, ayo!" Damar menyalami Mbok Ida, Ara juga melakukan hal yang sama.

Setelah mendengar kalimat hati-hati dari Mbok Ida, kaki Ara berjalan ke teras rumah. Kedua tangannya tertaut ke belakang sambil menoleh ke arah kanan dan kiri, menunggu Damar yang sedang memanasi mesin motor di garasi rumah.

Mendadak tangan Ara gemetar, bukan karena udara dingin pagi ini. Ada sesuatu di hatinya yang menarik agar ia segera menghubungi Ken. Barangkali ada sesuatu penting yang ingin Ken sampaikan, hingga cowok itu tiba-tiba saja mengirimi Ara pesan. Ragu-ragu Ara membuka aplikasi chat lalu membuka kontak Ken.

Apa perlu Ara menelpon Ken? Apa yang akan Ara obrolkan? Hanya sapaan 'halo'? Pasti akan terlalu canggung, apa perlu Ara gunakan voice note? Atau pesan saja?

"Kok dilihat terus? Telepon aja langsung," ucap Damar. Tak sengaja cowok berambut kecokelatan itu melihat beberapa digit angka yang terpampang di ponsel Ara.

Setelah menghela napas beberapa kali dan meyakinkan diri. Ara mengulas senyum, mengangguk, lalu melakukan panggilan untuk Ken. Nada dering semakin membuatnya gagu sendiri, satu hingga empat detik terlewati. Tepat pada detik kelima, teleponnya diangkat.

"Halo?"

Bukan suara Ken yang ia dengar.

Melainkan, Luvi.

Perlahan, matanya menghangat, tanpa dikehendaki penglihatannya semakin buram karena air mata yang mulai menggenang. Ara menengadah untuk beberapa saat, hingga suara Damar menginterupsi.

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang