52. Kilas Balik

43 7 4
                                        

Sesuai perintah Mehregan, Kenny, Aldo, dan Koko berencana mempertemukan Nia dan Afno. Setelah memperoleh nomor telepon Afno dari Lembayung, Koko langsung menghubungi Afno.

"Halo, pak Afno?"

Koko bisa mendengar suara di seberang sana. Sepertinya Afno heran karena dihubungi nomor tidak dikenal.

"Mohon maaf sebelumnya, pak! Saya Koko, suruhan adik ibu Nia, teman kerja Lembayung. Tujuan saya menghubungi pak Afno, ini soal Ibu Nia."

Koko tak bisa mendengar suara diseberang saat untuk beberapa menit, hingga suara Afno kembali terdengar, membuat tubuh Koko langsung menegak.

"Baik, pak. Kami akan membawa ibu Nia bertemu bapak, di tempat yang bapak tentukan."

Sambungan telepon itu berakhir. "Kita langsung ketemu Ibu Nia."

Ketiga pemuda itu pun akhirnya berlalu, bersiap menuju ke rumah Nia.

****

Lembayung terpaku memandangi tubuh Mehregan yang terkapar tidak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Pikirannya begitu kalut sekarang. Karena dia Mehregan dalam kondisi seperti itu.

Awalnya Lembayung linglung, tapi ia langsung teringat dan menghubungi Nia. Saat ini wanita itu pasti sudah menuju ke rumah sakit.

Lembayung mendekat dan memandangi Mehregan dari arah luar kamar rawat pemuda itu . Sakitnya sungguh luar biasa, apalagi alasan karena Mehregan kecelakaan adalah karena perbuatan Lembayung sendiri.

"Lembayung!"

Nia bersama ketiga temannya, Koko, Aldo, dan Kenny segera berjalan menghampirinya. Napas Nia terengah-engah. Matanya berkaca-kaca. "Kondisi Regan gimana?", tanyanya panik.

"Masih di rawat dokter, ibu bos," jawab Lembayung lirih.

Nia menitikkan air mata khawatir. "Gimana ceritanya dia bisa keserempet motor?", tanya Nia entah pada siapa.

Lembayung menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia jadi makin merasa bersalah. "Ini semua salah saya, Ibu bos. Gara-gara berantem sama Regan, dia sampai terserempet motor."

Nia mengerutkan kening . "Berantem?", tanya Nia.

"Iya, tadi saya berantem sama Regan. Saya marah, terus karena kelewat emosi saya ngedorong Regan, dan dia keserempet motor. Maafin saya, ibu bos."

"Kalian berantem karena apa, sih? Regan gangguin lo lagi? Atau dia bikin salah sampai lo marah?", tanya Nia.

Lembayung terlonjak. Alasan ia dan Mehregan bertengkar, tak lain dan tak bukan karena pemuda itu menyatakan perasaan padanya, yang jujur saja tak Lembayung ketahui apakah pemuda itu memang menyukainya, atau hanya karena merasa kasihan bahkan hutang budi.

Kriet

Suara pintu ruang rawat itu berderit. Sosok dokter yang merawat Mehregan sudah melangkah keluar dari sana. Nia perlahan bangkit dan mendekat. "Dokter, bagaimana keadaan adik saya?"

"Alhamdulillah, pasien tidak mengalami luka yang parah. Beberapa bagian tubuhnya mengalami lecet, tapi jika di rawat dengan baik insya Allah penyembuhannya akan menjadi lebih cepat."

Nia dan Lembayung mengucapkan syukur kala itu.

"Apa adik saya sudah boleh saya besuk?", tanya Nia kemudian.

"Boleh, Bu. Silahkan!"

"Terima kasih, dokter."

"Sama-sama."

Dokter pun pamit sebab ingin mengurus pasien lainnya, dan Nia sudah masuk ke dalam ruang rawat dengan langkah tidak sabar.

"Tuh kan, lo bisanya bikin gue khawatir aja! Makanya, jadi orang jangan suka bikin emosi, kan lo dapat balasannya!", omel Nia dengan mata berkaca-kaca.

Mehregan tertawa pelan melihat Nia yang mengomel. "Udah lah, mbak. Gue nggak papa. Buktinya gue masih nginjak bumi, gue belum mati, kok."

Suara lirih Mehregan berhasil membuat Nia mendekat, dan menabok mulut adiknya itu. "Gue khawatir sama lo tau nggak?! Ini lo malah ngomong kayak gitu!"

"Astaga, mbak, gue masih sakit gini aja masih sempat lo aniaya," gumam Mehregan seraya meringis pelan, mengusap pelan mulutnya yang tadi ditabok oleh Nia.

"Mbak, gue boleh ketemu Lembayung, nggak?"

****




Mehregan nampak berjalan santai menyusuri tiap rumahnya. Sekarang, ia berada di rumah orang tuanya, membawa serta Nia bersamanya.

Alasannya, tidak lain dan tidak bukan karena kejadian saat Nia dan Rosa bertemu malam itu. Mehregan yang khawatir karena tiba-tiba Nia yang histeris langsung membawa Nia pulang ke rumah orang tua mereka. Membiarkan Nia seorang diri sama saja membiarkan kakaknya berada dalam bahaya, apalagi tak ada yang mengawasi .

"Kamu ini kenapa sih, nak?"

Langkah Mehregan terhenti kala ia mendengar suara Naya, ibunya, tengah berbicara kepada Nia yang kala itu masih menangis.

"Nia....sudah ketemu dia, Ma, Pa...."

Dahi Mehregan berkerut. Apakah yang Nia maksud adalah...Rosa? Tapi kenapa?

"Dia siapa, nak? Lelaki yang menyakiti kamu itu?", tanya Mahendra dengan intonasi nada yang mulai meninggi.

Mehregan akhirnya memutuskan untuk mengintip diluar kamar. Ia bisa melihat Nia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Hingga perempuan itu akhirnya menjawab pertanyaan Mahendra. "Bukan, Pa. Aku ketemu sama perempuan, yang hampir 16 tahun lalu, perempuan yang mau menerima anakku, dia adalah orang dimana anakku kutitipkan."

Tangis Nia pecah, bersamaan dengan raut wajah Naya dan Mahendra yang sudah menampakkan raut terkejut. Mehregan yang mendengar semua itu langsung merosot dan terduduk di depan dinding kamar.

"Siapa wanita itu, nak? Bagaimana kamu bisa bertemu dengannya kembali, setelah hampir 16 tahun?" Naya bertanya dengan nada mendesak. Ia ingin tahu bagaimana keadaan cucunya sekarang.

"Wanita itu...adalah ibu dari salah satu pekerja di rumah Nia, Ma. Mama masih ingat Lembayung, 'kan? Anak perempuan yang hampir mencopet mama, dan mama bebasin dia dari kantor polisi? Perempuan itu adalah ibu Lembayung."

Mehregan tak bisa lagi berada lebih lama disana. Pemuda itu memutuskan bangkit, dan berjalan ke kamarnya. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

"Jadi...Ibu Rosa tau soal keponakan gue?", lirih Mehregan dengan wajah pias.

Lembayung merasa begitu tak menyangka, garis takdir dan pertemuan mereka akan jadi seperti ini. Bahkan sebelum bertemu, garis takdir mereka sudah lebih dulu terlentang.

"Jadi..Ibu gue tau soal keponakan lo, anak ibu bos?", tanya Lembayung dengan suara bergetar, gadis itu hampir saja menangis, tapi ia tahan.

Mehregan mengangguk pelan, mengiyakan ucapan gadis itu. "Iya. Kami memang sudah beberapa waktu ini nyari informasi soal keponakan gue itu. Tapi gue juga takut..."

"Takut kenapa?"

Mehregan menghela napas, memandang wajah Lembayung lekat-lekat. Tanpa diduga setetes air mata Mehregan jatuh saat itu. "Gue takut, keponakan gue itu...cewek yang gue cintai, cewek yang duduk dan ngomong sama gue sekarang..." Mehregan tidak sanggup meneruskan perkataannya , ia memalingkan wajah, membuat Lembayung tersentak.

Gadis itu langsung bangkit berdiri. "Nggak mungkin! Gue anak kandung ibu gue, gue bukan keponakan lo!" Lembayung berteriak marah, gadis itu berbalik badan dan berjalan keluar.

Saat berjalan keluar ia melihat Nia, kedua orang tua Mehregan, Koko, Kenny, dan Aldo. Mereka memanggil Lembayung, tapi gadis itu seolah tuli.

Dan...dari arah lain...sosok yang menjadi tersangka penghancur hidup Nia berjalan dengan wajah tegang, melewati Lembayung dengan pandangan fokus kedepan.

Afno.



*****



Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Mehregan dan Lembayung

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

WonderloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang