38. Tiga Hal!

44 7 2
                                    

Setelah pulang diantar Alvaro, Riana masuk rumah dengan malas-malasan. Tasnya sudah merosot sampai ke atas siku. Rambutnya agak acak-acakan, serta sebelah tali sepatunya tidak terikat.

Dia berantakan, baginya hari ini jauh terasa melelahkan. Tangannya terangkat meraih knop pintu, namun tidak langsung masuk. Riana menyandarkan bahu sebelah kirinya terlebih dahulu sebelum ke dalam.

"Assalamu'alaikum, Riana pulang."

"Waalaikumsalam," jawab Riza tenang. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali melihat penampilan Riana yang super berantakan itu. "Loh, anak Bunda yang ini kenapa kusut banget?" dia mengusap kepala Riana pelan ketika Riana menyalaminya.

"Gak tahu, Bunda. Harus disetrika kayaknya," ucapnya ngawur masih dengan wajah cemberutnya. "Riana capek. Mau tidur saja, ya, Bunda?"

Riza mengerutkan kening merasa bingung. Namun, dia pikir lebih baik kalau Riana istirahat terlebih dahulu sebelum diwawancarai banyak hal. Setidaknya gadis itu akan kembali segar setelah bangun tidur.

"Sholat ashar dulu, loh. Secapek apapun jangan lupa sholat." Riza mengingatkannya.

Riana menarik kedua ujung bibirnya ke samping, lalu mengangguk lemas mengangkat jempolnya. "Siap, Bunda."

Kakinya melangkah menaiki anak tangga, sampai di kamar langsung melempar tasnya dan mandi terlebih dahulu selama beberapa menit. Dia kalau mandi cuma sebentar, kok enggak kayak Anira. Biasanya Anira kalau lagi mandi suka konser dulu, nyanyi-nyanyi K-pop yang liriknya sedikit ngasal.

Selesai mandi, Riana mengganti pakaiannya dan duduk di depan meja rias--memandangi pantulan dirinya sendiri dalam cermin. Bibirnya perlahan tertarik ke atas, membentuk senyuman samar.

Ketika aku tersenyum, kamu ikut tersenyum. Bahkan jika aku menangis, kamu-pun ikut menangis.

Dia menunduk, membuka laci dan membawa sebuah kalung dari sana. Lagi-lagi, senyumnya terukir walaupun tercampur dengan kepedihan.

"Apa di luar sana ada yang pernah menyukai orang yang sama?" Riana bertanya pada diri sendiri tanpa memalingkan pandangan dari kalung di tangannya. "Menyukai orang yang disukai oleh teman dekat?"

Walaupun Anin terlihat biasa saja ketika Riana bersama Leon, Riana tidak tahu isi hati Anin yang sebenarnya. Mungkinkah dia masih menaruh rasa kepada Leon meski hanya sedikit saja? Atau mungkin sudah ada lelaki lain yang bisa membuatnya merasa berharga? Riana tidak tahu itu.

"Kak Leon maafin Ria...," gumamnya sendu. Dia mendongak, menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin. "Kenapa aku harus kenal kamu, sih?"

"Satu minggu ... rasanya udah satu tahun. Ternyata sulit, ya untuk mengatur rasa?"

"Riana diemin Kak Leon karena ada alasan." Dadanya sesak, matanya memerah seiring dengan menetesnya air mata. "Aku gak mau egois. Anin jauh lebih dulu bertemu Kak Leon, lebih dulu mengenal Kak Leon. Tapi ... apa aku boleh egois?" tangan kirinya terangkat mengusap bekas air matanya.

"Aku bukan teman yang baik. Anin berusaha nutupin sakit hatinya, sedangkan di depan dia aku terus bareng Kak Leon." dia diam sejenak.

Kalung itu dia masukkan ke laci, detik berikutnya Riana sudah berjalan ke dekat ranjang. Matanya terpejam, namun belum juga bisa tidur. Riana bergulir ke arah kanan, menarik selimut sampai lehernya.

Matanya kembali terbuka, Riana mendengkus sebal tidak bisa tidur. Dia membaca surah-surah pendek yang dia hafal secara berulang-ulang, namun tidak terelap juga.

Akhirnya, Riana pasrah membangunkan diri dan bersila di atas ranjang. Dia melirik jam di atas nakas, pukul 23:12. Mungkin orang rumah sudah tidur bahkan bermimpi, tapi ternyata Riana malah mengalami insomnia.

RL's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang