Chapter 34: menangis

122 17 0
                                    

Revan berhenti di suatu tempat ketika Revan berhasil melacak keberadaan Aletha melalui ponselnya. Ponsel Revan menujukkan kalau Aletha berada di tempatnya saat ini.

Sebuah lorong entah menuju kemana. Revan memarkirkan motornya di samping lorong tersebut, lalu memasuki lorong itu perlahan.

Tiba-tiba Revan melihat sebuah ruangan yang terlihat gelap di ujung lorong itu. Revan mengumpat di balik tabung panjang yang tak jauh dari ruangan itu. Sebari mengumpat ia juga mengintip, di sana ada Aletha yang tengah pingsan serta dua penjaga yang ada di depan ruangan itu.

Revan menghela napasnya ketika melihat hanya ada dua penjaga. Tanpa menunggu aba-aba, Revan menghampiri dua penjaga itu dan menghajarnya.

Bruk

Sebuah pukulan mendarat pada satu pria berperawakan tinggi dan besar. Namun satu pria berperawakan besar tersebut berhasil memukul punggung Revan dengan kayu sehingga Revan tersungkur ke tanah.

"BANGSAT LO!"

Revan bangkit dan menghajar satu persatu pria itu, tak sedikit memar yang diterima oleh Revan. Namun pemuda itu terus menghajarnya meski pria berperawakan tinggi dan besar itu tak kunjung menyerah.

Bruk

Bruk

Bruk

"MATI LO ANYING SIA! BANGSAT!!"
Revan terus menghajar keduanya secara bergantian.

Ketika Revan sibuk menghajar satu pria tersebut, sebuah pukulan dengan kayu lagi-lagi menghantam punggungnya.

Kali ini entah kenapa Revan lemas seketika. Pria itu berhasil memukul punggungnya juga leher belakangna membuat Revan hilang kesadarannya.

"REVAN!" Teriak Aletha yang baru saja bangun dari pingsannya. Di dalam ruangan tersebut, Aletha masih bisa melihat Revan di jendela ruangan, Revan sedang beradu jotos dengan dua pria berperawakan besar.

Aletha menahan tangisannya, namun usahanya gagal melihat Revan semakin terluka disana dengan darah yang terus mengalir di bibirnya. Aletha merasa tak tega. Ingin sekali memeluk Revan dan mengobati lukanya. Namun tak bisa.

Rasa sesak dan khawatir menjalar di seluruh tubuhnya. Aletha mencoba melepaskan tali yang mengikat kedua tanganya di kursi yang ia duduki, namun usahanya gagal karna ikatan tersebut terlalu keras hingga Aletha bisa merasakan kalau tangannya terluka karena ikatan tersebut.

Disisi lain Revan berusaha bangun dengan darah yang terus mengalir di bibirnya. Revan menatap kedua pria tersebut yang terlihat masih saja terlihat bugar meski sudah dihajar beberapa kali.

"Beraninya lo nonjok kita, HAH? Lo siapa sih? Punya tubuh segini doang segala belaga mau nonjok kita HAHAHA." Dua pria itu tertawa melihat kekalahan Revan.

Revan merasa kepalanya pusing, ia sudah banyak menghabiskan tenaga menghajar pria biadab tersebut. Tenaganya sudah tak ada lagi. Tubuhnya semakin lemas. Ini kali pertamanya ia merasa sangat rapuh ketika dihajar oleh seseorang.

Sehingga sebuah senyuman kembali menghiasi Revan ketika melihat dari ujung sana sudah ada polisi dan beberapa teman yang menghampirinya.

"Diam ditempat! Atau anda akan saya tembak!" Sergah polisi tersebut.

Dengan sigap, penjahat itu langsung melambaikan kedua tangannya ke hadapan polisi. Sempat ingin kabur. Namun polisi dengan sigap menahan penjahat itu hingga memasang sebuah pengikat besi dan mengikat dikedua pergelangan tangannya.

Sementara Revan masih terbaring ditempat, Fathur dan Wildan langsung menghampiri Revan. Sementar Leon dan Aldo menghampiri Aletha dan melepaskan ikatan tali cewek itu.

"Revan!" Fathur membantu Revan berdiri.

"Gue minta tolong sama kalian bawa Aletha pergi dan ajak dia pulang ya. Tolong banget. Gue ga bisa anter dia pulang," ucap Revan dengan darah yang masih menghiasi sekitar bibirnya, nada bicaranya sedikit gemetar.

Fathur dan Wildan terlihat sangat khawatir dengan keadaan Revan kali ini. Ini benar-benar sangat parah dan harus segera ditangani.

"Gue bawa lo kerumah sakit ya?" Sambung Wildan.

Revan menggeleng. "Ga usah, lo anterin Aletha pulang aja."

"Tapi, Van..."

"Ga usah," sambung Revan. Cowok itu menatap kedua temannya. "Yang harus diutamain keselamatannya itu Aletha. Gue minta lo semua ngawasin dia. Gue nitip dia sama kalian."

Fathur dan Wildan mengerutkan keningnya seketika. Revan tidak biasanya berkata seperti ini.

Sementara Aletha langsung berlarian menghampiri Revan. "Revan! Lo gapapa? Muka lo banyak memarnya. Gue bawa kerumah sakit ya?"
Revan hanya tersenyum, tak mengubris ucapan Aletha.

"Revan?" tanya Aletha ketika melihat Revan hanya diam saja.

