27 | Mimpi Buruk Ken

147 19 12
                                    

Bagian 27

Mimpi Buruk Ken

"Saat kau ragu arah tuju, di situlah kau mulai terbawa arus. Dan kemudian tergerus, kau tahu itu, kau telah hilang arah."
Di Ambang Karam-Amigdala

_____

"KAK--"

Mulut Ara terbungkam seketika, mendapati cowok yang berapa hari yang lalu tidak menepati janji yang dibuatnya sendiri. Meninggalkan Ara sendirian di bawah hujan, sosoknya yang tak kunjung datang. Cowok itu memakai kupluk hoodie merah marun dengan kedua tangan sudah tenggelam di saku celana abunya.

Dengan arah yang berlawanan, lebih baik Ara menunggu Al yang sedang mendekat ke posisinya. Gadis dengan rambut sebahu itu memilih berdiri di samping salah satu pilar yang berada di koridor kelas 12. Hari ini Ara ingin mendengar alasan Al mengapa cowok itu mengingkari janjinya sendiri. Lebih tepatnya mendengar secara langsung dari mulut cowok bermanik mata cokelat itu.

Semakin dekat jaraknya, Al justru melengos tak melihat kehadiran Ara. Ia berjalan meninggalkan Ara yang masih mematung di tempatnya. Sama sekali tak ada sapaan yang menelisik masuk ke gendang telinganya, menoleh sedikitpun sepertinya tidak.
Al sama sekali tak menghargai kedatangan Ara yang sebelum bisa datang ke sini ia harus mengumpulkan nyali dulu. Mengingat ia sedikit takut karena ini adalah kali pertamanya ia memijak koridor kelas 12 yang terlihat lumayan ramai karena sudah waktunya pulang juga.

Dengan berat hati Ara mengikuti Al dari belakang. Buru-buru Ara mengejarnya dengan berlari. Tak peduli ada banyak tatapan senior yang ditujukan padanya.

"Kak Al!"

Suara Ara rupanya tidak terdengar dalam ingar bingar suasana pulang sekolah. Cowok itu masih santai berjalan dengan langkah lebarnya. Hingga tepat pada empat pijakan anak tangga lagi ia bisa menyentuh bahu Al, keseimbangannya goyah akibat terlalu buru-buru.

Ada seseorang yang untung saja sigap menangkap tubuh Ara dari belakang. Sejenak Ara menahan napas, wajah cowok itu terlihat sangat jelas. Debaran jantungnya tak terkendali, desiran aneh itu kembali menjalari dadanya. Tatapan yang dilemparkan cowok itu membuat Ara tak bisa apa-apa. Keadaan sekitar menjadi ricuh, tepuk tangan juga bergemuruh. Refleks Ara melepaskan tangannya yang sedari tadi memegang bahu cowok itu sebagai penopang tubuhnya yang hampir terjatuh.

"Lain kali hati-hati."

Lain kali hati-hati.

Lain kali hati-hati.

Lain kali hati-hati.

Suara dinginnya seolah menggema nyaring membuat Ara menelan saliva dengan susah payah. Ini di luar dugaannya, tatapan tajamnya masih terarah pada Ara yang langsung menunduk setelah adegan itu.

Kepala Ara kembali mendongak, cowok itu memutar haluan tatapannya ke depan. Matanya beradu pandang dengan Al yang berada di depannya.

Cowok itu menarik lengan Ara, membawanya agar mengikuti. Namun, tepat posisinya bersebelahan dengan Al, cowok itu menepuk bahu Al, entah apa maksudnya. Seketika Ara menoleh pada cowok yang semakin jauh kakinya melangkah justru semakin kuat cengkeramannya di lengan Ara.

Ken marah karena Ara-nya.

"Ken marah?"

Benar, Ken marah. Matahari di kepalanya seolah terganti dengan awan mendung disertai petir.

