13. Kenyataan Pahit

45 7 2
                                        



Lembayung lega sebab luka di keningnya sudah diobati, dan terlihat tidak begitu parah.

Untuk itulah, sebelum pulang ke rumah, Lembayung melepas plester obat itu. Ia tak mau Rosa ataupun Soni curiga padanya.

Melihat orang tuanya khawatir membuat Lembayung tidak enak hati.

Tangan Lembayung kini mulai meraih gagang pintu. Tapi, setelahnya ia mengurungkan niat sebab ia mendengar suara ayah dan ibunya yang membicarakan masalah, yang sepertinya serius.

Lembayung menggelengkan kepala. Tangannya meraih gagang pintu, dan membuka pintu itu sedikit saja. Ia tak mau menganggu pembicaraan kedua orang tuanya.

"Harus berapa kali aku bilang sama kamu, Son, Bayung nggak mau kamu malak orang lagi!", teriak Rosa nampak mendorong tubuh Soni.

"Jadi aku harus bagaimana lagi, Ros? Aku nggak ada pilihan lain! Aku harus bisa mencukupi kebutuhanku sendiri, aku tidak bisa menikmati uang Lembayung. Aku ini ayahnya, aku tidak mau mengambil hak anakku." Soni berusaha memberi pemahaman pada Rosa.

Terlihat Rosa terduduk di sofa lalu mengusap wajahnya dengan gerakan frustasi. "Iya, aku mengerti apa maksudmu. Tapi, Lembayung akan merasa lebih hancur ketika dia tau ayahnya memalak orang lain lagi. Dia mati-matian bekerja supaya kita terhindar dari pekerjaan tidak benar. Kamu tega mau menghancurkan usahanya?"

Soni menatap Rosa dalam, setelahnya ia duduk di sofa bersama perempuan itu. "Aku mana tega menghancurkan usahanya? Aku menyayanginya seperti anakku sendiri."

Tubuh Lembayung mematung di depan pintu rumah.

Menyayangi seperti anak.sendiri?

Rosa terdiam mendengarkan Soni.

"15 tahun lalu, saat setelah aku melihat Lembayung, dan kamu menggendongnya, aku langsung sangat menyayanginya. Ditambah lagi, Lembayung kala itu tidak memiliki sosok seorang ayah, dan aku tidak akan biarkan kamu membesarkan dia seorang diri. Kita sudah sahabat sejak kita masih kecil, Rosa. Susah senang aku akan terus membantu kamu."

Air mata Lembayung luruh begitu saja. Tangannya dengan cepat membuka pintu rumah, lalu masuk ke dalam.

"Lembayung?", gumam Rosa dan Soni bersamaan.

Dengan napas tertahan, Lembayung mendekati orang tuanya. "Jadi...Bayung bukan anak ayah?"

Soni segera mendekati Lembayung. "Jangan bilang seperti itu, nak! Kamu tetap anak ayah," kata Soni.

Kepala Lembayung menggeleng. "Tapi Bayung bukan anak kandung ayah." Matanya yang basah karena air mata lalu menatap Soni. "Pantas aja selama ini ayah nggak pernah tinggal disini, ayah selalu tinggal di rumah ayah yang lain. Alasannya, karena rumah ini jauh dari tempat kerja ayah dulu sebelum ayah mengaku jadi kuli panggul di pasar. Tapi kenyataannya ayah bekerja memalaki orang lain."

Lembayung menatap kedua orang tuanya secara bergantian. "Jadi, Lembayung ditipu selama ini? Iya?"

Kini Rosa yang menghampiri Lembayung. "Tidak, nak. Ayah sama ibu tidak ada niat menipu kamu." Rosa mengusap kepala Lembayung. "Ibu berencana memberitahu kamu, tapi disaat yang tepat, disaat kamu sudah cukup dewasa untuk memahami situasi ini."

Rosa menatap Soni. "Meskipun ayah Soni bukan ayah kandungmu, tapi dia menyayangi kamu lebih dari dirinya sendiri. Kamu tau, disaat kamu lahir, ayah Soni masih begitu muda untuk mengemban tanggung jawab. Di umur 20 tahun dia mau membantu ibu untuk membesarkan kamu. Dia berhenti kuliah, supaya fokus membiayai kamu dan ibu."

Lembayung tertegun mendengar penuturan Rosa.

"Bukan cuma itu, Bayung. Dia bahkan rela meninggalkan calon istrinya buat bantu sahabatnya, yaitu ibu, supaya bisa membesarkan kamu. Dia sudah menganggap ini sebagai saudaranya sendiri."

WonderloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang