Riana sampai di kantin bersama Alvaro. Dia menghampiri teman-temannya, sedangkan Alvaro duduk di kursi yang berbeda.
"Katanya males ke sini, Ri?" tanya Nada. Dia menarik satu kursi di sebelahnya, meminta Riana duduk. "Kok sama dia lagi?" lanjutnya pelan.
Yang lainnya mengangguki pertanyaan dari Nada, mereka menatap heran Riana. Tentu saja, itu perihal kedatangannya dengan Alvaro.
"Kebetulan ketemu di koridor. Dia ngajak, yaudah, deh." Riana menjawab. Dia melipat tangannya di meja, "Lapar. Pesan dulu bakso, ya?" katanya sambil berdiri.
Tak lama setelah Riana pergi, beberapa lelaki terlihat di ujung pintu. Nada, Anin dan Anira kompak menoleh, membuat Nada mendengus kesal. "Si orgil lagi," gumamnya.
Anin menoleh, "Nad, kayaknya udah takdir lo ketemu terus sama kak Zio," ucapnya bercanda. "Ke sini, loh, dia." Anin menunjuk Zio dengan dagunya.
Nada merasa terganggu, dia belum pernah bertemu laki-laki seagresif Zio. Kesehariannya di SMP hanya begitu-begitu saja, seperti wanita pada umumnya.
"Mejanya penuh semua, kita boleh duduk di sini, kan?" tanya Zio. Di sampingnya ada Argi dan Darel, dan sisanya di belakang tidak peduli. "Kalau diam, berarti boleh." Zio menarik kursi, disusul yang lainnya.
Mejanya memang besar, kantin SMA Gemilang terbilang luas. Lebih dari empat puluh meja yang berjejer di dalamnya, tetapi semuanya penuh.
Setelah lama pergi, Riana kembali dengan semangkuk bakso di tangannya. Satu meter dari meja, dia mematung. Mungkin, Riana kaget melihat banyak lelaki di mejanya. Di sama ada Nada, dia yakin itu tempat duduknya.
"Ri! Duduk di sini aja. Gue pindah," kata Anin. Semuanya menoleh, melihat Riana yang berdiri sambil gelagapan. "Cepetan, sini!" lanjutnya.
Riana menggeleng, lalu mendekat. "Gak apa-apa. A--aku di ... oh, aku sama kak Alvaro aja," ucapnya sambil tersenyum. Dia meletakkan mangkuknya di meja yang Alva duduki, kemudian duduk. "Aku di sini, ya, kak?" Riana memandang Alva.
"Kursinya ambil aja, Ri!" teriak Anira sambil berdiri. Dia melambaikan tangannya, mendapat gelengan dari Riana. "Kenapa? Duduk di sini!" mohonnya.
"Riana di sini aja sama gue," timpal Alva. Leon menoleh, menatap datar Riana dan Alva. Setelah itu, dia menunduk, memainkan ponselnya seperti tak peduli.
"Maaf, ya, kak? Di sana penuh. Atau, aku ke sana aja?" tanya Riana. Sebetulnya, Riana bisa saja duduk di meja semula, namun rasanya kurang minat.
Mendengar itu, Alvaro mengangguk sambil tersenyum, "Gak apa-apa, kok. Santai aja." Dia memainkan sumpit di tangannya, matanya terus memperhatikan Riana. "Bakso-nya enak?" ucapnya basa-basi.
Ketika Riana asik dengan makanannya, dia menoleh, "Enak," jawabnya singkat. Riana mengedarkan pandangannya, kemudian terhenti saat matanya dengan mata Leon bertemu. Lima detik, dia palingkan lagi.
Leon menatapnya lama, sedangkan Riana mencairkan suasana dengan cara mengajak ngobrol Alvaro. Awalnya, mereka membahas tentang sekolahnya dulu, membuat Riana hanyut dalam cerita Alvaro.
"Dulu, gue pernah mau bolos. Tapi, sebelum bolos, gue ngasih tahu pak Biyu dulu. Aneh, kan?" ucapnya sambil ketawa.
Riana merasa tidak asing dengan nama 'Biyu', dia menyimpan sumpitnya, kemudian beralih menatap Alvaro. "Pak Biyu? Guru IPS, bukan?" Riana memiringkan kepala. Sebenarnya, dia sangat gugup karena Leon terus meliriknya. Ketika dia menatap Leon, Leon juga sedang menatapnya.
Alvaro diam sejenak, "Kok tahu? Pak Biyu emang guru IPS waktu SMP," jawabnya sedikit keras. "Lo SMP di mana?" lanjutnya.
"SMP Satu Gemilang, kak," ujarnya. "Kakak dulu sekolah di sana juga?" Riana bertanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RL's Story
Teen FictionBagaimana jika hidupmu dipenuhi dengan misteri? Sama seperti Riana Maudy yang berhari-hari kebingungan karena mendapat notes aneh, dan itu kerap terjadi semenjak bertemu dengan pria menyebalkan. Sudah berapa notes yang dia temukan? Riana pun malas...