22. Bagaimana?

55 13 26
                                    

Setelah berhasil membuat seisi rumah bingung, raut wajah Leon terlihat resah dan kusut. Berhubung sudah malam, dia pasti kecapekan ingin segera tidur.

Namun, kantuknya terkalahkan oleh rasa khawatirnya. Leon mengendarai mobilnya menuju suatu tempat yang dulu pernah dia singgahi. Tangannya terangkat mengetuk pintu, hingga seorang Asisten Rumah Tangga keluar membukakan pintu.

"Bi, Anin di mana? Masih sakit?!"

Wanita tadi mengangguk, dia dapat melihat gurat khawatir diwajah Leon dengan jelas. Dia menatap Leon dari bawah sampai atas, kemudian tersenyum lebar. Masih jatuh cinta, kayaknya.

Merasa tidak puas dengan anggukan saja, Leon meminta izin untuk masuk menemui Anin. Dia meneliti setiap ruangan, belum ada yang berubah dari awal Leon ke sana. Kira-kira, satu tahun yang lalu, ketika Leon resmi menjadi kekasih Anin.

Leon menaiki anak tangga satu-persatu, hingga anak tangga terakhir. Dia hafal betul di mana kamar Anin. Tapi, Leon bukan anak kurang ajar yang asal masuk kamar wanita doang. Bi Ira, Asisten Rumah Tangga Anin memberitahunya bahwa mama Anin ada di atas.

Tok-tok-tok!

Pintu terbuka, mama Anin kaget karena kedatangan Leon. Dia menyalaminya, kemudian menatap ke belakang mamanya.

"Tante, maaf Leon mengganggu." dia menundukkan kepalanya, tidak enak bertamu malam-malam begini. Selain langit sudah gelap, mama Anin juga tahu, bahwa mereka sudah putus. "Aninnya sudah baikan, tan?" tanyanya.

Dia mengangguk, kemudian tersenyum ramah ketika melihat Leon sebegitu cemasmya. Leon terlihat kusut, laksana sebuah baju yang baru kering setelah dijemur.

"Demamnya sudah turun, kamu tahu dari siapa Anin sakit?" dia melirik jam dinding di kamar Anin, setelah itu menatap Leon lagi. "Sudah malam, kamu enggak ngantuk?" mama Anin memberi kode agar Leon masuk ke dalam.

"Dari temen, tante. Leon cuma mau jenguk sebentar, tante di sini aja." Leon tidak mau jika hanya dia dan Anin saja di dalam kamar, jadi Leon membiarkan mama Anin memperhatikannya.

"Tante percaya sama kamu. Kita sudah kenal lama, loh. Mana mungkin, kamu macam-macam sama Anin?"

Mendengar itu, Leon tersenyum singkat menanggapi. Menarik satu kursi ke samping ranjang, lalu duduk di sana. "Makasih, tante," ujarnya yang dibalas anggukan oleh mama Anin.

"Tante ke bawah dulu, ya?" katanya tenang. Leon mengangguk, kemudian beralih menatap Anin.

Leon dapat melihat wajah Anin yang pucat, kantung matanya terpampang jelas. Dia meletakkan punggung tangannya dikening Anin, suhu tubuhnya masih panas.

Yang ada dipikirannya saat ini hanya Anin. Padahal, sebelumnya Anin masih sehat-sehat saja. Dia merogoh ponsel disakunya, kemudian membuka aplikasi kamera dan mengarahkannya ke wajah Anin.

Cekrek!

Sudah lama, Leon tidak berfoto dengan Anin. Atau mungkin, sekedar menjahili Anin ketika sedang makan. Leon suka melihat ekspresi Anin saat sedang makan. Dia sangat imut dan terlihat dewasa. Make-up tipis yang membuatnya semakin cantik, bahkan terkesan manis dan tidak berlebihan.

Tok-tok-tok!

Leon menoleh, melihat mama Anin yang sedang membawa segelas susu dan beragam cemilan. "Minum dulu. Aninnya belum bangun, ya?" ucapnya.

Dia meletakkannya di atas meja, kemudian beralih menatap Leon. "Sudah lama gak ketemu, gimana kabar kamu?" tanyanya pelan. "Gimana di Sekolah? Suka ketemu Anin?" masih dengan pertanyaan seputar Anin.

"Alhamdulillah, tante. Leon baik, di Sekolah juga sering ketemu Anin, kok."

"Kamu masih suka sama Anin?" pertanyaan yang ini memang sedikit sukar. Sukses membuat Leon bingung harus menjawab apa.

RL's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang