Hari telah melewati tengah malam. Suara burung cablak sesekali terdengar membuat siapapun pasti engan melewati pemakaman di ujung desa Sumber. Mendung yang menutupi bulan menambah sempurna kegelapan di hari Anggara Kasih itu.
Mi'an mengedarkan pandangan sekali lagi. Ia tidak ingin ritual yang sebentar lagi akan dilakukannya terganggu oleh kehadiran pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Saat bunyi jangkrik tiba-tiba lenyap, ia semakin meningkatkan kewaspadaannya.
"Dugaanku benar, ada orang lain yang ingin mencuri jari bayi itu," batinnya sambil menatap bayangan hitam yang bersembunyi di rimbun batang-batang bambu di seberang tempatnya berjongkok.
Tiba-tiba dada Mi'an terasa sesak. Rupanya lawan telah mengetahui kehadirannya dan melancarkan serangan. Tak ingin mati konyol, ia lalu merapal mantra-mantra yang menjadi andalannya. Sesak di dadanya perlahan berkurang lalu lenyap. Sambil merayap maju, giliran Mi'an melancarkan serangannya.
Dikeluarkannya sebatang paku berkarat yang selama ini selalu ada di sakunya. Setelah memusatkan pikiran, tak lama kemudian paku yang ada di telapak tangannya itu mulai melayang, berputar, lalu melesat menuju sasarannya. Suara mengaduh yang terdengar dari arah rumpun bambu membuat Mi'an tersenyum. Apalagi saat paku berkarat itu kembali dengan bercak darah di ujungnya.
Malam sudah semakin larut. Tak ingin didahului kokok ayam, Mi'an bergegas melanjutkan rencananya. Sambil terus merayap ia menuju ke makam bayi yang meninggal tadi pagi itu. Sesampainya di sana, Mi'an lalu menggali gundukan makam si bayi dengan kedua tangannya. Dua orang yang bertugas menjaga makam tak bisa berbuat apa-apa. Mereka terlelap akibat sirep yang ditebarkan Mi'an sebelumnya.
Setengah jam kemudian potongan bambu penutup mayat sudah mulai terlihat. Mi'an semakin bersemangat, tangannya bergerak cepat membongkar dan mengeluarkan potongan-potongan bambu itu. Sampai akhirnya tampaklah pocong bayi itu. Untuk ritual kali ini, ia tak boleh menggunakan tangannya.
Mi'an lalu mendekatkan wajahnya, kemudian digigitnya pocong bayi ke luar dari makam. Dengan gigi pula dikoyaknya kain kafan hingga terbuka. Meski ada sedikit rasa iba, namun api yang menyala di dada pemuda itu ternyata mampu mengusir keraguannya. Lima menit kemudian kedua jari manis mayat telah putus digigitnya.
Setelah itu Mi'an berjalan ke rumpun bambu. Di sana ia mencari orang yang telah menyerangnya tadi. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam akhirnya berhasil ia temukan tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Diseretnya tubuh itu ke makam si bayi. Sebelum pergi, tak lupa ia melucuti semua jimat yang melekat di tubuh mayat sang saingan sebagai tambahan koleksi.
Saat kokok ayam akhirnya terdengar, Mian telah jauh meninggalkan tempat itu. Dua jari manis ditambah berbagai macam jimat yang tersimpan di saku jaket membuat hatinya senang. Mimpi besarnya sudah hampir menjadi kenyataan.
Semuanya berawal dari tujuh tahun lalu. Ayah Mi'an yang awalnya sehat tiba-tiba saja jatuh sakit. Seluruh tubuh laki-laki itu tidak bisa digerakkan. Awalnya Mi'an sekeluarga menyangka jika sang Ayah terkena stroke. Namun setelah beberapa lama dirawat di rumah sakit, para dokter yang menanganinya justru merasa kebingungan. Mereka tak menemukan satu pun penyakit di tubuh sang ayah.
Lalu langkah alternatif pun diambil. Mulai dari tusuk jarum, jamu, sampai berbagai macam terapi dilakukan. Namun kondisi sang ayah tak juga membaik, malah semakin parah. Sampai akhirnya ibu Mi'an ikut jatuh sakit juga. Lengkap sudah penderitaan Mi'an saat itu. Sendirian ia harus merawat kedua orangtuanya. Malang tak dapat ditolak, ibunya meninggal setelah satu bulan dirawat di rumah sakit.
Titik terang mulai muncul ketika Mi'an tanpa sengaja bertemu mbah Wono. Laki-laki yang berprofesi sebagai tukang pijat itu mengatakan jika ayahnya terkena santet. Awalnya Mi'an tak percaya, namun setelah mbah Wono jungkir balik diserang makhluk tak kasat mata di kamar ayahnya, barulah ia percaya.