Tiap kali kakinya melangkah, pikirannya terus menguar ke segala arah, mereka ulang kejadian yang ia alami seminggu terakhir. Ken merasa bodoh karena yang teringat di sana lagi-lagi tentang gadis di sebelahnya.

Ara.

Padahal, harusnya hari ini, menit ini, detik ini ia sudah melaksanakan keputusannya, menjauhi Ara. Tapi siapa sangka, saat melihat Ara mengejar Al rasanya ada banyak kata seharusnya yang ia pikirkan.

Seharusnya ia tidak membiarkan Ara mengejar Al, seharusnya ia sepulang sekolah ini langsung menemui Ara di kelasnya, seharusnya ia menyadarkan Ara bahwa untuk apa Ara mengejar Al yang sudah jelas-jelas tidak mempedulikannya, dan masih banyak lagi seharusnya.

"Ken lepas," ucap Ara parau, cengkraman Ken semakin kuat yang tentu saja membuat lengannya memerah.

Ken melepasnya kasar. Dari segala hal yang ada di dunia ini, rasanya ada banyak ungkapan tidak pantas atas satu dari segala itu dapat menjadi miliknya, Ara gadis itu termasuk salah satunya.

Helaan napas panjang Ara menyadarkan jalan pikiran Ken. Gadis itu bertanya dengan tubuh yang dicondongkan ke arahnya. "Aku punya salah ya sama kamu? Dari kemarin kamu beda, Ken. Salah aku apa?"

Dan di sinilah semua akan dimulai. Ken diam sambil memundurkan tubuhnya, membentang jarak dengan Ara. Cowok itu bersandar di motornya, menunduk termenung. Pertanyaan Ara barusan seperti angin lalu yang tidak ia pedulikan.

Tiba-tiba tangan Ken terulur, mengacak-acak puncak rambut Ara gemas. "Jauhin Al!"

Satu kalimat itu meluncur mulus dari mulut Ken, kedua sudut bibir Ara yang semula terangkat kini turun kembali, bahunya merosot kecewa.

Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa. Tidak bisa.

Pikiran Ara berkata tidak bisa, tapi hatinya jelas berkata bisa. Karena kini, semua ruang di hatinya, yang mampu memporak-porandakan perasaannya hanya Ken.

Hanya Ken.

Semuanya terjadi begitu cepat. Refleks. Pemikiran impulsif. Tindakan spontan. Apa pun kata yang tepat untuk mendukung aksi Ken yang melepas kontak tangannya dengan puncak rambut Ara. Tampak wajah Ara tertegun, seolah sebentar lagi ada hal yang tidak ingin ia dengar.

Ara menggeleng lemah. "Kamu kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"

"Karena gue tahu lo nggak akan bisa nurutin permintaan gue yang satu itu!" tegas Ken membuang muka, menatap ke arah lain kecuali Ara yang berdiri di hadapannya.

Tunggu, barusan Ken pakai aksen bicara lo-gue?

"Kamu marah? Aku minta maaf, aku bakal jauhin kak Al."

"Gue yang jauhin lo!"

Ara merasa hatinya hancur, remuk, redam.

"Kenapa?"

"Karena lo beban buat gue!"

Tepat di paragraf ini, Ken tidak pernah berpikir tentang konsekuensi yang ia buat dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tepat di dentingan jam ini, Ken tidak tahu bahwa keputusan bodoh itu akan membawanya ke malam-malam panjang di mana Ken menatap langit-langit kamar dengan helaan napas sesak. Bahkan di siang bolong juga, mimpi buruk kejadian ini tak segan-segan berlarian di kepalanya.

_____

AN:

Niatnya pengin nabung Bab, eh ... tangan bilang, "Udah, up aja." ditambah sahutan dari kepala, "Iya, cepet rampungin."

Alhasil cerita ini update nggak terjadwal, maaf :) tapi bakal terus up kok ^^ tunggu aja!

Salam,

Illa :)

  

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang