chapter 22: kebohongan

119 15 0
                                    

Happy reading...

"Habis ini mau kemana lagi?" tanya Revan kepada Marsya yang tengah sibuk memakan es krim coklatnya. Setelah selesai menonton bioskop, Revan dan Marsya pergi berjalan-jalan keliling mall.

Revan melihat dari berbagai sisi wajah Marsya yang terlihat cantik dan memikat. Kulitnya putih bersih, sama seperti Aletha. Hidungnya, alisnya, dan tatapan matanya membuat terlihat tenang.

Revan sempat mengerjapkan matanya beberapa kali karena tak bisa melupakan Aletha. Bayangan Aletha selalu muncul di pikirannya beberapa kali. Sepertinya Revan memilih pilihan yang salah. Tak seharusnya Revan mencari pengganti yang mirip seperti Aletha.

Mencari pengganti yang mirip seperti Aletha akan membuatnya selalu mengingat Aletha. Revan merasa Aletha selalu ada di pikirannya.

"Ke toko baju yuk Kak, aku mau liat-liat baju di sana," tunjuk Marsya kearah toko baju.

Revan mengangguk dan Marsya langsung tersenyum puas ketika Revan menyetujuinya. Sepertinya tidak keseluruhan bahwa Marsya sama dengan Aletha. Buktinya, Marsya lebih memilih pergi ke toko baju daripada pergi ke gramedia.

"Kakak suka baju warna apa? Yang ini atau yang ini?" tanya Marsya ketika sudah sampai di dalam toko baju. Gadis itu menunjukan dress yang panjangnya selutut berwarna birusoft dan berwarna peach.

"Yang ini." Revan memilih baju berwarna peach yang ada di tangan kanan Marsya.

Marsya mengangguk. "Aku juga senengnya sama warna ini sih." Diambilah dress berwarna peach tersebut lalu Marsya memasukan dress tersebut ke dalam tas belanjaan.

Lalu gadis itu pergi ke tempat lain untuk memilih pakaian yang lain. Revan mendengus sebal, pasalnya ia merasa bosan menemani Marsya yang sedari tadi bingung menentukan pilihan soal pakaian.

Sejujurnya Revan sudah lama tak merasakan hal ini, menemani perempuan berbelanja pakaian. Terakhir kali Revan menemani Rena pada saat itu membeli pakaian, setelah itu Revan sudah lama tak merasakannya lagi. Dan sekarang ia merasakan kembali ketika bersama Marsya.

Sekitar satu jam Revan dan Marsya menghabiskan waktu di toko baju. Revan dan Marsya langsung keluar dari toko baju setelah membayar pesanan.

"Mau ke timezone ga?" tanya Revan ketika langkah mereka berhenti tepat di depan permainan yang biasa ada di mall.

Marsya menggeleng. "Buat apa mainan kayak gitu Kak? Kayak anak kecil tau ga?"

Revan mendengus. Bila saat ini yang ada di samping Revan adalah Aletha, mungkin Aletha sudah menyetujuinya dengan antusias. Tapi Marsya bukanlah Aletha sepenuhnya.

"Terus mau kemana lagi?" tanya Revan.

"Ke cafe coffee yuk Kak!" Ajak Marsya.

Revan mengangguk. Mereka pergi ke cafe coffee yang ada di dalam mall tersebut. Mereka memesan dua cappucino. Soal selera coffee, Marsya tak jauh berbeda dengan Aletha. Ia sama-sama menyukai cappucino.

"Kak aku mau nanya deh," ucap Marsya dengan nada serius.

Revan menaikan sebelah alisnya. "Nanya apa?"

"Kakak suka beneran sama aku ga sih?"
Revan mengangguk. "Iyalah, kalo ga suka ngapain aku ajak kamu jalan dan jadiin kamu pacar."

"Tapi kok kayaknya selama ini kakak kurang perhatian sama aku. Bahkan Kakak ga pernah tuh meluk aku depan umum."

Revan membelakakan matanya. "Harus banget ya pacaran itu identik dengan pelukan?"

"Engga sih Kak." Marsya menggantungkan ucapannya. "Kakak itu cuek, aku pikir Kakak bakalan perhatian sebagaimana Kakak ketika bareng sama Kak Aletha."

"Aku iri sama Kak Aletha karena selalu bareng sama Kakak," lanjut Marsya sedangkan Revan menghela napasnya.

"Aku kasih Kakak pilihan," ucapan Marsya kali ini terdengar sangat serius. Marsya menatap mata Revan dengan tatapan dalam. Sedangkan Revan bersiap untuk mendengarkan ucapan Marsya selanjutnya.

"Apa?"

"Kakak pilih aku atau Kak Aletha?"

✨✨✨


Aletha berjalan menuju taman seorang diri. Semilir angin sore menerpa rambut Aletha yang di kucir kuda. Dedaunan kering berwarna kuning berjatuhan bersama dengan angin.

Bahkan matahari sudah hampir berada si garis cakrawala, dan mulai menyisihkan jingga di langit senja.

Arsen, cowok itu sudah duduk di kursi panjang yang ada di taman tersebut. Taman yang dulu sering Aletha dan Revan kunjungi sebenarnya. Aletha tak mengerti mengapa Arsen mengajaknya untuk bertemu di taman. Padahal apa susahnya sih kalau ketemuan di depan rumah?

"Hai," sapa Aletha dan duduk di samping Arsen. "Kenapa ngajak ketemuan? Kenapa ga ketemuan di depan rumaha aja?"

Arsen menoleh sebari tersenyum. "Hai juga, aku cuma mau ngomong empat mata sama kamu tanpa ada orang ketiga yang tau."

"Orang ketiga?" Aletha menaikan sebelah alisnya.

"Revan," ucap Arsen.

Aletha tersenyum miring. "Hehehe, emangnya kamu mau bilang apa?"

Arsen menyodorkan selembar foto. Foto tersebut bergambar Revan sedang berada di sebuah club. Aletha sempat tak percaya dengan hal itu. "Ini Revan?" tanya Aletha sebari menoleh kepada Arsen. "Kok dia bisa ada disitu?"

Arsen tersenyum miring. "Selama ini kamu merubah dia sia-sia, Tha." Arsen menggantungkan ucapannya. "Aku tau dari temenku, kalau Revan pergi ke club tadi malam sama temennya tanpa sepengetahuan kamu."

"Kamu pikir Revan udah sepenuhnya berubah? Nggak Tha. Itu semua cuma omong kosong. Bahkan Revan mabuk tadi malam," jelas Arsen berbohong.

Aletha langsung terdiam dan menunduk. Ia tidak menyangka kalau Revan akan kembali berubah seperti dulu lagi.

"Jadi buat apa kalau kamu terus mikirin dia? Dia aja ga pernah mikirin kamu yang udah perjuang buat dia berubah. Aku tau kamu dulu sayang banget sama dia kan? Dan mau di berubah menjadi lebih baik," lanjut Arsen. "Tapi semuanya cuma omong kosong. Kamu cuma buang-buang waktu deket sama dia. Dia itu cowok brengsek! Itu yang harus kamu tau."

"Kamu tau darimana kalau Revan dulunya cowok brengsek?" Aletha menaikan sebelah alisnya. Pasalnya Aletha tak pernah menceritakan hal apapun kepada Arsen tentang Revan yang dahulu.

Arsen terbelakak dan terlihat gugup ketika ditanya itu. Namun beberapa detik ia kembali menjawab. "Aku tau dari temen-temenku." Arsen tersenyum samar. "Aku mau kamu jauhin dia, Tha. Hubungan kamu sama dia yang status sahabat hanya buang-buang waktu."

Arsen menatap pupil mata Aletha dengan lekat. Tatapan mereka saling bertemu. Arsen menempelkan kedua telapak tangannya di pipi gadis itu. "Jauhin Revan, dan kamu fokus sama aku. Aku yang saat ini yang akan jagain kamu. Bukan Revan lagi."

RevaletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang