20. Nyangkut

65 16 39
                                    

Riana berada di kelas. Banyak dari siswa-siswi yang kaget melihat Nada pingsan. Dari tadi, Riana terus mencari cara agar Nada cepat bangun, namun belum ada seorang lelaki yang mau mengangkatnya. Tahu, kan? Tenaga perempuan tidak terlalu kuat?

"Cepetan! Mau bantu angkat, gak?!" teriak Nira. Dia berusaha menahan kepala Nada agar tidak terkena lantai. "Takut kenapa, sih?! Cuma bantu angkatin Nada doang!" teriaknya lagi.

Anin sedang di UKS, menyiapkan selimut dan air hangat. Sedangkan Riana, dia sedang kebingungan entah harus bagaimana. Dia terus menepuk-nepuk pipi Nada supaya bangun.

Namun sia-sia saja, Nada tidak bangun juga. "Biar gue aja." Semua orang terfokus pada seorang lelaki tinggi berparas tampan. Dia jongkok, lalu menyelipkan tangannya di leher Nada.

"Kak Dean? Makasih, kak!" ucap Riana ramah. Dia memberikan jalan untuk Dean keluar kelas, sambil menatap tajam anak laki-laki di kelasnya.

Ketika Riana hendak menyusul, Dean berhenti diambang pintu, karena seseorang menghalanginya. Riana dapat mendengar suaranya, dia yakin itu Zio.

"Itu yang gue takutin, Ri. Bisa-bisa gue diamuk Zio," kata Ardo, teman sekelas Riana.

"Nada mau dikemanain, kak?!" teriaknya. Zio tak mengindahkannya, dia segera membawa Nada. Anira menggaruk kepalanya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dia pergi. "Aku ditinggal sendiri?" gumamnya.

-

Sepulang Sekolah, Riana menunggu Daffin di halte. Dia menolak ajakan Anira untuk pulang bersama. Sepertinya, Nada diantar pulang oleh Zio. Walaupun, kemungkinan Nada menolak. Tentunya Zio harus sabar menghadapi gadis keras kepala itu.

Musik bermelodi lembut tidak Riana putar. handphone-nya dia simpan di dalam tas. Riana hanya diam saja, menatap lalu-lalangnya kendaraan di sepanjang jalanan.

Riana hanya memikirkan persahabatannya. Dia sangat bersyukur, karena bisa dipertemukan dengan mereka. Hanya sekarang, Riana menemukan sahabat yang selalu mengerti keadaannya. Mereka juga tidak membicarakan Riana di belakangnya.

Ketika Riana butuh tempat curhat, mereka akan menjadi sandarannya. Riana tidak pernah diacuhkan atau dijauhi. Teman-temannya benar-benar ingin berteman tanpa alasan. Riana tidak pernah merasa dimanfaatkan, padahal dia pintar.

Bahkan, ketika nilai Riana lebih memuaskan dari pada yang lain, mereka tidak menyalahkan Riana karena tidak memberikan contekan. Justru, mereka sadar diri karena tidak belajar sebelum ujian.

Dia menikmati hembusan angin sore, sesekali memandang langit mendung. Mungkin, sebentar lagi akan hujan. Sedangkan, Riana masih menunggu kakaknya menjemput. Semoga saja, Daffin membawa mobil, bukan motor.

Pim-pim!

Klakson motor membuyarkan lamunannya. Dia menoleh, melihat Alvaro sedang tersenyum ke arahnya. "Nunggu siapa?" dia mendekati Riana.

"Kak Daffin. Belum pulang, kak?" dia mengulas senyum, sambil menatap Alvaro. "Udah sore, loh. Jam empat," ujarnya.

Lelaki di sebelahnya mengangguk, "Mau pulang bareng?" Alvaro mengangkat tangannya, bermaksud mengajak pulang.

Riana mengerutkan kening, dia menerima uluran tangan Alvaro, "Sah?" ucapnya polos.

Mendengar ucapan Riana, Alvaro tertawa terbahak-bahak. Dia menutup wajahnya dengan tangan, kemudian geleng-geleng.

"Mau jadi Penghulu, Ri?" guraunya. Alva sangat terhibur, ketika Riana berucap "sah" dengan wajah yang polos. Dia tahu, Riana kebingungan karena Alvaro mengulurkan tangannya.

Sebelum menjawab, Alvaro kembali menimpali, "Maksud gue, ayo pulang bareng! Bukan nikah, Riana," jawabnya. Dia mengacak poni Riana, kemudian menarik tangannya.

RL's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang