Mereka bertiga saling pandang. "Jangan-jangan...."
Anin segera beranjak, disusul yang lainnya di belakang. Dia khawatir Riana akan sangat marah, selama ini dia terus menyembunyikan yang sebenarnya dengan cara berbohong.
Sambil berlari, Anin mengecek ponselnya. Dia mencari kontak Leon dan menelponnya. Anin harap, sambungannya cepat terhubung. Sialnya, nomor Leon tidak aktif, Anin berhenti sebentar untuk menengok ke belakang.
Jarak Anin dengan Anira dan Nada cukup jauh, sekitar enam meter. Napas mereka ngos-ngosan karena terus berlari. Hanya Anin yang bertahan sejauh itu. "Cepetan!" teriaknya di ujung koridor. "Gue ke kelas Leon dulu!" lanjutnya.
Dia kembali berlari ke lantai dua, setiap anak tangga dia lalui. Matanya terus mencari-cari kelas Leon, maklum saja karena SMA Gemilang sangat luas. "Ketemu!" ucapnya sambil menunjuk.
Tok...tok...tok!
Anin masuk ke dalam, membuat orang-orang menghentikan kegiatannya. Nampaknya, di kelas ini sedang tidak melakukan pembelajaran. Di meja depan paing ujung, dia melihat seorang laki-laki sedang meliriknya sambil memegang sapu.
Lalu, di meja Guru ada tiga orang wanita sedang memegang alat make-up sambil melirik ke arahnya. Di belakang makin parah, Zio melihat Anin dengan pel ditangannya. Bagus kalau dia memang pel lantai, ini sok-sokan jadi Kakek sihir.
Anin malu diperhatikan oleh seisi kelas-- yang menurutnya kelas bobrok-- dia tersenyum kaku kemudian penglihatannya menangkap sosok Leon sedang menatapnya.
Digenggamannya ada sebuah ponsel yang sengaja diatur miring, Anin tahu dia sedang bermain game. Tapi, sedetik setelah itu dia kembali menatap ponselnya.
Leon mengumpat, "Sialan!" karena dia malah kalah. Ini Anin yang salah, kenapa juga dia datang ke kelasnya? Hampir saja dia membanting ponselnya ke lantai.
"Permisi, saya ada perlu ke Kak Leon." Anin to the point saja.
Mendengar itu, Leon dan Zio mengernyit heran. Merek saling pandang, diakhiri oleh Zio yang mengangguk pelan. "Apa?" Leon sudah berada di luar kelas bersama Anin dan Zio. "Penting?" dia bertanya dingin.
"Riana pulang, Leon!"
"Kenapa?"
Anin menelan ludah susah-susah. "Ka--Kayaknya dia denger obrolan gue sama temen-temen." kepalanya tertunduk, bingung harus menjelaskannya bagaimana. "Tentang gue sama lo dulu."
Zio membeku, dia menepuk pundak Leon yang membuatnya berbalik. "Bos, saran gue nih ya. Lo susul dia sekarang, kalau bunuh diri gimana?!" celetuknya mengundang kekesalan Leon. Dia mengaduh saat Leon menonjoknya pelan, tidak lupa dengan cengiran khasnya.
"Kenapa lo ngobrolin itu sama temen-temen dia, sih!" Leon mengacak belakang rambutnya. "Gue udah berusaha nutupin ini ke dia, gue sayang Riana!" Rahangnya mengeras, kedua tangannya terkepal menyalurkan emosi. Leon juga tidak sadar bicara seperti itu, mungkin hanya spontanitas.
KAMU SEDANG MEMBACA
RL's Story
Teen FictionBagaimana jika hidupmu dipenuhi dengan misteri? Sama seperti Riana Maudy yang berhari-hari kebingungan karena mendapat notes aneh, dan itu kerap terjadi semenjak bertemu dengan pria menyebalkan. Sudah berapa notes yang dia temukan? Riana pun malas...