53. Sebuah Kenyataan

41 7 11
                                        

Seorang perempuan dengan gaun yang cukup terbuka berjalan agak sempoyongan keluar dari salah satu tempat hiburan malam. Perempuan itu terus saja mengoceh, sembari menghitung berapa penghasilan yang ia dapatkan semalaman ini, pekerjaan 'memuaskan nafsu' para lelaki hidung belang di dalam sana.

Perempuan itu melirik ke arah anak laki-laki kecil berusia satu tahun. "Tega sekali orang tuamu meninggalkan kami di tempat terkutuk itu," kata perempuan itu.

Perempuan itu lalu menggendong anak laki-laki itu. "Sepertinya aku harus merawat kamu, tidak mungkin besarnya kamu akan bekerja sepertiku. Kamu nggak boleh jadi anak jahat. Mengerti?"

Ia sadar betul anak laki-laki yang kini berada dalam gendongannya itu belum sepenuhnya mengerti dengan ucapannya. Tapi, ia bisa lihat anak laki-laki itu tersenyum lebar mendengarkannya.

"Sekarang, mari kita pulang!"

Perempuan itu pun melangkah, membawa serta anak laki-laki itu, yang ia tidak tahu siapa orang tuanya.

Perempuan itu mengerutkan kening, kala ia melihat seseorang, dengan gelagat yang sangat mencurigakan. "Kamu jangan berisik, yah," kata perempuan itu pada anak lelaki yang ia gendong.

Ia perlahan mendekat. Benar dugaannya, anak muda itu memang sangat mencurigakan.

"Mau apa kamu?"

Anak muda yang memakai jaket dan penutup kepala itu berbalik dan nampak kaget mendapati perempuan dengan gaun terbuka itu memergoki perbuatannya.

Anak muda itu tidak menjawab, ia nampak begitu gelisah. Ia melirik takut ke arah gendongannya sendiri.

Seketika wajah perempuan bergaun terbuka itu terkejut. "Kamu mau buang anak kamu sendiri?!"

Anak muda itu membuka penutup kepalanya. Air matanya tak kuasa lagi ia bendung. "Aku tidak punya pilihan lain lagi. Anak ini...hasil pemerkosaan."

Hening.

Tak ada yang membuka suara untuk beberapa menit. Hingga perempuan bergaun itu akhirnya kembali buka suara. "Kamu nggak boleh buang anak kamu sendiri! Dia tidak bersalah!"

"Terus, kamu mau aku merawatnya? Bagaimana jika kedua orang tuaku mengetahuinya?"

"Apa ayah dari bayi ini tidak mau bertanggung jawab?"

"Tidak, dia lelaki brengsek! Dia memanfaatkan ketidakberdayaanku lalu melakukan hal hina itu kepadaku."

Napas perempuan itu memburu. "Tidak, kumohon jangan buang anak itu."

Wanita muda itu tertawa. "Kalau begitu, kamu rawat dan besarkanlah dia! Karena kalau tidak, sudah pasti anak ini akan berakhir mengenaskan ditanganku!"

Perempuan bergaun itu nampak berpikir keras. Ia mengetahui kebenaran soal anak tak berdosa itu, apakah ia akan mengabaikannya, dan membiarkan anak itu celaka di tangan ibu kandungnya sendiri?

Menarik napas panjang, ia akhirnya mengatakan keputusan yang merubah kehidupannya kala itu. "Baik, kemarikan anakmu! Aku yang akan membesarkannya."

Perempuan itu melirik anak laki-laki yang sejak tadi digendongnya. Setelahnya ia menatap wanita muda dihadapannya itu. "Aku tau, kamu adalah orang kaya, penampilanmu cukup menegaskan itu. Kamu tau di dunia ini tidak ada yang gratis, maka jika aku bisa merawat anakmu ini, kamu juga harus bisa merawat anak laki-laki ini."

Wanita muda itu terlonjak. "Jadi, kamu menukar anakmu dengan anakku? Apakah...agar anakmu bisa hidup dengan nyaman dan tak kesusahan?"

"Anak ini bukan anakku. Aku menemukannya di tempat hiburan malam tempatku bekerja. Orang tuanya menelantarkan anak ini di tempat itu."

Wanita itu nampak mengangguk paham. "Baik, aku akan merawat anak ini, dan kamu merawat bayi ini."

Kedua perempuan itu akhirnya menyerahkan dua anak itu. Anak bayi dan juga anak laki-laki yang baru berusia satu tahun, kini berpindah asuhan.

"Aku sudah memenuhi keinginanmu. Kamu juga harus ingat satu hal, jangan pernah muncul di hadapanku, apalagi bersama bayi itu. Kalau tidak, aku tidak segan-segan melenyapkan bayi itu."


Rosa tak kuasa membendung air matanya kala kejadian kurang lebih 16 tahun lalu itu berputar bak kaset rusak dalam kepalanya.

"Kenapa...wanita itu kembali hadir di dekat anakku? Sudah pasti dia akan lenyapkan putriku. Aku tidak akan pernah ikhlas...."

Rosa memeluk erat selimut kecil yang ia miliki saat ia juga mengambil Lembayung menjadi anaknya. "Walau dia tak terlahir dari rahimku, tapi dia yang membuat hidupku jadi lebih baik." Rosa menghela napas. "Dia yang membuatku kembali pada keadaan yang benar."

Rosa yang masih menangis itu tidak sadar, saat pintu rumahnya sudah terbuka, menampilkan Lembayung dengan wajah pias. "Bu, ikut Lembayung sekarang!"


*****




"Lembayung, kenapa kamu bawa ibu kesini?", tanya Rosa pada anaknya itu. Tapi Lembayung mengabaikannya. Ia terus menggandeng tangan sang ibu melewati banyak ruang rawat.

Rosa memilih tak bertanya lagi. Ia bisa lihat, betapa mudahnya wajah anaknya itu. Apa lagi yang menimpa anaknya?

Kedua langkah kaki Lembayung terhenti, begitupun dengan Rosa.

Rosa menatap ke depan.

Jantung wanita itu seolah mencelos dari tempatnya.

Mengapa, orang-orang yang sama sekali tak ingin ia temui sudah berkumpul disana?

Ada Afno yang berbicara dengan Nia yang suasananya begitu tegang, terlihat dari wajah Nia yang memberi tatapan benci pada Afno, dan Soni juga ada disana, berusaha menenangkan Afno.

"Kenapa kamu bawa ibu kesini?", tanya Rosa dengan begitu pelan. Seolah-olah, ia takut suaranya membuat orang-orang itu sadar akan kehadirannya.

"Lembayung cuma mau tau soal kebenaran, Bu. Karena semakin lama kalian menyembunyikan segalanya, akan ada orang-orang yang akan tersiksa." Lembayung mengusap sudut matanya. "Contohnya...aku sama Mehregan."

Rosa dan Lembayung saling diam, tak menyadari tatapan semua orang yang disana beralih pada kedua orang itu.

"Lembayung?"

Lembayung mengangkat wajahnya, dan melihat Nia berjalan mendekat ke arahnya. Rosa yang sadar Nia mendekat langsung maju dan membiarkan Lembayung berada dihadapannya. "Jangan sentuh anakku!", kata Rosa dengan wajah tegas.

Tubuh Nia terasa membeku. "Dia anakku..., aku ingin memeluknya..." Nia berujar lirih berusaha meraih tangan Lembayung. Rosa langsung mendorong Nia hingga wanita itu terjatuh di lantai. Soni dan Afno buru-buru membantu Nia bangkit berdiri.

"Kamu ini apa-apaan, Ros?", tanya Afno dengan wajah tak habis pikir.

Rosa memberi tatapan tajam pada Afno. "Kakak tidak tau kebenarannya! Wanita ini, ingin membuang anak kandungnya sendiri, hampir 16 tahun yang lalu!"

Nia terkejut sebab Afno ternyata mengenal wanita yang bertemu dengannya hampir 16 tahun yang lalu.

Lembayung yang mendengar semua pembicaraan itu merasakan kakinya melemas. Ia jatuh terduduk di lantai, dengan pandangan kosong. "Jadi...Lembayung bukan anak kandung ibu?", lirih gadis itu, membuat Rosa kian merasa sedih. Ia membantu anaknya itu bangkit berdiri. "Tidak peduli kamu anak kandung ibu atau tidak, yang jelas ibu menyayangi kamu, nak."

Kini Afno yang terdiam dengan perasaan yang berkecamuk.

Jadi, Lembayung adalah anak kandungnya sendiri? Anaknya bersama Nia?





*****




Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Mehregan dan Lembayung

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

WonderloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang