Lenyapnya Moza baru disadari ketika ia belum kembali saat hari telah beranjak siang. Awalnya Timur dan yang lain menyangka ia sedang mencari daun singkong atau ubi jalar untuk dijadikan sayur. Namun ternyata tidak, gadis itu seolah hilang ditelan bumi.
Barang-barang serta pakaiannya yang masih utuh menunjukkan kepergian Moza tidaklah terencana. Nduk, Jathayu, Candrasa, Musang Api, Naga, dan Wira segera menyebar untuk melakukan penyisiran dan pencarian.
"Mengapa kita tidak bisa merasakan tanda-tanda keberadaannya? Aku takut ada hal buruk yang telah terjadi pada gadis itu."
"Jangan berpikir buruk dulu, Ndra. Siapa tahu Moza cuma sedang ingin menikmati waktu untuk dirinya sendiri." Taligeni berusaha membesarkan hati Condromowo dan dirinya sendiri.
Namun setelah sore hari Moza belum pulang juga, jelas sudah jika gadis itu telah hilang. Apa yang menjadi pertanyaan di benak Timur dan yang lain adalah apa yang membuat Moza menghilang. Apakah pergi atas keinginannya sendiri, ataukah dihilangkan seperti para tersangka koruptor agar kasusnya tidak bisa menggigit pihak-pihak lain yang ikut menikmati hasil korupsinya. Hal yang sangat sering terjadi di negeri ini.
Menghilangnya Moza jelas memperburuk situasi yang harus dihadapi oleh Condromowo dan kawan-kawannya. Kondisi Mi'an yang masih belum sadar membuat mereka mau tak mau mereka harus pergi ke Lembah Mayangkara tanpa Moza. Rencananya, setelah Mi'an sudah berada di sana, barulah mereka semua akan fokus untuk mencari Moza.
Berkat bantuan Jathayu, perjalanan ke Lembah Mayangkara berlangsung singkat. Mayangkara sendiri yang menyambut kedatangan mereka di balik penghalang. Iis langsung memeluk gurunya itu sambil menangis.
"Sudah, Is. Aku sudah tahu apa yang terjadi. Monyet-monyet itu yang bercerita," bisik Mayangkara sambil mengelus rambut Iis.
"Maafkan aku, Mayangkara. Aku telah gagal menjaga anak-anakmu."
"Bukan salahmu, Taligeni. Takdir tak bisa dilawan. Aku tahu kau sudah berjuang mati-matian untuk menyelamatkan mereka."
Mayangkara kemudian mendekati Mi'an. Dilihatnya tiga lingkaran energi yang tertahan di dada pemuda itu. Tubuh kera putih itu bergetar saat ia mencoba mengalirkan energi ke tubuh Mi'an.
"Bersabarlah anak muda. Jalan orang-orang yang membela kebenaran dan keadilan biasanya memang selalu dipenuhi ujian dan cobaan," bisiknya setelah melepaskan tangan dari dada Mi'an.
"Ayo kita ke pondok dulu saja. Aku sudah siapkan sedikit makanan dan minuman untuk kalian. Setelah itu baru kita bahas tentang Mi'an dan menghilangnya Moza," ajak Mayangkara.
Mereka lalu mengikuti Mayangkara ke pondoknya. Beberapa jenis makanan dari olahan umbi hutan dan sayuran telah tersedia di dalam pondok. Setelah menikmati makanan dan minuman itu, Mayangkara mengajak Taligeni dan Condromowo pergi.
Ketiganya lalu sampai di sebuah air terjun kecil. Suasana di tempat itu begitu sunyi. Hanya bunyi gemericik air mengalir yang terdengar. Mayangkara terus berjalan. Sesampainya di samping air terjun, ia menyibak rimbunan tanaman pakis yang tumbuh di sela akar pepohonan besar. Sebuah mulut gua akhirnya mulai terlihat.
"Sudah lama aku tidak memasuki tempat ini. Benda-benda yang ada di dalamnya terlalu menyakitkan untuk dikenang."
"Ayo masuklah, Taligeni, Condromowo," ajak Mayangkara sambil melangkah ke dalam gua.
Condromowo dan Taligeni ikut memasuki gua. Mayangkara ternyata telah memasang energi penghalangnya sendiri di gua itu. Tanpa izinnya, mereka yang tidak berkepentingan akan kesulitan untuk bisa memasukinya.
Condromowo terkesima memandang isi gua. Panji dan simbol kebesaran yang ada di tempat itu mengingatkannyapada sebuah kerajaan besar di masa lalu sebelum kerajaannya sendiri ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...