35. Bioskop Gratis

32 6 0
                                    

Biasanya, Leon akan berangkat ke sekolah lima belas menit sebelum bel berbunyi atau mepet-mepet sebelum gerbang ditutup. Kali ini, dia sudah duduk santai di kursinya. Dia datang lebih pagi daripada biasanya.

Punggungnya dia sandarkan ke sandaran kursi, pandangannya kosong lurus ke depan. Meskipun Leon berada di kelas, pikirannya menerawang ke sana-sini memikirkan kejadian yang sebelumnya dia lihat.

"Lo itu murahan! Masih aja deketin Leon!"

"Jangan sok cantik! Belagu banget jadi orang!"

"Riana bukan seperti yang kalian bilang!"

Semua kalimat itu masih terngiang-ngiang di telinga Leon. Makian Eliza dan Yuqi kepada Riana terus membuatnya tidak tenang. Dia tahu kabar Eliza yang membuat Riana terjatuh, dia juga tahu Eliza melabrak Riana di koridor tadi.

Ketika melihat Riana menangis tadi, dia sangat ingin mendekat dan mengelus rambut panjangnya sambil mengucapkan kalimat "Berhenti nangis."

Leon rasa ada yang tidak beres dengan Riana, sudah satu minggu dia menghindarinya. Aneh. Semalaman dia memikirkan jawabannya, namun otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih.

Tangannya mengepal kuat, dia sangat marah dengan Eliza. Leon masih ingat ketika Eliza menyatakan perasannya pada Leon saat masih kelas sepuluh. Jelas saja, dia menolaknya karena saat itu Leon sedang menjalin hubungan dengan Anin--yang tidak diketahui banyak orang.

Pintu terbuka. Samar-samar Leon mendengar suara seperti seseorang sedang bersenandung ria. Satu langkah masuk ke kelas, Leon memalingkan pandangan ke arah lain.

"Pagi, Abang Gara!" sapa Zio dan Arion sok imut. Mereka segera mendekat ke arah Leon sehingga Zio dapat dengan mudah merangkul pundak Leon.

Arion duduk di kursinya yang berada di sebelah meja Leon. Dia menarik kursinya agar bisa lebih dekat dengan Zio. "Masih pagi udah kusut aja itu muka," sinisnya.

"Tumben datang pagi. Biasanya lo mepet-mepet minta lewat pas gerbang mau ditutup!" Zio menumpangkan kaki kanannya ke kaki kiri, punggungnya dia sandarkan agar duduk lebih nyaman.

Arion mencebik pelan. "Udah tahu, deh siapa pelakunya." dia tertawa. "Riana, lah! Siapa lagi?" teman-teman Leon menyadari kalau akhir-akhir ini Leon dan Riana tidak saling bertegur sapa, alasan yang lebih jelasnya mereka tidak tahu kenapa.

"Sok tahu," ketus Leon tanpa menatap Arion. Dia tidak tahu perasaan apa yang hinggap dihatinya untuk Riana, selagi sikap Riana yang sekarang berbeda membuat hari-harinya membosankan.

"Apalagi katanya kemarin Riana diantar pulang sama itu, tuh. Si Alvaro, 11 IPA 3 yang sok ganteng gitu." Zio semakin menggoda Leon.

Leon hanya tersenyum sinis, dia mendecih pelan dan memalingkan wajah. Persetan dengan Alvaro!

Pikirannya sedang sibuk mencari cara agar dia bisa mengetahui penyebab perubahan sikap Riana terhadapnya. Ini sudah seminggu, bukan waktu yang sebentar kalau berkaitan dengan perasaan.

"Apa tanya Anin?"

Leon mengangguk-angguk yakin. Menurutnya itu jalan satu-satunya agar dia bisa segera tahu. Tidak mungkin kalau dia harus bertanya langsung pada Riana. Riana tidak akan menjawabnya. "Kayaknya pulang sekolah."

"Kenapa, sih, malah manggut-manggut sendiri?" tanya Zio gemas sendiri. "Lagi dengerin musik? Kok gue gak denger, ya?" dia mendekatkan telinganya ke arah Leon.

"Terserah, deh!"

Arion menatap Leon datar. "Kayaknya gue mau keluar sebentar." dia berdiri dan melangkah pergi.

RL's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang