Upacara bendera rutin dilaksanakan setiap hari Senin. Semua siswa maupun siswi SMA Gemilang sedang bersiap-siap untuk pergi ke lapangan upacara.
Riana masih di dalam kelas karena teman-temannya terus menangkupkan tangannya dan memelas ke arah Riana.
"Kita minta maaf," mohon Anin sambil menunduk dalam. Rasa bersalahnya pada Riana semakin bertambah setelah Leon memberitahunya perihal kesudah tahuan Riana tentang hubungan mereka.
Tidak hanya Anin yang meminta maaf, Anira dan Nada-pun terus mengucapkan kata maaf sebanyak-banyaknya. Mereka benar-benar tulus mengucapkan semua permintaan maafnya kepada Riana.
"Maafin kita, Ri!" ucap Anira sambil memejamkan mata. Beberapa orang yang masih ada di dalam kelas memperhatikan mereka dengan ekspresi kepo. "Kita gak main rahasia-rahasiaan lagi, deh."
"Jadi, lo udah tahu dari lama?" tanya Nada sesantai mungkin. Kursinya dia balikkan ke belakang agar bisa mengobrol lebih serius. Nada menarik nafas dalam saat Riana mengangguk. "Gue yakin lo marah. Tapi ... lo gak benci kita, kan?"
Riana menggeleng. "Aku gak bisa benci kalian. Hanya kecewa aja." dia menatap ruangan kelasnya. Sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain mereka. "Keluar, yuk!" ajaknya sambil tersenyum singkat lalu berdiri.
"Gue bukan sahabat yang baik buat lo."
Riana menghentikan langkahnya, dengan ragu dia berbalik. Menatap Anin ragu. Kakinya perlahan melangkah, mendekatinya dengan seulas senyum.
"Aku emang kecewa, marah, kesal juga. Tapi selamanya aku gak bisa benci sama kalian." dia menepuk pundak Anin. "Tidak semua masa lalu harus diceritakan. Ria ngerti, kok."
Anin mendongak menatap Riana. Dadanya terasa sesak mendengar ucapan sahabatnya itu. Riana yang polos bisa membuat Anin meneteskan air mata, dia kaget menyaksikan itu. Tangannya terulur mengusap cairan bening di pipi Anin dengan hati-hati.
"Makasih, Riana." Anin berdiri, memeluk sang sahabat penuh haru. "Makasih udah mewujudkan harapan gue sejak dulu."
Riana melepas pelukannya, dia menatap Anin dengan kerutan di keningnya. "Harapan kamu emangnya apa?" tanyanya masih belum mengerti. "Kenapa aku?"
"Dari dulu gue pengen punya sahabat kayak kalian. Yang selalu ngertiin gue." Anin tertawa. "Ya udah, keluar, yuk! Ketahuan Pak Arka baru tahu rasa!"
"Serasa nonton drama, gak, Nir?" sindir Nada sambil mencebik pelan.
-
Sesampainya di lapang upacara, Riana dapat melihat siswa-siswi yang sudah berbaris rapi. Dia dan teman-temannya bergegas menuju barisan kelas sepuluh.
Sambil berjalan, Riana memasukkan ponselnya ke dalam saku baju. Jalannya melambat. Kepalanya menunduk menyadari ada yang tidak lengkap. Matanya membulat sempurna, sepertinya Riana lupa tidak memakai dasi.
Teman-teman Riana ikut memelan, mereka mengernyit melihat raut wajah Riana. Anin menghentikan langkahnya kemudian menatap Riana bingung. "Kenapa, Ri?"
"Kayaknya dasi aku ketinggalan, deh." Riana menggigit jari telunjuknya. "Aku ke koperasi sekolah dulu, ya?" dia hendak berbalik, tapi Nada menarik tangannya sehingga Riana kembali berbalik.
Riana memiringkan kepalanya, seperti bertanya ada apa. Nada memberikan tatapan santai, dia maju selangkah sambil menarik nafas dalam. "Koperasi tutup, tadi pagi Nova mau beli topi. Kepaksa balik lagi ke rumah," ucapnya.
"Gimana, dong? Kalau lo ketahuan Pak Arka gimana?" Anira mengerucutkan bibirnya sama-sama bingung harus bagaimana. "Gue cuma pakai satu." tangannya bergerak menyentuh dasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RL's Story
Подростковая литератураBagaimana jika hidupmu dipenuhi dengan misteri? Sama seperti Riana Maudy yang berhari-hari kebingungan karena mendapat notes aneh, dan itu kerap terjadi semenjak bertemu dengan pria menyebalkan. Sudah berapa notes yang dia temukan? Riana pun malas...