Satu demi satu Mi'an mencari orang-orang yang katanya mampu mengobati santet. Mulai dari golongan putih sampai golongan hitam didatanginya demi kesembuhan sang ayah. Tak terhitung biaya yang sudah Mi'an keluarkan untuk membeli berbagai macam sesaji dan ongkos para orang pintar itu. Namun semua sia-sia. Hampir semua orang yang dipanggilnya mengatakan jika jin yang dikirim untuk menyakiti ayahnya terlalu kuat.
Di saat sudah merasa putus asa itulah seorang pengemis tiba-tiba datang ke rumah Mi'an.
"Ada nasi, Nak? Mbah belum makan dari kemarin," ucap pengemis itu.
"Masukklah dulu, Mbah. Aku akan belikan nasi untuk, Mbah. Kebetulan saya tidak pernah masak."
Pengemis itu lalu masuk. Sementara Mi'an segera keluar untuk membeli nasi di warung. Tak berselang lama, Mi'an kembali dengan membawa sebungkus nasi dan teh hangat. Namun pengemis itu sudah menghilang. Takut jika pengemis itu adalah pencuri, Mi'an bergegas masuk ke kamar ayahnya.
Betapa terkejutnya Mi'an saat melihat apa yang sedang terjadi di kamar. Ayahnya saling cekik dengan si pengemis. Kamar yang biasanya dingin itu sekarang terasa begitu panas.
"Jangan ganggu tugasku Pak Tua! Ini bukan urusanmu!" teriak ayahnya dengan suara yang tidak dikenali Mi'an.
"Setiap gangguan bangsamu pada manusia adalah urusanku. Tinggalkan tubuh itu atau aku akan membakarmu."
"Coba saja kalau bisa. Umurku sudah ratusan ribu tahun. Ilmumu tak akan berpengaruh padaku."
"Kau terlalu sombong, makhluk api."
Pengemis itu lalu memejamkan matanya. Hawa di tempat itu berganti-ganti dengan cepat. Kadang panas, kadang dingin. Asap tipis tampak mengepul di ubun-ubun pengemis tua itu. Sementara sang ayah wajahnya berubah merah padam, demikian juga matanya.
"Keparat kau! Dari mana kau peroleh ilmu ini?!"
"Semua ilmu berasal dari-Nya, iblis."
"Baiklah, aku akan pergi. Toh nyawa manusia sok suci ini paling tak lama lagi."
Setelah itu Mi'an melihat asap hitam keluar dari tubuh ayahnya. Di saat yang bersamaan pengemis tua itu melepaskan cekikannya. Mi'an segera berlari saat melihat tubuh ayahnya jatuh.
"Siapa sebenarnya anda, Mbah?" tanya Mi'an setelah membaringkan ayahnya di tempat tidur.
"Cuma orang yang kebetulan lewat saja. Saat melintasi rumahmu ini, aku melihat ada aura gelap. Karena itulah aku memutuskan untuk berkunjung."
"Siapa yang membuat ayah saya menjadi seperti itu, Mbah?"
"Sudahlah. Biar Tuhan yang membalasnya. Ayahmu orang baik, karena itu banyak yang memusuhinya."
"Ajari saya ilmu, Mbah. Saya mohon."
Pengemis itu menatap mata Mi'an. Pendar api dendam tampak menyala di sana.
"Untuk apa? Balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Itu justru akan menjerumuskanmu dalam banyak masalah."
"Tapi, Mbah ..."
"Tidak ada tapi-tapian. Rawat saja ayahmu baik-baik. Semoga Tuhan berkenan memberinya panjang umur."
Pengemis itu kemudian pergi begitu saja. Usaha Mi'an mengejarnya sia-sia. Saat ia keluar rumah, tak tampak bayangan dari orang tua itu.
Hari-hari selanjutnya dihabiskan Mi'an untuk merawat sang ayah. Namun mungkin karena sudah terlalu lemah dan dilanda depresi akibat kehilangan istri, tak lama kemudian ia juga meninggal dunia.
Mi'an yang dilanda kepedihan akhirnya kehilangan arah. Api dendam yang selama ini berusaha diredam kembali menyala bersamaan dengan kepergian sang ayah.
Satu per satu didatanginya lagi orang-orang yang pernah ia panggil mengobati ayahnya untuk berguru. Ada yang menolak, ada juga yang bersedia. Amarah yang ada menjadi bahan bakar Mi'an untuk belajar. Setelah selesai dengan satu guru, ia begegas mencari guru yang lain. Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Papua, bahkan sampai ke pulau-pulau terpencil dikunjunginya untuk memuaskan hasratnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...