14. Flashback

74 18 64
                                    

Pulang sekolah, Riana menunggu di depan gerbang. Dia sangat lelah, tidur di kelas pun masih belum cukup. Ketiga sahabatnya sudah pulang duluan, dan Riana menolak ajakan mereka.

Brum-brum!

Seorang lelaki jangkung berhenti di sana. Dia membuka helmnya dan mengacak rambut. Riana menoleh, lalu tersenyum singkat.

"Pulang, Ri?" tanyanya. Dia tersenyum setelah melontarkan pertanyaannya. Hmm, lumayan tampan.

"Iya. Kak Alvaro juga mau pulang, ya?" Riana malah balik bertanya. Dia menatap Alvaro, lalu menatap jalanan.

Alvaro mengangguk, "Mau pulang bareng, gak?" tawarnya.

Riana bingung harus bagaimana. Dia juga belum terkalu kenal dengannya, bahkan baru bertemu satu kali. Gimana, nih?

"Aku nunggu jemputan aja, kak. Makasih tawarannya," ujar Riana lembut. Alvaro tersenyum sampai matanya menyipit. Tampan. Itu yang Riana pikirkan.

"Udah sore, loh. Yakin?" godanya. Riana benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Jujur saja, Riana takut diculik. Dia trauma dengan masa lalunya, hingga membuat Riana tak berani kemana-mana sendiri.

Beberapa tahun yang lalu, Riana kecil sangat senang berlarian dengan Daffin. Dia berada di taman kota, bermain-main riang dengan sang kakak. Daffin senang jika Riana juga senang.

Dia menyayangi Riana lebih dari apapun. Meskipun kadang jahil, bikin kesel, tapi Riana juga sangat beruntung memiliki kakak seperti Daffin.

Dia selalu menjaganya, mengajaknya bermain, atau membacakan dongeng princess jika Riana mau tidur. Daffin yang lucu, bukan?

Riana dan Daffin duduk dibangku, sambil memakan ice cream coklatnya. Mereka hanya berdua, ayah dan bundanya tidak tahu kemana perginya anak-anak. Daffin dan Riana ngambek, karena mereka dilarang main. Lembayung sore pun sudah menyinari bumi.

"Ri, kakak beli dulu lolipop, ya. Kamu tunggu di sini," kata Daffin kecil sambil tersenyum.

Riana mengangguk, tanpa menatap Daffin. Dia sibuk sendiri dengan ice cream di tangannya. Daffin pergi, sehingga Riana hanya duduk sendiri.

Lima menit berlalu, Daffin tak juga kembali. Riana bosan, makanannya sudah habis, jadi dia memutuskan untuk berkeliling mencari kakaknya.

"Kak Daffin mana, sih? Lama banget," ucapnya. Dia menoleh sana-sini, berusaha mencari Daffin.

Tiba-tiba, seorang lelaki asing menepuk pundak Riana, membuatnya menoleh. "Om siapa, ya? Liana gak tahu." Riana masih kecil, pengucapannya juga masih tidak jelas.

Lelaki dewasa tadi tersenyum, lalu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Riana. "Om baik, kok. Kenapa adik manis sendirian?" tanyanya.

Riana sedikit mundur, dia tidak pernah bertemu orang itu. "Nungguin kakak."

"Mau om temenin nyari, gak?" tawarnya. Riana menunduk, lalu mendongak lagi. Dengan polosnya, Riana mengangguk, lalu menggenggam tangan orang di sampingnya.

Riana berkeliling, dia mengedarkan pandangannya. Daffin belum juga terlihat, Riana sudah capek sekali dari tadi berkeliling. Lelaki itu semakin menyunggingkan senyumannya, dia menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Riana.

"Capek, ya? Sini om gendong. Mau?" tanyanya. Riana tersenyum manis, lalu mengangguk. Kini, dia sudah berada dipangkuan lelaki itu. "Ikut om, ya."

"Ke mana? Liana gak mau, om. Liana gak kenal sama om," tolaknya. Dia mengayun-ayunkan kakinya, mencoba kabur.

Namun, tenaganya tidak cukup untuk melawan orang dewasa. Dia berteriak, namun mulutnya dibekap. Riana ingin menangis, rasanya. Dia menyesal tidak mendengarkan apa kata bundanya.

RL's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang