"Ri...." Leon menghentikan ucapannya karena Riana mengangkat tangan kanannya. Nafasnya tak beraturan, jantungnya berdegup kencang melihat senyum palsu yang Riana berikan untuknya.
Riana menurunkan tangannya. Dia menarik nafas panjang sebelum menunduk pelan. Dadanya sesak, pasokan oksigen seakan menipis. Tangannya mengepal kuat berusaha menahan air matanya.
"Ri, gue...," ucapnya. "Gue minta--"
"Gak perlu minta maaf." Riana mendekat dua langkah ke arah Leon. "Aku bakal berusaha lupain obrolan kalian, kok." Dia tersenyum samar.
Satu tetes.
Benteng pertahanannya runtuh seketika, Riana tidak bisa lagi menahannya. Meskipun begitu, senyumannya masih dapat dia pertahankan. Leon lebih membeku, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi melihat Riana menangis seperti itu.
"Kalau bisa, aku juga mau berusaha buat lupain semuanya." Riana beucap parau. "Semuanya." dia menekankan kalimat itu sangat jelas, matanya terpejam untuk beberapa saat. "Dari awal, sampai saat ini juga."
Leon menggeleng pelan. "Gue bisa jelasin semuanya, Ri!" tasnya yang semula berada di bahu sebelah kanannya terjatuh, tidak ada niat sama sekali untuk membawanya. "Soal Anin ... gue minta maaf karena gak bilang dari awal...."
Riana masih menunduk, tidak berani memperlihatkan wajahnya yang sudah basah karena air matanya. Sungguh, jika bisa dia memutar waktu ke masa-masa sebelumnya, Riana ingin kembali ke sana dan memulai kehidupan tanpa mengenal Leon. Dia ingin sekali!
"Gue mohon jangan benci Anin, dia--"
"Aku tahu!" balas Riana cepat. Dia mengatur pernapasannya terlebih dahulu, berusaha untuk tidak terisak-isak. "Kalian tutupin hubungan kalian karena gak mau ngecewain aku, kan?"
Leon diam. Tangannya ikut mengepal mengendalikan emosinya, rahangnya mengeras dan matanya memerah.
Sama halnya dengan Riana, gadis itu terdiam seribu bahasa. Dia mengingat-ingat lagi apa saja kejadian yang mengganggu pikirannya selama ini. Saat itu....
Ingat ketika sekolah mengadakan kegiatan kemah? Ya, ketika sesi curhat di sekeliling api unggun selesai, Riana memutuskan untuk masuk tenda terlebih dahulu.
Dia mengambil beberapa cemilan untuk dimakannya ketika nanti duduk di tempat yang pernah dia dan Leon datangi. Riana ingin ke sana lagi, udara dan pemandangan di sana sangat indah sampai-sampai membuatnya ketagihan untuk kembali berkunjung.
Baru sampai di sana, senyumannya memudar ketika melihat seorang laki-laki sedang berbincang dengan seorang perempuan yang dia yakini adalah temannya. Riana menyipitkan, matanya mencoba mengamati siapa laki-laki itu.
"Semuanya susah!"
"Pelan-pelan aja. Pasti bisa," ucap Anin.
Riana semakin penasaran dengan lelaki itu. Namun, sepertinya Riana mengenali suara itu. Suaranya seperti ... suara Leon? Dia memalingkan pandangan ke arah lain, sembari memikirkan sedang apa mereka di sana? "Mereka ... saling kenal?" tanya Riana pada dirinya sendiri.
"Bisa. Tapi, itu menurut lo. Gue susah!"
"Udah gue bilang. Ini yang terbaik, dan gue lihat ... lo suka Riana, kan?" teriak Anin.
"Gue gak tahu. Kenapa, sih kita harus putus? Padahal, gue masih suka sama lo. Gue masih suka sama lo, Nin!"
Krek!
Cemilan yang Riana pegang jatuh. Tangannya bergetar mendengar pengakuan Leon pada Anin. Apakah dia salah lihat? Riana mengucek matanya, kemudian kembali memperhatikan mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
RL's Story
Novela JuvenilBagaimana jika hidupmu dipenuhi dengan misteri? Sama seperti Riana Maudy yang berhari-hari kebingungan karena mendapat notes aneh, dan itu kerap terjadi semenjak bertemu dengan pria menyebalkan. Sudah berapa notes yang dia temukan? Riana pun malas...