"ALETHA! GUE BENCI SAMA LO! KENAPA LO SELALU PEMBAWA SIAL BUAT GUE? KENAPA, THA?" Revan tiba-tiba membuka suara dan menatap tajam kearah Aletha.

Seketika Aletha langsung terdiam dan mematung. Dan Aletha langsung terkejut melihat respon yang tak terbayangkan keluar dari bibir cowok itu. Revan terlihat benar-benar marah. Matanya menatap tajam. Aletha tak pernah melihat Revan semarah ini.

"Van, maafin gue--" Aletha hampir menangis dan omongannya terpotong.

"Gue minta lo lupain gue dan pergi! Gue ga mau liat lo lagi!" Revan langsung berjalan meninggalkan Aletha bersama teman-temannya yang lain.

Sementara Aletha terdiam di tempat sebari menangis menatap kepergian cowok itu.
"Gue salah ya?" tanya Aletha pada dirinya sendiri.

Derai air mata membasahi pipi Aletha seketika, Aletha menutup wajahnya dengan telapak tangannya. "Hiks... hiks... hiks... gue salah ya? Hiks... hiks.. hiks."

"Tha, udah jangan nangis. Revan cuma butuh waktu sendiri." Wildan mencoba menenangkan, namun hasilnya gagal.

Aletha malah terus menangis. Dan entah kenapa Leon dengan sigap memeluk Aletha. "Maafin sikap Revan yang kasar. Dia emang suka begitu. Dia ga bermaksud kasar sama lo kok."

"Tapi... hiks... dia ga biasanya... kayak .... gitu... apalagi ngebentak." ucap Aletha dengan terpotong-potong.

"Udah, Tha. Mending sekarang kita pulang. Gue rasa tempat ini ga aman buat kita semua, ya? Lo kita anterin pulang," ucap Leon yang langsung melepaskan pelukannya karena Aldo sedari tadi menoyor kepala Leon agar tidak modus.

"Revan pergi lo yang sigat," bisik Aldo.

"Bacot lo!" balas Leon.

Aletha mengusap air matanya, sebisa mungkin ia tidak menangis lagi didepan teman-teman Revan. Sesampainya di depan lorong, Aletha melihat Revan sudah tak ada lagi disana. Entah kemana pemuda itu pergi, yang jelas Aletha sangat meminta penjelasan mengenai perkataan Revan yang berhasil membuatnya terluka.

Aletha benar-benar terluka, tak menyangka orang yang selama ini ia impikan untuk menjadi temannya, sudah mengeluarkan kata-kata yang membuatnya dia tidak bisa berkata-kata lagi.

✨✨✨


Aletha keluar dari mobil Fathur, tak lupa sebelumnya Aletha mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Revan karna telah mengantarkannya pulang.

Aletha memandangi rumah besar yang ada di depan rumahnya. Namun Aletha tak melihat motor Revan ada di sana.

Aletha merasa cemas sempat terpikir kemana pemuda itu pergi. Aletha melihat arloji yang melingkar dipergelangan tangan kanannya, sudah menunjukan pukul 10 malam.

Aletha merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel, namun tak ada satu pesan pun dari Revan.

"Kemana lo pergi?" gumam Aletha.

Aletha berjongkok di depan rumahnya. Sebari terisak kecil menyesali perbuatan bodohnya yang selama ini selalu mengorbankan Revan dan keselamatannya.

"Gue selalu nyusahin lo, Van. Hiks. Gue emang bodoh. Gue tau gue pembawa petaka buat lo. Maafin gue, Van.... Hiks." Aletha menelungkup wajahnya di kedua lipatan tangannya. Ia menangis disana padahal hari suda sangat malam.

Tanpa sadar seseorang memeluknya. Ya dia adalah Gio, kakaknya sendiri.

"Lo ngapain disini bego! Gue kira kuntilanak nangis taunya adek sendiri. Lo kenap-- ALETHA?" Gio langsung membulatkan matanya melihat mata adiknya merah sebam. "Mata lo kenapa?"

"Bang... tolongin Aletha." Rengek Aletha.

"Lo kenapa? Dan kenapa lo pulang malem gini?"

Gio membantu Aletha untuk berdiri. Entah kenapa Aletha langsung memeluk Gio dengan erat. Menyalurkan segala kesedihannya. Memendam semua amarahnya dan segala isi hatinya dimalam itu.

"Tolong jangan bilang semua ini sama Mama. Tolong jangan bilang sama siapa-siapa. Aku mau cuma Kak Gio aja yang tau," ucap Aletha.

Gio mengusap puncak kepala gadis itu. "Sekarang lo masuk dulu dan cerita sama gue."

"Tapi mama?" Aletha menatap wajah Gio.

"Tenang, gue bisa ngalihin pandangan mama, sekarang mama lagi ada di kamarnya, nanti gue ajak mama ngobrol dan lo diem-diem masuk ke kamar ya."

Aletha mencoba tersenyum. Saat inilah Gio yang paling pandai membuat Aletha tenang. Gio dengan sejuta idenya selalu membuat Aletha tersenyum kembali. Dan ini bisa menjadi alasan kenapa Aletha tidak mau kehilangan kakaknya. Karena dia adalah satu-satunya tameng disaat semuanya benar-benar mengecewakan.

***

TBC

Revan oh Revan

Adakah yang mendukung Revan balikan sama Mantannya alias Aletha?

Atau justru kalian lebih suka Aletha sama Arsen?

Komen ya

Dan juga Vote❤

RevaletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang