Happy reading...
Setelah selesai mengajari Aletha pelajaran Kimia, juga Aletha yang sudah selesai mengajari Arsen pelajaran Matematika. Arsen berpamitan kepada Tania untuk pulang.
Setelah berpamitan Aletha mengantarkan Arsen ke depan rumahnya dan memastikan pemuda itu sudah sampai di depan rumahnya.
Arsen memasuki mobil dan mobilnya kemudian melesat meninggalkan pekarangan rumah Aletha. Dan mobilnya itu terparkir di rumah Arsen.
Aletha kembali memasuki rumahnya. Di sana masih ada Revan yang tengah memakan kue buatannya dari kulkas. Aletha mendengus ke arah Revan lalu duduk di samping cowok itu.
"Lo ganggu aja sih? Segala dateng ke rumah. Bikin gue sama Arsen jadi canggung tau ga?" Omel Aletha.
Revan berdecak. "Ck! Lagian kenapa sih lo segala ngadain tutor? Lo udah pinter ga usah sok minta di ajarin Arsen. Lagian lo itu cuma mau modus sama dia 'kan? Supaya bisa deket sama dia iya 'kan?"
Aletha langsung menutup mulut Revan dengan telapak tangannya. "Lo ngomongnya jangan kenceng-kenceng, nanti ketauan Mama, bisa-bisa Mama ga ngizinin Arsen ke rumah lagi."
"Biarin--"
"Lo mau gue bilang ke Bibi lo? kalo lo yang udah nonjok Arsen?" Ancam Aletha.
Revan menggeleng. "Jangan dong! Bisa berabe kalau Bibi tau gue habis berantem." Revan berhenti mengunyah kue dan kedua telapak tangan cowok itu menyatu, Revan memohon kepada Aletha untuk tidak mengatakan pada Tania.
"Makanya lo jangan coba-coba ngadu tentang gue sama Arsen ke Mama. Atau lo bakal tau akibatnya." Aletha menyenderkan punggungnya ke sofa. "Lagian lo udah punya pacar kenapa masih dateng ke rumah juga?"
Revan tersenyum miring. "Tapikan bukan berarti gue mutusin silaturahmi sama Mama lo 'kan? Yang ada nanti gue ga bisa makan kue buatan lo lagi dan malah kangen sama kue buatan lo."
Aletha menjitak kepala cowok itu. "Bilang aja kalau lo mau."
"Maulah, kue buatan lo itu enak dan kue terenak yang pernah gue makan."
"Kata-kata lo basi tau ga?"
"Tapi rasa kue lo ga pernah basi di lidah gue," celetuk Revan membuat Aletha mendadak ingin muntah.
"Udah ah gue mau belajar!" Aletha bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya.
Revan ikut membututi Aletha sampai ke dalam kamarnya. Aletha dan Revan memang sudah biasa dalam hal seperti ini. Bahkan Tania sudah mempercayai Revan kalau Revan bisa menjaga Aletha. Tania juga tidak keberatan kalau Revan dan Aletha berduaan di kamar. Tania percaya mereka tidak akan melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan sebelum waktunya.
Revan melihat-lihat bingkai foto yang entah sejak kapan Aletha pasang di kamarnya. Karna Revan baru pertama kali melihat bingkai yang berisikan foto dirinya dan Aletha berdua.
"Sejak kapan lo pasang foto gue sama lo disini?" tanya Revan ke arah Aletha yang tengah sibuk dengan laptopnya.
"Ga lama, seminggu yang lalu."
Revan mengangguk lalu meletakan kembali bingkai foto pada tempatnya. Selanjutnya Revan melihat ke arah meja belajar Aletha.Dan tak sengaja Revan melihat selembaran kertas di sana yang baginya sudah tak asing melihatnya.
Sebuah selembaran kertas berisikan info tentang beasiswa kedokteran di Inggris. Revan sempat tak percaya, apakah Aletha akan ikut beasiswa kuliah di Inggris?Revan menghampiri Aletha yang duduk di kasurnya, Revan menyodorkan kertas tersebut di hadapan Aletha. "Lo mau ikut beasiswa ini?"
Aletha mengangguk. "Kenapa? Lo takut pisah sama gue?"
"Tapi Tha, saingannya berat-berat loh. Apalagi banyak yang pinter dari jurusan IPA."
"Gue nggak pernah ngerasa tersaingi. Gimana pun caranya gue harus dapetin beasiswa itu, Van. Itu adalah salah satu impian gue selama ini."
Revan menghela napasnya. Aletha bukanlah gadis main-main kalau sudah menyangkut cita-citanya, pasti gadis itu akan berusaha meraih cita-cita yang selama ini ia impikan.
"Lo sendiri mau rencana kuliah di mana setelah lulus sekolah nanti?" tanya Aletha.
"Nggak tau, Tha. Mimpi gue masih abu-abu, belum ada warnanya."
Aletha menghela napasnya. "Sampe kapan lo bakalan bingung sama impian lo sendiri? Sedangkan kita udah mau lulus." Tatapan Aletha masih terfokus ke laptopnya, jari jemarinya mengetik dengan cepat.
"Lo lagi bikin cerita tentang kita ya?" Revan mendekatkan kepalanya ke arah Aletha dan melirik tulisan yang terpampang jelas di laptop.
Aletha memang suka menulis cerita-cerita fiksi di sebuah blog, bahkan Revan juga suka membacanya, hanya saja Aletha tidak mengetahuinya kalau Revan adalah salah satu pembacanya.
"Apaan sih lo!" Aletha berdecak. "Jangan geer deh."
Revan tampak menggoda. "Halah! Buktinya itu cerita sinopsisnya tentang persahabatan cewek-cowok, siapa lagi kalau bukan kita yang pernah ngalamin?" Revan melihat pipi Aletha memerah, Aletha pun segera menutup laptopnya.
"Iya-iya maaf, nanti kalo novel lo udah terbit, gue bakal pastiin kalau gue adalah orang pertama yang beli novel lo," lanjut Revan.
Aletha menoleh menatap cowok itu. "Emang lo suka baca?"
"Jangan salah... gini-gini juga gue suka baca ye!"
Revan merebahkan tubuhnya di kasur Aletha. "Gue ngedukung apapun kemauan lo kok, Tha. Gue seneng lo semangat wujudin cita-cita lo. Gue ga tau sampe kapan bisa terus ngeliat lo kayak gini." Revan menoleh dan mendapati Aletha yang diam menatap Revan berbicara. "Kalau seandainya lo sukses, gue ikut senang. Jangan nangis kalau gue ga ada."
Aletha menepuk paha Revan. "Apaan sih lo! Kok ngomongnya gitu?"
Sedangkan Revan hanya terkekeh kecil dan menatap langit-langit kamar Aletha yang bernuansa biru langit. Terlihat tenang dan mendukung untuk tidur.
"Gue ini sengangenin apa sih sampe bikin lo terinspirasi buat nulis cerita yang lo buat sekarang?" tanya Revan membuat Aletha malu.
"Lo baca cerita gue di blog?" Aletha melongo.
Revan bangkit, "Kan gue udah bilang sama lo, kalau gue baca cerita lo, bego!" Akhirnya Revan mengaku pernah membaca cerita Aletha.
"Ah gue malu! Ngapain sih lo baca segala." Aletha mengalihkan pandangannya sambil memeluk bantal kecil. "Gue ga sehebat penulis lain dan cerita gue ga sebagus mereka."
"Penulis hebat juga berawal mereka yang banyak belajar dan berusaha. Menurut gue tulisan lo udah bagus, cuma perlu di kembangin lagi aja."
"Semangat ya," lanjutnya.
Suasana malam semakin sunyi dan gelap. Aletha melirik ke samping kanannya dan melihat Revan sudah tertidur di sana. Lengan kanan cowok itu menutupi matanya, sedangkan tangan kirinya memegang selembaran info beasiswa milik Aletha.
Aletha tak tega membangunkan Revan dalam keadaan seperti ini. Alhasil Aletha menarik selimut pink miliknya, dan menyelimuti tubuh Revan sampai ke dada.
Setelah melihat Revan benar-benar tertidur pulas, Aletha melanjutkan mengetik ceritanya di laptop. Ia memilih duduk di sofa panjang dalam kamarnya. Perlahan ia membuka kembali laptopnya dan kembali mengetik cerita.Hingga tak sadar sudah tengah malam dan Aletha merasa matanya begitu terasa berat. Aletha bangkit dari duduknya ketika tubuhnya terasa pegal, ia merengangkan ototnya. Matanya sekilas tertuju pada Revan. Aletha menghampiri cowok itu yang tengah tertidur pulas, tanpa sadar senyuman terukir di bibir mungil milik Aletha.
"Lo cowok yang kuat, Van. Lo tetap tegar hidup meski orang tua lo udah ga ada." Aletha tersenyum. Ia merasa bersyukur bisa mengenal Revan. Meski ketika pertama kali mereka bertemu, Aletha selalu memasang wajah jutek sedangkan penpilan Revan terlihat badboy.
Aletha mengingat masa-masa itu, di mana mereka mulai saling mengenal satu sama lain. Dipikir-pikir lucu juga. Sampai akhirnya mereka jadian, lalu putus, nyambung lagi, jadian lagi, dan putus.
Sampai pada masanya mereka lelah, dan memilih untuk menjadi sahabat.
Aletha mengusap rambut cowok itu, sambil mengucapkan, "Selamat malam."
Aletha kembali berjalan menuju sofa di kamarnya. Akhirnya Aletha merebahkan tubuhnya di sofa dan perlahan mata itu tertutup hingga esok pagi.✨✨✨
Sehingga pagi pun datang. Semburat sinar cahaya di cakrawala mulai terlihat dan menyinari langit yang semakin lama semakin terang menderang."ALETHA! REVAN! Kalian masih tidur?" teriak Tania ketika melihat dua remaja itu tengah tertidur.
Revan tidur di kasur milik Aletha, sedangkan Aletha tidur di sofa miliknya."Kalian ngapain aja semalam? Revan juga kenapa kok tiba-tiba tidur di sini?" Tanya Tania kepada Revan.
Revan langsung terlonjak kaget ketika dirinya masih berada di ruangan kamar Aletha. Revan melihat selimut pink menyelimuti sebagian tubuhnya. Sontak Revan bangkit dari tidurnya dan langsung berdiri.
Aletha membuka matanya perlahan ketika mendengar suara teriakan Tania yang begitu menggelegar.
"Apaan sih Mah teriak-teriak." Aletha perlahan bangkit dari sofa."Kalian semalam ga ngapa-ngapain 'kan?" tanya Tania membuat Aletha menaikan sebelah alisnya.
"Mama ada-ada aja. Semalem Revan ketiduran di kasur aku, bikin aku ga tega buat bangunin dia," jelas Aletha. Meskipun ia masih setengah sadar.
"Udah jam setengah tujuh kalian ga sekolah?"
Lagi-lagi Tania membuat Aletha dan Revan terkejut dan melirik ke arah jam dinding kamar Aletha. Di sana sudah menunjukan jam tujuh kurang tidak puluh menit. Itu tandanya mereka akan terlambat ke sekolah.
"MAMA!"
"TANTE!"
Teriak Aletha dan Revan. Revan berpamitan kepada Tania untuk pulang, sedangkan Aletha izin untuk segera mandi.
Kurang lebih dua puluh menit, Aletha sudah mandi dan sudah selesai memakai baju seragam. Namun penampilannya tidak begitu rapi, Aletha tidak memakai dasi dan ikat pinggang. Ia langsung berjalan menuju keluar kamar, di sana ada Tania yang tengah menyiapkan sarapan.
"Mama kok ga bangunin aku kalau udah siang? Btw Arsen ga jemput aku?" tanya Aletha sebari melahap roti berselai storberi buatan Tania."Arsen udah nunggu lama disini. Mama kira kamu udah bangun, taunya kamu masih tidur. Ya udah mama suruh Arsen buat berangkat ke sekolah duluan daripada dia telat gara-gara nungguin kamu," jelas Tania.
Setelah Aletha melahap rotinya dengan rakus, ia meminum susu yang telah disiapkan oleh Tania. Dan segera berlari menuju rak sepatu dan memakai sepatu tersebut.
Tak lupa ia menyalimi Tania lalu berpamitan untuk ke sekolah. Tepat saat Aletha keluar dari rumah, Revan juga baru saja keluar dari rumahnya.
Mereka bertemu dan akhirnya saling berpandangan satu sama lain. Aletha pun berlarian menghampiri Revan.
"Van, bareng yuk! Kita udah telat nih!" Aletha menggoyangkan lengan kokoh milik Revan. Namun Revan terlihat santai tanpa dosa, padahal sebentar lagi gerbang SMA Kusuma Bangsa akan di tutup.
"Iya-iya." Revan memberikan Aletha helm lalu menyuruh gadis itu menaiki motornya. "Kalau telat bolos aja ya?"
Aletha membulatkan matanya. "Apa? Bolos? Nggak-nggak! Gue ga mau. Yang ada gue di alfain sama sekertaris."
"Dasar kutu buku! lagian alfa sekali ga bakal bikin lo ga naik kelas kali!"
"Ga mau!"
"Bodo!" Revan segera menstater motornya dan menuju sekolah. "NGEBUT YA?!" Teriak Revan, tanpa menunggu persetujuan cowok itu melajukan kecepatan motornya dengan sangat kencang. Membuat Aletha melingkarkan lengannya di pinggang Revan dan membuat senyuman miring di bibir cowok itu.
Mendingan gue ngebut terus aja kali ya, Tha. Biar lo senantiasa meluk gue tanpa gue suruh.***
TBC
VOTE +KOMENT YAKK
KAMU SEDANG MEMBACA
Revalet
Teen Fiction[COMPLETED] [LENGKAP] Sequel Boy Bestfriend [Bisa dibaca lebih dulu] jadi kalian ga perlu baca cerita pertamanya karna akan tetap nyambung. "Sahabatan sama mantan? Kenapa nggak?" tanya Revan. "Udah jadi mantan bukan berarti ga boleh temenan 'kan?" ...