5 | Di Kaki Cakrawala

265 72 9
                                    

Bagian 5

Di Kaki Cakrawala

"I'm ini need of a savior, but I'm not asking for favors."
Silence-Marshmello ft. Khalid

_____

"KAMU nggak apa-apa 'kan?"

"Aduh Kak Al nggak lihat apa? Ini jari telunjukku kejepit pintu loker, berarti itu ada apa-apa!" Sudut mata Ara mengeluarkan cairan bening, wajahnya terlihat meringis menahan sakit.

Al menggenggam tangannya, lalu meniupkan jari telunjuk Ara yang memerah. Seakan bumi berhenti berotasi, tata surya ikut diam menyaksikan mereka berdua, waktu seolah memberi jeda. Tubuh Ara membeku, lidah tanpa tulangnya mendadak kelu untuk berbicara.

"Makanya lain kali hati-hati. Nggak usah buru-buru kayak tadi."

Bagaimana tak buru-buru? Pagi-pagi begini ada yang membuat baterai semangatnya terisi penuh. Ada secarik kertas post it berwarna biru dengan ucapan yang tertulis di sana.

Untuk Clara Ayu Alexi

Pagi :)

Semoga pagi ini, aku adalah orang yang pertama kali kamu lihat di sekolah.

Tunggu semenit lagi, aku menemuimu. Kalau perlu kamu boleh deh hitung mundur ^^

Happy nice day!

Berarti Kak Al dong? Benar pas aku hitung mundur, sekarang Kak Al yang datang. Kak Al yang ngirim ini ke aku?

"Makasih ya Kak Al!"

"Untuk?"

"Ini!" Ara memperlihatkan kertas post it itu tepat di depan wajah Al sambil berjinjit antusias.

Al merespons dengan anggukan kepala. Tangan kanannya memperbaiki letak tas ranselnya yang ia sampirkan di bahu kanan.

Al mendekati Ara, ia berdiri tepat di samping Ara. Dengan merendahkan tubuhnya, lalu Al membisikkan sesuatu yang membuat degup jantung Ara tak beraturan.

"You are careless girl, but sweet."

Ara tak berkutip, merasakan deru napas Al menyapu telinga sampai pipinya.

Seiring Al pergi menjauh setelah mengucapkan itu, pelan-pelan Ara juga mengingat jelas aroma mint dari cowok itu.

_____

Rona jingga melekat di langit. Awan-awan bergantungan dengan formasi indah. Di antara potongan dua puluh empat jam sehari, waktu cepat bergulir, hingga tak terasa sudah sore hari.

"Ra, bangun!"

Ara terkesiap, ia segera membuka mata. Mengumpulkan nyawa dan menguap berkali-kali. Tak sadar ia tertidur di perpustakaan.

"Bu Ida ini jam berapa ya?" tanyanya sambil memperhatikan Bu Ida--selaku perpustakawati--yang sedang membereskan buku di rak bagian utara.

"Udah jam lima sore lho."

Astaga! Berarti sudah dua jam ia tertidur di perpustakaan. Kelamaan memperhatikan Al, ia sampai tertidur lelah. Segera Ara bangkit dari duduknya lalu menyalami Bu Ida. "Makasih ya Bu udah bangunin Ara, maaf ngerepotin."

Ara berlari menuju kelasnya. Setelah sampai ia terburu-buru memasukkan alat tulisnya ke tas lalu menyampirkannya asal di bahu kanan. Seketika ada yang menggangu pandangannya. Ada siluet seseorang yang sedang berdiri tanpa pergerakan di samping pohon mangga taman sekolah.

Pohon mangganya tumbuh dengan kerimbunan mengagumkan, menciptakan kanopi gelap gulita pada sepetak lahan kosong di bawahnya. Ke petak gelap itulah seseorang berjalan, lalu siluetnya hilang menyatu pada gelap gulita kanopi. Kaki Ara refleks mendekati seseorang itu karena penasaran. Bukan tanpa sebab, masalahnya Ara sudah yakin bahwa dirinya merupakan satu-satunya siswa yang masih berada di lingkungan sekolah mengingat hari semakin gelap.

Semakin dekat semakin jelas apa yang dilihatnya. Bagai khayalan dalam dimensi nyata, ia tak salah lihat. "Ken?"

Ken mengalihkan pandangannya, ia menatap Ara dengan kekosongan. Ara membeku, merespons tatapan Ken. Tatapan yang tak seperti biasanya. Tatapan itu menghisap kesadaran Ara. Tatapan itu ... menyiratkan kegelapan yang benar-benar gulita, seperti gelapnya lubang tanpa dasar.

"Ken?"

Ken tak membalas, ia hanya mengisyaratkan dengan menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Ara menurut, ia duduk di sebelah Ken. Di bawah rimbunan pohon mangga serta beralas rerumputan yang masih terjaga.

"Ken?"

Ken terdiam. Masih menikmati indahnya matahari yang sudah berupa lengkungan kecil dan sesaat lagi menghilang. Semburat jingganya sudah menyorot lemah ketika Ara semakin dibuat bingung dengan sikap Ken. Lagi-lagi ada sesuatu yang terlihat bagai tanda tanya, langsung saja Ara mengenyahkan pikiran buruk tentang itu.

Tiga puluh detik berlalu.

"Kenapa baru pulang?"

Ara terperangah, sesuatu buruk yang mengganjal di pikirannya menguap hilang. "Ketiduran di perpus," jawab Ara, pelan.

"Lain kali jangan diulangin."

Kenapa cahaya jingga selalu menyorot sesuatu itu? Sesuatu yang berusaha mengundang banyak tanya di benak Ara? Apa semesta sedang bekerja?

"Ara?"

"Eh i-ya. Eum ke-napa Ken?" Pecah juga rasa takut itu, membuat suara Ara sedikit bergetar.

"Aku jadi mau nemenin Pluto deh."

"Ngapain?"

"Ikut dia menghilang." Mata Ken sampai menyipit, ia tertawa tanpa suara.

Lelucon yang sama sekali tidak lucu menurut Ara. Tak mengerti dengan tawa tanpa suara Ken, Ara memilih diam. Ia hanya memperhatikan Ken dari samping, sedangkan Ken masih setia menyelami jingganya senja.

"Boleh nggak aku jadi teman kamu?"

Teman? Ini Ken kenapa? Kok jadi aneh gini?

Ragu-ragu Ara mengangguk. Toh cuma teman, tidak ada yang perlu dicemaskan.

"Yakin kamu mau temanan sama anak badung kayak aku?"

Sekali lagi Ara mengangguk. Tak sampai situ, sesuatu buruk itu kembali memengaruhi pikirannya.

Ada dua bekas tindikan di telinga kanan Ken.

Itu sesuatu buruknya.

_____

Makasih yang udah baca <3

Salam,

Illa :)

Ken & Ara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang