15. Perjalanan

75 20 61
                                    

Malam hari, Riana masih terbangun. Bahkan, dia berencana menonton film dengan tiga kawannya. Mereka berjejer di ranjang Riana, sambil memandangi layar laptop.

"Horor aja, Ri!" ucap Anin bersemangat. Yang lain mengerucutkan bibir, tak suka dengan genre horor. Apalagi Anira, dia sangat penakut, tidak mungkin mau menonton hal-hal berbau horor seperti itu.

"Gak! Aksi aja, deh. Lebih seru." Nada ikut usul. Riana hanya menurut saja, kecuali horor. Dia takut terbayang-bayang saat sendiri. Bahkan, jika di kamar mandi, pikiran Riana terkadang membayangkan hal-hal seram.

Riana masih menatap mereka, bingung harus memutar film apa. Dia menatap Nada, semoga pilihannya disetujui. "Kalau menurut gue, film The Great Wall bagus, tuh," katanya.

Senyum Riana terukir, mereka mengangguk  meng-iyakan usul dari Nada. Nada memang tidak terlalu suka genre romance atau horor. Dia lebih suka Aksi, atau semacamnya.

Riana mulai memutar film tersebut, lalu mematikan lampu. Lebih seru jika lampunya padam, walaupun sebenarnya merusak mata. Mereka sangat fokus, hingga ponsel Anin berbunyi. Dia tidak peduli, yang terpenting sekarang, dia puas dengan film-nya.

Merasa terganggu, Anira menyenggol Anin, mengisyaratkan untuk mengangkatnya terlebih dahulu. "Berisik!" ucapnya.

Anin mendengus, dia beringsut duduk sembari mengambil ponselnya di meja belajar Riana. Saat dia melihat layar ponselnya, entah mengapa Anin gelisah. Dia menengok teman-temannya sekali, lalu kembali fokus pada ponselnya.

"Siapa, Nin?" tanya Nada tanpa mengalihkan pandangan. Anin menoleh, lalu menggeleng pelan.

"Gak tahu, nomornya gak dikenal," balasnya cepat. Dia memilih menggeser ikon warna merah, lalu mematikan ponselnya. Dia kembali mendekat ke arah ranjang, lalu menidurkan diri.

Setelah satu jam lebih mereka menonton, akhirnya film sudah selesai. Keempatnya menegakkan punggung, lalu menggeliat lantaran pegal daritadi tak bergerak.

"Huft ... happy ending, guys. Serem tahu, pas monsternya nyerang," ujar Nira. Yang lain mengangguk, menyetujui apa yang Nira katakan. Setelah itu, dia merebahkan diri, menatap langit-langit.

"Besok kita berangkat, kan?" tanyanya. Riana mengangguk, lalu menghembuskan nafas kasar.

"Berarti, aku bakal duduk sama kak Leon, dong?" Riana memandangi ketiga sahabatnya, "Nir, aku sama kamu aja, ya?" lanjutnya.

Anira menggeleng cepat, dia memegang pundak Riana, "Lo sama Kak Leon aja, Ri. Kalau pak Arka tahu, gimana?" tanyanya.

Riana memelas, lalu mengangguk pelan. Apa yang akan terjadi besok, ya? Mungkin, Riana akan nervous dekat dengan Leon. Dia melirik Anin, kemudian bertanya, "Nin, duduk sama siapa?"

Anin langsung mengetuk dagunya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Siapa, ya? Kalau gak salah, namanya Rafisqy," ujarnya kurang yakin.

Kemudian, Riana mengangguk. Dia lanjut melirik Anira, dia satu bis dengannya. Anira yang mengerti langsung menjawab, "Gue satu bis sama lo, duduk sama Arion."

Nada memutar bola mata, "Gue sama Argi. Temennya si orgil. Dan sialnya, gue malah satu bis sama Zio kampret!" ocehnya.

Riana terkekeh geli, melihat sahabatnya kesal. Dia menunjuk Anira, teman satu bisnya. "Arion, Ri. Gue aneh, kenapa temen-temen kak Leon semuanya ada di-bis empat sama dua? Kenapa gak nyebar, gitu?" tanyanya.

Aneh sekali, kenapa Nira bisa berpikir begitu? Apa pun, mungkin akan mereka lakukan untuk bisa bersama. Berbagai cara juga, bisa jadi mereka saling bertukar nomor bis dan tempat duduk.

RL's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang