"Karena...."
"Karena apa?" tanya Anira tak sabar. Dia dengan Nada sudah menghadap Riana sepenuhnya seperti sedang menginterogasi. Rasa ingin tahunya memang tinggi. "Riana Maudy, please! Karena apa?"
Bibir Riana mengerucut, sebal karena Anira selalu tidak sabaran. Dia menarik nafas sebentar, sebelum benar-benar siap menjawab. "Ya ... karena aku capek!" Riana menggigit bawah bibirnya sambil memalingkan wajah.
"Lo lagi enggak bohong, kan?" tanya Nada memastikan. Tatapan penuh selidiknya membuat Riana gemetar sampai meremas samping bajunya. "Ya Tuhan, Riana. Percuma juga lo ngangguk gitu. Lo gak pandai berbohong, mata lo seakan ngomong 'gue lagi bohong' tahu, gak?!"
Di samping Nada, Anira mengangguk-angguk seguju. Anira tersenyum kecil, tangannya terangkat memegang kedua bahu Riana. "Kalau lo gak mau bilang sekarang, kita tunggu sampai lo siap. Gak usah dipikirin."
-
Di tempat yang sama, Leon masih berdiri tegak memandang kepergian Riana dan temannya. Dia yakin, mereka sedang mengeluh capek pada Riana atau menanyakan alasan kenapa sedikit berbeda ke Leon.
Tangannya terangkat mengusap leher, kemudian memilih mendekat ke arah Anin yang sedang memesan roti bakar.
Sebenarnya, setelah pulang sekolah Leon memaksa Anin untuk mengantarnya ke toko buku. Dia mengajaknya lewat chat karena tidak mungkin mendatanginya di kelas. Kalau dia melakukan hal tersebut, apa yang akan terjadi? Kalau orang-orang tidak melotot, pasti mangap.
Leon tersenyum saat dia tiba di hadapan Anin yang sedang duduk. Mungkin masih menunggu pesanannya. Leon memilih duduk lagi di sebelah kanan Anin setelah tadi menghampiri Riana.
Anin menoleh sebentar, lalu membuka tasnya sambil mengeluarkan empat novel dan menyerahkannya ke Leon.
"Lo beli novel ini buat siapa?" tanya Anin setelah semua novel itu beralih ke tangan Leon. "Banyak banget," lanjutnya.
Lelaki itu menoleh sebentar, lalu menatap lurus lagi. "Buat Bella. Lo gak mau?" Dia bukannya tidak mau memberi Anin novel, tapi Leon sangat tahu tentang Anin yang lebih suka komik daripada novel.
"Enggak. Gue lebih suka baca komik daripada novel." Anin tersenyum sambil menunduk, dia tidak menyangka Leon masih mengingat kesukannya. "Masih ingat?"
Tanpa ragu lagi, Leon mengangguk. "Masih. Rak buku lo isinya komik doang." dia menoleh ke arah Anin, lalu tersenyum singkat. "Thanks udah temenin gue sekarang. Lo tahu genre kesukaan Bella, jadi gue ajak lo."
Anin mengangguk. "Tadi ... Riana gak lihat gue, kan? Dia baik-baik aja?" dia baru ingat ingin bertanya itu ke Leon. Saat Leon mengangguk, Anin menghembuskan nafas lega. "Syukur kalau gitu."
"Gue mohon sama lo, jangan sampai dia tahu soal kita dulu. Gue khawatir sama kedepannya."
Anin membeku, bola matanya bergerak tak tentu arah. Kedua sudut bibirnya terangkat samar, rasanya ada sesuatu yang bergemuruh di hatinya. Antara senang karena akhirnya Leon sudah bisa melupakannya, atau sesak karena dia masih sedikit menyukai Leon?
Tentu saja Anin mengangguk. "Semoga beruntung." dia menepuk pundak Leon sebelum beranjak mengambil roti bakarnya dan masuk ke mobil Leon. "Dan semoga lo senang...," gumamnya.
Terkadang, sebuah keputusan diambil untuk menentukan apa yang terbaik. Jika sekarang kamu berubah pikiran, janga pernah menyesalinya lalu bersiaplah patah hati.
Di dalam mobil, Anin hanya menatap lurus. Dia tidak memutar musik atau memainkan ponsel sebelum suara notifikasi menyadarkannya. Anin mengeceknya, kemudian matanya membulat sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
RL's Story
Teen FictionBagaimana jika hidupmu dipenuhi dengan misteri? Sama seperti Riana Maudy yang berhari-hari kebingungan karena mendapat notes aneh, dan itu kerap terjadi semenjak bertemu dengan pria menyebalkan. Sudah berapa notes yang dia temukan? Riana pun malas...