29. Pengakuan

55 9 13
                                    

Menjaga perasaan orang lain dengan cara menjaga lisan membuat hidupmu tenang. Kamu tidak akan tergores pedangmu sendiri, sekalipun menggunakannya seperti kilatan petir.

~ Anindi Zulfana
.


.
.

Istirahat pertama dimanfaatkan Riana untuk mengisi perut ke kantin. Bukan hanya dia, tapi semua orang sepertinya memadati tempat tersebut. Wajar saja, dari pagi memikirkan banyak materi memang menguras tenaga.

Di kursi dekat pintu sudah ditempati oleh mereka, sudah keenakan menetap di sana jika berkunjung. Tadi, Nada sudah memesan empat porsi mie Ayam. Sekarang dia sudah kembali lagi mengobrol dengan tiga kawannya.

"Gue ke kamar mandi dulu." Anin berdiri sambil menyilangkan kakinya. "Jangan dimakan dulu, mienya!" dia segera berlari secepat mungkin tanpa memperdulikan orang-orang yang dia tabrak.

Ketika Anin sudah pergi, Anira dan Nada saling tatap lagi. Mereka sama-sama menganggukan kepala, kemudian menoleh sepenuhnya pada Riana. "Ri, gue sama Nada mau ambil handphone dulu ke kelas. Ketinggalan," ucap Anira tenang.

Nada hanya ikut mengangguk, dia berdiri berbarengan dengan Anira. Sebelum bergegas pergi, dia mengikat rambutnya terlebih dahulu. Mungkin, agar tidak ribet ketika memakan mie Ayam.

"Kenapa gak sendirian? Nada bisa nitip sama kamu." Riana mendongak menatap mereka. "Kalau mau berdua gak apa-apa juga. Asal jangan lama."

Anira dan Nada tersenyum bahagia, mereka  menyimpan tangan kanannya di ujung alis seperti orang sedang hormat. "Siap, Ria cantik!" ujar mereka berbarengan.

Mereka ngacir keluar kantin, meninggalkan Riana yang sekarang sedang memainkan ponselnya. Riana bermain game dulu sambil menunggu teman-temannya kembali.

Di perjalanan menuju kelas, Anira dan Nada diam-diam membuntuti Anin. Sebenarnya, mereka tidak benar-benar ingin membawa ponsel yang ketinggalan di kelas. Mereka hanya penasaran dengan beberapa hal tentang Anin.

Kamar mandi berada di ujung koridor dekat gudang. Anin memang berjalan ke arah sana, sehingga mudah untuk Anira dan Nada bersembunyi. Tempatnya lumayan sepi, karena kebanyakan siswa berada di kantin Sekolah.

Anin berjalan tiga meter di depan Anira dan Nada. Mereka terus memperhatikan Anin dengan langkahnya yang pelan. Mereka takut ketahuan Anin, mungkin.

Merasa ada yang mengikuti, Anin berhenti sejenak membuat Anira dan Nada melotot kaget. Nada menarik Anira untuk masuk ke ruangan kelas X IPA 3. Mereka bernapas lega karena setelag Anin berbalik, dia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertuda.

Dia membuka pintu kamar mandi, lalu masuk dan menguncinya. Anira dan Nada menyandarkan punggung ke tembok sambil menunggu Anin keluar. Tidak ada yang bersuara, hanya terdengar suara aliran air dari kran.

Enam menit kemudian, Anin keluar dari kamar mandi. Dia terkejut karena Anira dan Nada sudah ada dihadapannya. Anin berdecak kesal sedikit menghentakkan kakinya. "Ngagetin!" teriaknya. "Mau ke kamar mandi juga? Mau boker?" candanya garing.

Nada mengumpat pelan, dia berkacak pinggang menatap Anin seperti mengintimidasi. "Langsung aja, deh." dia menepuk bahu Anira pelan, mungkin mengode untuk mewakili apa yang ingin Nada tanyakan.

Anira mengangguk mantap. "Lo ada hubungan apa sama Kak Leon?" tanyanya tiba-tiba. Pertanyaannya membuat Anin tertohok, situasi seperti ini belum pernah terpikirkan olehnya. "Jawab jujur!"

"Hubungan apaan, coba?!" Anin sedikit mendelik, malah balik bertanya. "Kalian gak jelas banget. Gue gak kenal sama Kak Leon, sebatas tahu nama doang," jawabnya mencoba meyakinkan.

RL's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang