Jangan lupa dengerin lagunya yang ada di mulmed (diatas semua foto itu👆) okeee😉
Lagu Bumi dan Bulan-Hivi
Selamat menangis:)
Aletha tersadar dan bangun dari tidurnya ketika ia merasa seseorang sedari tadi tengah mengusap puncak kepalanya.
"Papa? Sejak kapan Papa pulang?" Aletha langsung mengubah posisinya menjadi duduk meski sedikit kesusahan.
Adit menatap Aletha dengan tatapan sendu. Pria paruh baya itu tersenyum samar dan terlihat sedikit sedih, entah apa yang sebenarnya terjadi.
"Papa baru aja sampe. Maafin Papa ya karna Papa baru datang hari ini setelah kamu siuman. Maafin Papa juga karna ga bisa jagain kamu. Maafin Papa, Nak. Ngeliat kamu begini Papa bener-bener ngerasa bersalah." Tatapan Adit menunduk.
Aletha meraih telapak tangan Adit, lalu mengusap punggung tangannya seraya tersenyum samar. "Bukan salah Papa, Papa ga salah kok. Ini emang udah takdir aku. Papa jangan nyalahin diri Papa gitu."
Adit langsung memeluk Aletha dan Aletha pun membalas pelukannya. "Papa kangen senyuman Aletha yang ceria kayak dulu. Papa kangen kita semua kumpul bareng."
"Aletha juga kangen sama Papa. Tapi Papa tenang aja, selama Papa ga ada, Revan selalu temenin aku kok, Pah." Balas Aletha.
Adit yang semula mengusap punggung tubuh Aletha, kian langsung menghentikannya dan menatap Aletha yang baru saja terlihat bahagia.
"Kenapa Pah?" Aletha terlihat heran ketika wajah Adit berubah 180 derajat. Yang semula terlihat bahagia, langsung berubah menjadi tatapan sendu.
"Sebelumnya maafin Papa, kamu seharusnya ga dengar berita ini dulu karna masih sakit. Tapi Papa mau bilang sama kamu kalau... Revan malam ini akan pergi ke luar negeri menyusul temannya di Jerman, Nak." ucap Adit.
Deg.
Seperti ada sambaran petir. Entah mengapa mendengar pernyataan itu Aletha langsung diam mematung, tak berkutik, bahkan tatapannya pun langsung kosong, bibirnya kelu.
"Ke luar ne-negri? Papah pasti bohong 'kan? Ga mungkin banget Pah kalo Revan pergi ninggalin aku lagi. Ga mungkin!" Teriak Aletha dengan suara yang bergetar. "Revan udah janji sama aku ga mungkin dua pergi ninggalin aku! Hiks...." Aletha menutup wajahnya seraya terisak.
"Aletha tenang dulu. Kamu jangan egois gini. Revan pergi ke Jerman untuk kuliah di sana dan menggapai impiannya. Kamu ga boleh melarang dia seperti ini." Lanjut Adit.
Aletha masih terisak. "Kenapa sih Pah semua orang pergi ninggalin aku? Kenapa semua orang perlahan hilang, ninggalin aku sendirian dalam kondisi paling rapuh? Kenapa mereka memilih pergi ketibang menetap? Kenapa? Kenapa Pah? Hiks..." Aletha menghapus air matanya. "Kalau Revan pergi, Bang Gio ninggalin aku karna udah berkeluarga, siapa yang bakal jadi temen aku dirumah?"
Adit sudah mencoba menenangkan, namun nyatanya nol besar, itu tidak berefek pada Aletha karna gadis itu terlalu keras kepala.
"Nak, semua orang akan pergi pada waktunya. Cepat atau lambat kita harus siap." Namun perkataan itu tak di ubris.
Aletha mempunyai sifat lumayan sangat nekat, kali ini ia melepas infusan yang terpasang punggung tangannya dengan kasar. Darah mengalir dari punggung tangannya karena infusannya baru saja dicabut.
Aletha turun dari ranjang dan berlari keluar ruangan. Adit menahannya namun pria paruh baya itu gagal.
"ALETHA! KAMU BELUM SEMBUH NAK!"
Tidak ada yang lebih penting ketibang dirinya. Aletha sama sekali tidak mementingkan dirinya saat ini. Yang terpenting pada saat ini adalah Aletha harus segera bertemu Revan di bandara. Aletha tak mau ia terlambat, Aletha harus bisa menyapa cowok itu.
Meski yang terakhir kalinya.
Aletha menaiki taksi yang lewat di depan rumah sakit ia dirawat. Aletha memberi tahu alamatnya kepada supir taksi. Lalu setelah itu, supir taksi itu pun melajukan kendaraannya.
"Cepet ya, Pak!" Ucap Aletha. Supir taksi itu pun mengangguk dan menambah kecepatan kendaraannya.
Sepanjang perjalanan entah Aletha harus bagaimana. Ia tidak sedang membawa ponsel saat ini, Aletha benar-benar tidak terpikir untuk membawa benda pipih itu. Ia benar-benar merasa panik, takut semuanya benar-benar terlambat.
Untung saja Jakarta tidak sedang macet pada malam itu, Aletha bisa cepat-cepat segera menuju bandara dan menemui Revan.
Setelah sampai di dekat lokasi, Aletha langsung turun dan mencari keberadaan Revan.
Banyak orang ramai berlalu-lalang, Aletha belum menemukan sosok yang dicarinya. Ia pergi kesana kemari, entah tujuan kemana. Air matanya berderai membasahi pipinya.
"Revan!" Teriaknya, namun tak ada seorang pun yang menghiraukan keberadaannya.
Akhirnya Aletha berlari menuju kursi yang selalu berjejer dan berbaris rapi didalam bandara itu untuk menunggu pesawat siap, namun sesampainya disana Aletha tidak menemukan keberadaan Revan.
"Revan please! Kasih gue kesempatan untuk terakhir kalinya... hiks." Aletha terisak, kini posisinya tengah ada di bagian crub, dimana tempat ini biasanya dijadikan semua orang untuk tempat datang dan pulangnya dari bandara.
Aletha berjongkok menyesali atas takdir yang menimpanya. Baru tadi pagi Revan bersamanya dan malam ini ia mendadak hilang seolah Aletha benar-benar tak siap untuk kehilangan Revan.
Mungkin ini adalah alasan mengapa Revan tak mau mengatakan hal yang sebenarnya tentang kuliahnya. Tapi kenapa? Kenapa Revan tak jujur saja? Menyembunyikan hal seperti ini dari Aletha membuat Aletha menyalahkan dirinya sendiri.
"Aletha," panggil seseorang.
Aletha merasa dirinya terpanggil. Ia langsung mendongkrak ketika mengenal sebuah suara panggilan tersebut.
"Revan!" Tanpa menunggu aba-aba, gadis itu langsung memeluk Revan dan tangannya mengitari sepanjang lehernya. "Revan please jangan pergi! Gue ga mau lo pergi!" Aletha terisak dalam pelukan cowok itu.
Revan membalas pelukan tubuh Aletha. Pelukan hangat itu sangat Revan rindukan. "Aletha, lo belum sembuh, lo masih butuh istirahat."
Aletha melepaskan pelukannya dan mendorong Revan agak menjauh. Air matanya tak bisa dibendung, aletha terus menangis. Rasa sesaknya menjalar ke seluruh tubuh ketika seorang yang selalu ada di hidupnya sebentar lagi akan meninggalkan dirinya.
"Lo mau kemana, Van? Lo tega ninggalin gue? Gue ga mau lo pergi. Gue ga mau sendiri!"
"Aletha dengerin gue dulu..." Revan mendekatkan tubuhnya. "Gue harus pergi, gue nggak bisa selalu bareng sama lo. Lo inget ga? Dulu lo pernah bilang kalau lo rela gue pergi ke luar negeri. Dan sekarang, omongan lo akan menjadi kenyataan."
Aletha memutar ingatannya pada saat itu. Pada waktu itu, Revan dan Aletha tengah bermain di timezone dan sempat bercanda dan tak disangka bercandanya akan menjadi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revalet
Teen Fiction[COMPLETED] [LENGKAP] Sequel Boy Bestfriend [Bisa dibaca lebih dulu] jadi kalian ga perlu baca cerita pertamanya karna akan tetap nyambung. "Sahabatan sama mantan? Kenapa nggak?" tanya Revan. "Udah jadi mantan bukan berarti ga boleh temenan 'kan?" ...