3. Pensiunan Copet

81 8 4
                                    




Lembayung sama sekali tak bersemangat hari ini. Harusnya, ia sudah bergerak lincah dan mencari mangsa. Tapi sayangnya, setiap hendak bangkit berdiri, keinginannya untuk mencuri dompet milik orang lain makin minim saja.

"Hoy, napa lo?", tanya Kenny. Ia mengambil posisi duduk disebelah Lembayung yang nampak memperhatikan sekitar.

Kepala Lembayung menggeleng tak bersemangat. "Nggak papa."

Koko dan Aldo yang sejak tadi terdiam dibuat meringis sebab melihat luka memar di tubuh Lembayung.

"Ulah nyokap lo lagi?", tanya Koko dengan wajah prihatin.

Lembayung tertawa hambar. "Dia mukul karena gue yang mancing."

Baik Koko, Aldo, maupun Kenny tidak tahu apa yang dilakukan Rosa, ibu Lembayung. Yang mereka ketahui, Lembayung dipukuli karena gadis itu ketahuan sering mencuri. Padahal, itu bukanlah alasan sebenarnya mengapa Lembayung bisa sampai dipukuli Rosa.

Menghembuskan napas panjang, Aldo nampak mendongak menatap langit kota yang begitu mendung. "Gue sempat mikir, apa kalau gue ngelakuin ini, jadi pencopet, apa itu jadi sesuatu yang membahagiakan? Gue kadang juga mikir, di umur kayak sekarang gue itu harusnya belajar, dan ngumpul sama teman-teman. Bukan malah berakhir di jalan, dan jadi pencopet."

Lembayung, Kenny, dan Koko tahu, Aldo berasal dari keluarga yang tak jauh beda dengan mereka. Tapi dibandingkan dengan mereka bertiga, nasib Aldo jauh lebih beruntung. Ayah maupun ibunya memiliki pekerjaan, dan dapat penghasilan. Pekerjaan yang orang tua Aldo geluti pun pekerjaan yang baik. Bekerja menjadi seorang buruh pabrik. "Kalian juga tau sendiri, ayah sama ibu nggak tau kalau gue ini jadi tukang copet. Nggak kebayang deh kalau mereka sampai tau. Bisa hancur hati mereka, anaknya yang mereka didik buat jadi anak baik malah jadi tukang copet." Mata Aldo tiba-tiba saja berair. "Gue juga nggak mau jadi tukang copet. Tapi, gue nggak tau lagi mau kerja apaan, yang bisa dapat uang dalam waktu cepat. Apalagi, adek-adek gue sering minta uang buat keperluan sekolah. Nggak tega gue liat ayah sama ibu nyari uang buat memenuhi kebutuhan kami. Jadilah, gue terpaksa ambil jalan pintas."

Kenny dan Koko menepuk-nepuk pelan pundak Aldo, berusaha menenangkan pemuda itu.

"Kami tau apa yang lo rasain, kok. Kami mengerti, karena kita ada diposisi yang hampir sama." Koko menghela napas. "Orang tua lo nggak rela lo ngelakuin hal buruk, tapi lo harus bersyukur. Itu tandanya mereka emang peduli sama lo. Coba lo liat gue. Mereka bahkan maksa gue buat nyopet. Kebayang gimana perasaan gue? Sakit! Mereka yang seharusnya mengayomi gue, tapi mereka yang menjerumuskan gue."

Kenny dan Lembayung saling lirik. Rasa kasihan itu, menghampiri mereka.

Tapi, jika Lembayung boleh jujur, nasib teman-temannya bahkan bisa dikatakan lebih baik darinya. Jika teman-temannya tahu tentang kelakuan ayah dan ibunya, tentunya mereka akan sangat terkejut.

Dan sampai kapanpun, Lembayung tak akan memberi tahu hal itu pada teman-temannya.

Menghembuskan napas panjang, Lembayung menatap temannya satu persatu. "Kesimpulannya, masalah kita sama. Kita punya beban menjadi seorang copet. Jadi, gue memutuskan untuk nggak lagi jadi copet."

"HAH?! APA?!" Reaksi itu diberikan Kenny, Koko, dan Aldo .

Dengan wajah jengah, Lembayung meraup wajah temannya satu persatu. "Nggak usah lebay!"

"Yah gimana kagak lebay, Markonah! Lo buat keputusan dadakan banget," protes Aldo dengan wajah herannya.

"Yah, gimana lagi, gue mau pensiun aja, lah." Lembayung mengangkat kedua pundaknya acuh. Tapi jujur, setelah mengatakan keputusan itu kepada teman-temannya, Lembayung merasa sangat lega.

WonderloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang